09. Dia Kembali

2 0 0
                                    

Begitu Mentari memasuki rumah, manik matanya langsung terfokus pada seseorang yang tampak asing tengah duduk di sofa. Tubuhnya jangkung dengan kulit kuning langsat, pria itu menunduk memperhatikan ponsel. Bila dilihat dari samping, tersemat hidung mancung yang menjadi pemanis pria tanpa nama itu. Meski wajah pria itu hampir sepenuhnya tertutup, tapi dia bisa menebak bahwa rupa lelaki itu cukup tampan.

Mentari tak ingin terlalu ambil pusing dengan seseorang yang tak dikenalnya, ia terlihat acuh dan berlalu, melewati ruang tamu seakan tak ada manusia yang hidup disana. Gadis itu hanya sibuk mencari keberadaan sang kakak, matanya menelisik kesana kemari, mencoba mencari tempat yang sangat memungkinkan bagi Alam berada.

Benar saja, tak lama terdengar kebisingan peralatan masak yang Mentari yakini berasal dari Alam.

Tarikan nafas dalam dan berulang, terus Mentari coba lakukan untuk mengusir gundah gulana yang mulai menyelimuti hati. Gadis itu berjalan mengendap-endap, seperti tak ingin Alam menyadari kehadirannya.

“Semoga saja tidak ada kemarahan lagi.”

“Bang Alam.” Mentari mencoba bersuara, meski rasanya suara itu amat berat untuk ia keluarkan. Sesuai dengan harapan, Alam menoleh dengan tatapan yang sama sekali tak gadis itu mengerti. Hal itu membuat nyali Mentari menciut, ia menunduk tak berani menatap mata sang kakak lebih lama.

Gadis itu sibuk menautkan jemarinya satu sama lain, memainkan kuku jari jentiknya yang lebih panjang diantara jemari yang lain. “Mentari minta maaf soal kejadian tadi pagi.”

Bukan kemarahan ataupun tatapan kesal yang Mentari dapatkan, Alam justru menghampirinya dengan sebuah senyum. Pria itu kemudian mengelus rambut Mentari sayang, membuat gadis itu mendongakkan kepala menatap sang kakak dengan rasa sedikit tak percaya.

“Tidak usah terlalu difikirkan, lekas ganti pakaianmu,” ujar Alam singkat, tapi sudah membuat Mentari senangnya bukan main.

Langkah kaki pria itu terhenti ketika tangan Mentari mencekalnya, memaksanya untuk berdiam diri. Tampak raut keraguan terpancar dari wajah adik semata wayangnya itu, membuat Alam semakin bertanya apa yang akan disampaikan oleh Mentari.

“Aku dimaafin, 'kan?” ujar Mentari kembali, ingin memastikan jawaban dari Alam.

Anggukan dari Alam pun membuat Mentari bernafas lega, hilang sudah beban besar dalam hatinya.

Ada apa gerangan? Kenapa kali ini begitu mudah membujuk Alam?

Pertanyaan itu terus bermunculan di benak Mentari sembari gadis itu merapikan diri, bersiap untuk menikmati waktu bersama sang kakak.

Gadis itu bersenandung ria menyanyikan beberapa penggal lirik lagu yang tidak Alam mengerti, tapi kesenangan yang Mentari rasakan berakhir tatkala ia sadar siapa yang tengah bertamu ke rumah mereka.

Bibir yang semula bersenandung ria, kini terdiam tak bersuara. Mata yang semula memancarkan bahagia, kini lenyap tak tersisa. Suasana hati yang awalnya mulai baik-baik saja, langsung berubah 360° begitu melihat seseorang yang amat dihindarinya ada didepan mata.

“Langit.” Mentari seperti dihantam ke belakang, lidahnya terasa kelu untuk menyebutkan nama pria itu. Dia belum pernah menyiapkan diri untuk bertemu kembali dengan seseorang yang sudah membuatnya dianggap gila oleh orang disekitarnya.

Pria berhoodie hitam itu kini sepenuhnya memperhatikan Mentari yang tengah mematung menatap ke arahnya. Dia tahu dengan pasti jika gadis itu pasti syok bukan main, kehadirannya begitu tiba-tiba di rumah ini setelah sekian lama. Manik mata mereka sempat bertemu, Langit melihat kilatan amarah disana.

Tanpa menunggu lama, Mentari bergegas membalikkan diri dan kembali menapaki anak tangga untuk menuju kamarnya. Tidak, dia masih membenci Langit.

“Apa kau tidak ingin bertemu denganku, Mentari?” Intonasi suara itu terdengar lirih, seakan memendam rasa sakit yang luar biasa.

Suara itu, suara yang telah lama sekali Mentari lupakan. Kini, menggema dalam pendengarannya. Mengingatkannya tentang kejadian memalukan pada sore itu. Meski langkahnya terhenti, tapi Mentari sama sekali tak berniat untuk membalikkan tubuhnya menatap wajah itu.

“Sebaiknya beritahu teman Kakak jika aku tidak berbicara dengan orang asing!”

Entah mengapa, tetapi kalimat Mentari terasa seperti sebuah batu besar yang menghimpit dadanya. Membuat ia merasa sesak akan sesuatu yang tak lelaki itu mengerti darimana asalnya.

“Mentari, aku sungguh-sungguh minta maaf.”

Langit dengan berani memajukan langkah hendak menghampiri Mentari, hampir saja ia dapat menggenggam lengan gadis itu, tapi dengan kasar Mentari mengibaskan tangan Langit.

“Jangan menyentuhku!”

Alam menghirup nafas dalam, dia tidak tahu lagi bagaimana harus meluruskan kesalahpahaman keduanya. Hampir 5 tahun sudah Langit dan Mentari tak pernah bertemu atau bahkan saling bertegur sapa, tapi kebencian gadis itu seperti tak ingin usai.

“Mentari, sudahlah, berhenti bersikap kekanak-kanakan.”

Kini, atensi gadis itu beralih, menatap Alam dengan tak percaya. Dia sesak begitu tahu sang kakak lebih membela orang lain daripada adiknya sendiri. Matanya mulai berkaca-kaca, tak sanggup berdiri lebih lama dihadapan Langit.

“Kakak yang kekanak-kanakan! Mentari sudah bilang berulang kali, jangan pertemukan dia denganku! Namun, sekarang yang Kakak lakukan adalah membawanya ke rumah kita! Apa Kakak tidak tahu jika aku membencinya?” Teriakan Mentari menggema, setelah sekian lama gadis itu kini meluapkan kekesalan dan amarahnya yang telah lama dipendam.

Gadis itu berlari menjauhi kedua manusia yang berstatus sahabat baik itu, dia bahkan menutup kasar pintu kamarnya. Mentari menangis, dia menangis menumpahkan seluruh rasa kesalnya.

Mentari terisak, mengusap kasar air mata yang terus saja membasahi kedua pipinya. Ada rasa sakit yang terpendam dalam di relung hatinya, luka yang bahkan belum mampu untuk ia sembuhkan. Kepala gadis itu tertunduk, di sembunyikan diantara kedua kakinya.

Hawa yang sangat ia kenali menelusup masuk ke dalam kamarnya, tapi Mentari sama sekali tak berniat mengangkat kepalanya sebelum sang empu menunjukkan diri.

Bulan hadir seperti apa yang Mentari duga, lelaki beraura dingin itu duduk di sampingnya, memperhatikan wajah gadis itu yang di selimuti oleh rambut panjangnya.

Ah, kejadian ini mengingatkannya pada wanita yang tanpa sengaja ia temukan di halaman sekolah Mentari. Tentu saja, mereka berdua jauh berbeda. Mentari memiliki aroma harum dan wanita itu justru di dominasi oleh bau anyir.

Lelaki itu masih diam ketika Mentari masih tak ingin melihat ke arahnya, apalagi suara tangis gadis itu justru masih terdengar jelas di indra pendengarannya. Sebuah senyuman seperti bulan sabit terbit di bibir Bulan, ada rasa ingin membelai gadis itu dan menariknya ke dalam dekapan, tapi dia sadar hal itu tak mungkin di lakukan.

Lagi, pria itu tertawa tanpa suara ketika mendengar dengan jelas jika Mentari mengumpat, memberikan sumpah serapah kepada Langit.

“Terlalu membenci seseorang itu tidak baik, Mentari. Maafkan saja Langit, aku yakin jika kau pernah mendengar kutipan benci dan cinta itu beda tipis, terlalu dalam membenci bisa membuatmu tanpa sadar mulai mencintai.”

TEA-AMOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang