Perbedaan signifikan terjadi pada diri Bulan. Bila bersama Mentari, aura tenang nan teduh di tunjukkan. Namun, saat ini aura itu tampak tak menyelimuti Bulan.
Bulan berusaha mencari pria yang di temuinya sewaktu berada di sekolah Mentari. Melihat kesana kemari, ia bingung harus memilih jalan mana untuk di lewati.
Wanita berdaster putih tampak menari-nari di sebuah pohon besar tak berpenghuni. Bulan menatap datar tanpa ekspresi. Mereka merasa begitu bebas pergi, berbeda dengannya yang hanya tertuju pada Mentari. Dimanapun ia berada, gadis itu adalah tujuan akhirnya.
Beberapa diantara mereka asyik menangkring di dahan pohon. Bahkan, ada salah satu makhluk besar dengan gigi taring tajam berwarna kehitaman yang hingga kini tak Bulan ketahui namanya. Mata menyala semerah darah. Hanya itu yang dapat di lihat olehnya dengan sangat jelas.
“Sedang apa kau disini?”
Ternyata, salah satu dari wanita itu datang menghampirinya, dengan rambut yang hampir menutup wajah. Bulan hanya acuh. Ia justru melengos begitu saja melewati mereka. Hatinya bimbang menentukan jalan.
Baginya, tak ada waktu untuk meladeni mereka yang tak akan memberikan dampak apapun pada dirinya. Kecuali, keburukan.
“Kau mencariku?”
Bulan di kejutkan dengan suara yang tiba-tiba saja menginterupsi. Di lihatnya, ternyata pria yang sejak tadi ia cari. Entahlah darimana lelaki itu datang, tapi yang pasti kehadirannya sudah mampu menghilangkan rasa bimbang di hati.
“Darimana kau tahu?”
Sunggingan bibir yang di tunjukkan Ken membuat Bulan mengernyit heran. Ia tak tahu, apakah itu sebuah senyum yang mungkin merendahkannya?
“Aku tahu, arwah sepertimu, pasti tergiur ingin kembali pada ragamu.”
Perkataan Ken memang terkesan meremehkan. Nada bicaranya sangat tidak bersahabat, terkesan ketus dan amat dingin. Entah apa alasan di baliknya, tapi pria itu memang terlihat cukup tak menyukai Bulan.
“Itu bukanlah alasan yang tepat. Mereka semakin berani, aku harus membuat keputusan untuk hidup Mentari. Jika bukan karena dia, aku tak akan pernah menemuimu disini.”
Iya, itu benar. Jika bukan karena keadaan Mentari yang kian terancam. Bulan tidak ingin kembali, atau berpisah barang sekejap. Sungguh.
Sayang, nampaknya takdir Tuhan berkata lain. Mau tak mau, suka tak suka, dia harus kembali pada sang raga.
“Lalu, apa keperluanmu mencariku?” Ken berkata dengan alis tertaut, penuh selidik.
Awalnya, perasaan ragu hinggap. Ia memang tak punya kemampuan merasakan sakit, tapi ada sedikit keraguan dalam benaknya untuk bertanya lebih lanjut. Bulan takut, jika keputusan yang dia ambil akan menjadi sebuah kesalahan.
Helaan nafas berat nampaknya mengakhiri keraguan itu. Hal ini memang pilihan yang cukup sulit, tapi semoga dengan hal ini, Bulan tak lagi berada dalam kebimbangan berkepanjangan.
“Beberapa hari lagi, Mentari akan berulang tahun, apakah waktuku mencapai hari itu? Aku tak ingin meninggalkannya di saat-saat yang paling penting dalam hidupnya. Maka dari itu, aku menemuimu disini.”
“Ku kira kau mencariku untuk bertanya cara agar bisa kembali, ternyata dugaanku salah.” Ken berdecih disertai gelengan kepala kecil.
“Baiklah karena sepertinya kau begitu sangat ingin tahu, akan ku beri tahu jika waktu yang kau nantikan itu tidak akan pernah terjadi. Kau akan lenyap sebelum ia berulang tahun.”
“Tidak mungkin!”
“Kembalilah pada ragamu, sebelum waktumu benar-benar habis. Bukankah aku sudah memperingatkanmu kemarin?”
Perkataan Ken membuat Bulan terdiam sejenak. Memang benar apa yang pria itu katakan, tapi bukankah Mentari berkata untuk tak mempercayainya? Bagaimana jika memang apa yang di ucapkannya merupakan tipuan semata?
“Apa yang terjadi jika aku kembali di hari terakhirku? Apakah ... aku akan tetap hidup?”
“Kau mungkin akan hidup. Entah itu dengan atau tanpa kenangan Mentari.”
“Bukankah bersama Mentari adalah impianmu?”
“Tidak! Aku memang ingin bersama Mentari, tapi aku tak ingin dia dalam bahaya. Semakin lama berada di sisinya, entah kenapa justru mata batin gadis itu seperti terbuka perlahan. Ia mulai bisa melihat hal-hal yang tak terlihat.”
Melihat kebimbangan yang Bulan perlihatkan, Ken justru tertawa merendahkan. Tawa pria itu bahkan menjadi tontonan para makhluk astral lainnya. Beberapa makhluk mulai menghampiri, membuat suasana tak nyaman. Sepertinya, tawa Ken mengundang rasa penasaran mereka.
“Sebenarnya siapa kau?”
Tawa Ken sontak berhenti begitu Bulan melontarkan pertanyaan itu. Pria itu kembali pada wajah seriusnya.
“Aku adalah teman semasa Mentari kecil. Aku pernah menjaganya dari arwah penasaran sepertimu, sebelum keluargaku memutuskan pindah dan meninggalkan Mentari bersama Alam. Ternyata Mentari tak lagi mengenaliku, malah ia justru berteman dengan arwah sepertimu. Mungkin, juga mulai menaruh rasa? Kau tahu kan, manusia tidak bisa mencintai makhluk astral seperti kalian?”
Bulan tidak mengerti, beberapa kalimat Ken terasa langsung memojokkan. Seperti, kata-kata itu benar-benar tepat sasaran.
“Tidak mungkin, jika itu benar adanya maka baik Alam maupun Langit pasti sudah mengenalimu. Satu hal lagi, tidak ada yang menaruh rasa diantara kami!” sentak Bulan. Sayang, jauh di dalam lubuk hati ia harus mengiyakan perkataan Ken.
“Kebimbanganmu sudah bisa menjadi alasan besar, jika kau menaruh rasa padanya. Kau juga tidak perlu tahu, kenapa mereka tak lagi mengenaliku, itu bukanlah urusanmu!”
“Lalu, kau tahu darimana jika aku bisa hidup kembali?”
“Kita tidak saling mengenal, tapi aku sudah sangat sering melihatmu. Mungkin, juga sudah akrab dengan beberapa sanak saudaramu.”
“Bagaimana itu mungkin?”
“Ceritanya panjang, tentu saja aku tidak punya waktu bercengkrama denganmu. Tubuhmu saat ini berada di sebuah rumah sakit kota, tidak berdaya. Hanya raga tanpa jiwa.”
“Kau sungguh bisa membantuku kembali?”
“Jika waktunya tidak terlambat, aku bisa membantu menunjukkan dimana ragamu saat ini.”
“Tapi aku harus menemani Mentari. Setidaknya, hingga ia berulang tahun.”
“Baiklah, itu semua terserah padamu. Aku sudah mengatakannya.”
Ken pergi meninggalkan Bulan dengan sejuta pertanyaan dan rasa bimbang. Ia bingung, mana yang harus lebih di utamakan.

KAMU SEDANG MEMBACA
TEA-AMO
Teen FictionKisah tentang dua insan yang berkeinginan sama, tapi berada di dunia yang berbeda. Takdir mempertemukan mereka tanpa sebuah rencana dan takdir pula yang memisahkan mereka tanpa wacana. Waktu membuat mereka terbiasa, tapi waktu pula yang membuat kede...