10. Kecamuk Hati

0 0 0
                                    

Pemuda berambut hitam pekat itu tertunduk lesu tanpa semangat, berulang kali wajah berahang tegas itu terangkat. Menghirup oksigen rakus dengan tenggorokan yang tercekat, di temani oleh sebuah lampu belajar berukuran kecil yang berdiri tegak di sudut.

Ruangan gelap dengan minim cahaya, tak menyurutkan keinginan lelaki itu untuk berdiam diri dalam waktu yang cukup lama. Dia seakan menikmati kegelapan yang lebih mendominasi seisi ruangan, tak bergerak sedikitpun meski hari mulai larut.

Secara perlahan, perasaan itu kembali menggerogoti hati. Kenangan masa lalu yang mati-matian ingin dilupakan kini berkecamuk kembali. Menghantui setiap tarikan dan hembusan nafasnya, mengisi setiap detik dalam hidupnya.

Mungkin memang benar jika apa yang dilakukannya waktu itu adalah kesalahan, tapi dia sungguh menyesali apa yang telah terjadi.

Ratusan kali sudah Langit meminta maaf pada Mentari, entah itu melalui Alam atau langsung mengirimi gadis itu surat. Namun, tetap saja ia tak mendapatkan balasan kalimat apapun dari Mentari.

Bahkan, hari ini pun tetap tidak ada yang berubah, ketika ia memutuskan untuk mengunjungi rumah Mentari. Gadis itu telah menyematkan kebencian yang tak berujung, hingga membuat Langit putus asa untuk meraih kembali kepercayaan yang sudah lama hilang.

“Kak ....”

Suara sang adik kembali membawa Langit kepada kenyataan. Kepala pria itu sedikit terangkat, menoleh ke arah Bintang yang tengah berdiri tegap di tengah pintu, menatapnya sembari bersidekap dada.

Gadis dengan kaus merah jambu itu tersenyum masam. Ditengah redupnya sinar lampu, Langit justru dengan tenang menikmati kegelapannya. Bintang berdecak sebal karena hingga malam tiba, Langit tetap tak ingin beranjak dari sana, kakak semata wayangnya itu masih setia duduk ditempat favoritnya, dulu.

Ada rasa sedih terbesit di relung hati Bintang ketika melihat Langit masih saja meratapi kesalahannya. Namun, diapun tak dapat melakukan banyak hal untuk membantu meringankan rasa bersalah yang dirasakan oleh lelaki itu.

Bintang mengulurkan tangannya menjelajahi dinding kemudian menghidupkan saklar lampu, membuat ruangan yang awalnya di dominasi kegelapan menjadi sedikit berwarna.

Kaki jenjangnya melangkah masuk guna mematikan lampu belajar yang berdiri tegak di meja belajar sang kakak. Setelahnya, Bintang kembali menyandarkan tubuhnya pada dinding kosong di samping Langit.

“Masih memikirkan Mentari?” tanya Bintang yang mendapat jawaban sebuah hembusan nafas kasar dari lelaki itu.

Pertanyaan klasik yang sudah pasti Bintang ketahui jawabannya.

Langit kemudian meregangkan tubuhnya sejenak hingga mengeluarkan bunyi ‘kretek’ pada beberapa bagian, terutama tiap ruas jemarinya. Jelas tersirat raut wajah lelah, tapi mata pria itu seakan tak mau terpejam.

Langit lebih memilih duduk di ranjang daripada harus merebahkan tubuhnya yang terasa seperti remuk redam. Seharian penuh ia tak berisitirahat, sepulang dari bandara tadi siang dia langsung menuju rumah Mentari setelah lebih dulu meletakkan barangnya di rumah mereka.

“Kau pasti juga tahu, Mentari tidak akan pernah memaafkanku,” ujar Langit dengan lirih. Intonasi suaranya lebih terdengar seperti seseorang yang sudah putus asa.

Bintang menarik kursi belajar yang berada tak jauh dari ranjang lelaki itu dan mendudukkan diri di sana. Kedua tangan kekar milik sang kakak menutup rapat wajah tampan lelaki itu, detik berikutnya tangan itu menyibakkan rambut yang tampak menutupi penglihatannya ke belakang.

Dia hanya mampu mengulum senyum tipis melihat kegelisahan yang kakaknya tunjukkan. Ini adalah kali pertama mereka bertemu lagi di rumah ini setelah sekian lama, tapi tetap saja pesona Langit tak berubah. Di satu sisi, Bintangjuga merasa sedih karena hingga detik ini Mentari belum bisa memaafkan perbuatan kakaknya di masa lalu.

Bintang sendiri tidak tahu, sedalam apa kebencian yang sudah Mentari tanam. Ironisnya, gadis itu selalu menghindari setiap pembahasan yang membawa nama Langit di dalamnya. Entah kebencian atau rasa sakit hati seperti apa yang Mentari pendam, tapi Bintang juga merasakan rasa sakit yang tak bisa ia jabarkan.

“Mentari bukan manusia yang pendendam, mungkin saja dia akan memaafkanmu suatu hari nanti,” ujar Bintang yang penuh dengan keyakinan. Meski hati kecilnya penuh keraguan. Sikap yang Mentari tunjukkan, berbanding terbalik dengan apa yang Bintang harapkan.

Langit tetaplah pria yang tak bisa begitu saja menelan mentah-mentah ucapan adiknya. Bisa saja yang Bintang katakan benar adanya, tapi bagaimana justru bila itu tak akan pernah terjadi dalam hidupnya?

“Aku tidak tahu, Bintang, sampai kapan dia akan membenciku seperti ini,” sahut Langit yang berada dalam ambang batas penantiannya. Bertahun-tahun dan puluhan bulan sudah lelaki itu menanti, tapi permintaan maafnya tak kunjung ia dapati.

Mereka berdua adalah kakak adik, oleh sebab itu Bintang pun merasakan perasaan resah yang menyelimuti perasaan sang kakak. Tangannya menangkup tangan Langit, menggenggam tangan pria itu seakan mentransfer energi positif dan rasa percaya diri yang ia miliki.

“Sudahlah, jangan terlalu difikirkan, tadi papa menghubungiku. Papa bertanya kenapa Kak Langit tidak memberi kabar setelah mendarat disini.”

Detik berikutnya, Langit memukul kening merutuki kebodohannya. Sesuai dugaan lelaki itu, sang ayah pasti merasa risau karena anak lelakinya belum memberi kabar apapun.

Hilang sudah kecemasannya untuk sesaat, pria itu justru kini merasa bersalah pada sang ayah.

“Iya, aku lupa memberi kabar jika sudah sampai di rumah.”

Bintang menggelengkan kepalanya ketika mendengar jawaban dari kakaknya itu. Bagaimana bisa Langit melupakan pesan kedua orang tuanya?

“Itu pasti karena Kak Langit memikirkan banyak hal. Ayolah, ini adalah waktu liburanmu, jangan habiskan itu hanya untuk memikirkan kemungkinan terburuk yang belum tentu terjadi.”

TEA-AMOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang