Langit menunggu di luar, menanti kabar dari kondisi Mentari. Gundah gulana menerpa hati, perasaan berkecamuk kian melengkapi. Berulang kali tanpa henti, lelaki itu mengetukkan masing-masing jemari.
"Lang, duduk dulu. Aku sudah menghubungi Alam, dia akan segera tiba," ujar Genta, mencoba menyakinkan Langit jika memang semua akan baik-baik saja.
Langit menatap Genta sejenak, hanya seperkian detik lalu ia menghembuskan nafas kasar. Cukup lama berdiri akhirnya membuatnya menyerah dan memilih duduk juga.
"Aku takut hal buruk terjadi pada Mentari."
Genta tersenyum, menepuk pundak Langit. Diantara mereka berempat, ia dan Angkasalah yang paling tenang dalam menghadapi masalah.
"Mentari tidak akan apa-apa, percayalah padaku."
"Dimana Mentari berada?"
Alam tergopoh-gopoh menghampiri sahabatnya. Bahkan, bekas tepung di wajah belum terseka. Entah apa yang pria itu lakukan, tapi penampilannya memang sedikit berantakan.
"Mentari masih di periksa, Al. Aku juga tengah menantikan kabar akan kondisinya."
Genta meminta Alam untuk duduk sembari menunggu, tetapi sepertinya pria itu enggan menuruti. Ia lebih memilih berdiri dan menanti kabar Mentari.
Seorang pria mengenakan jas putih keluar dari ruangan Mentari. Sudah bisa di tebak apa profesi yang tengah di geluti. Mereka bertiga langsung saja mengerubungi, terutama Alam yang bertanya tanpa henti.
"Pak dokter, apakah adik saya baik-baik saja?"
"Apakah anda adalah keluarga pasien?" Dokter menilisik dengan seksama. Dari segi wajah, tentu Alam sangat mirip dengan Mentari.
"Saya adalah kakak kandungnya, dok."
"Kondisi pasien baik-baik saja, mungkin pasien syok begitu terjun ke dalam danau. Anda bisa menemuinya, tapi jangan terlalu berisik. Pasien masih membutuhkan istirahat yang cukup. Kalau begitu, saya permisi," ujar dokter mengakhiri percakapan mereka.
Alam lebih dulu berpesan kepada kedua sahabatnya untuk menunggu. Setidaknya, ia akan melihat bagaimana kondisi Mentari di dalam sana.
Pemandangan yang cukup mengejutkan di dapati oleh Alam. Barusan saja dokter mengatakan jika Mentari harus beristirahat, tapi sekarang hal lain pula yang ia lihat.
Mentari tersenyum bercengkrama entah dengan siapa, sesekali pula ia tampak tertawa. Meski sedikit terlihat, ia masih cukup lemah.
Heran, itulah yang terlintas di pikiran. Akan tetapi, Alam tetap maju tanpa keraguan. Menyapa Mentari, sang adik kesayangan.
"Mentari."
Panggilan itu seakan membawa Mentari ke alam nyata. Ruangan berwarna putih dengan aroma khas obat-obatan, Mentari tidak berada di ruang VIP, bagaimanapun untuk berada disana membutuhkan biaya yang tak sedikit.
Lengang, hanya ada Mentari dan Alam. 2 tempat tidur tertata rapi, itu artinya ia adalah pasien satu-satunya di ruangan ini.
"Kak Alam? Kenapa wajahnya seperti itu? Jelek sekali," gurau Mentari yang di iringi kekehan kecil.
Alam hanya menatap heran. Apa yang salah dengan penampilannya, ia memang sedikit berantakan, tapi apakah dia sejelek itu?
"Itu, ada tepung di pipi kanan. Kemarilah, biar Mentari bersihkan."
Dengan telaten dan penuh kasih sayang, Mentari menyeka bekas tepung yang mencoreng wajah Alam. Pria itu sudah seperti ibunya saja, bereksperimen di dapur dan akhirnya terkena senjatanya sendiri.
"Lain kali berhati-hatilah. Jika hal buruk terjadi padamu, aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri."
Di tatapnya netra Mentari, perasaan penuh kasih sayang selalu membuat Alam takut akan kehilangan.
"Alam memang begitu menyayangimu, Mentari."
Mentari tersenyum ke arah Bulan, apa yang dikatakan pria itu memang sebuah kebenaran. Alam adalah sebuah keajaiban yang di titipkan Tuhan. Rasa sayangnya tak terbatas, kadang membuat beberapa teman sekolah Mentari berteriak iri.
"Apakah kau tahu, kenapa wajahku belepotan tepung seperti ini?" tanya Alam kembali.
Pria itu mendudukkan dirinya di sisi Mentari, lalu mulai berceloteh, "seharusnya ini rahasia, tapi sudahlah akan ku beritahu. Beberapa hari lagi adalah hari spesial bagi kita berdua."
Dia memang harus ekstra sabar menghadapi Mentari. Andaikan adiknya itu tidak sedang sakit, pasti sudah di amuk karena tidak paham juga.
"Hari ulang tahunmu akan tiba, aku harap kau tidak melupakan hari kelahiranmu. Jadi, aku memutuskan untuk belajar membuat cake, ternyata cukup sulit. Aku heran, kenapa kau bisa membuatnya."
"Astaga! Seharusnya ini tetap menjadi rahasia. Kenapa kak Alam memberitahuku?"
Ia tentu melayangkan protes. Seharusnya itu menjadi sebuah kejutan untuknya, untuk pertama kali Alam mencoba membuat cake dan itupun di hari ulang tahunnya!
"Kau sendiri yang salah, kenapa tidak berhati-hati. Jangankan membersihkan diri, untuk diam barang sedetikpun aku takut setengah mati. Sudah cukup kehilangan orang tua, Mentari. Aku tak ingin lagi kehilanganmu, hanya dirimu yang ku miliki."
Perasaan bersalah hinggap di hati Mentari. Alam benar, mereka hanya memiliki satu sama lain, entah apa yang akan terjadi jika salah satu dari mereka pergi dari dunia ini.
"Maafkan Mentari, kak Alam."
"Semua ini adalah ulahku, Mentari. Mereka mulai berani untuk berkomunikasi serta menampakan diri. Aku harus segera mencari solusi. Lekas sembuh, ketika kau tiba di rumah, saat itu pula aku akan kembali."
Bulan tersenyum sebelum akhirnya menghilang. Tak lama, aroma busuk nan anyir menyeruak di ruangan Mentari. Alam sendiri merasa keheranan, padahal sebelumnya semua nampak biasa.
Bulu kuduknya berdiri, Mentari menelan ludah sembari menatap kesana kemari. Ada yang aneh, tapi ia tentu tak tahu apa itu. Perasaan tak nyaman pun mulai menyelimuti.
"Aku ingin segera pulang." Suaranya tercekat. Seperti ada yang tengah mengawasi.
"Baiklah, tunggulah disini, aku akan meminta bantuan Langit untuk mengurus administrasinya."
"Jangan lama-lama, aku merasa tidak nyaman." Akhirnya kalimat itu bisa ia lontarkan. Lidah Mentari terasa kelu seperti ada sesuatu yang menahan.
Alam hanya mengangguk mengerti. Mentari sepertinya memang punya ketakutan sendiri akan rumah sakit.
"Lang, tolong uruskan administrasi Mentari dahulu, aku akan mentransfer biayanya nanti setelah keluar dari sini. Dia merasa tidak nyaman berada disini."
"Aku akan mengurusnya, Al. Masalah biaya, tak perlu di fikirkan."
Langit memberi kode pada Genta jika ia akan meninggalkan mereka sebentar. Di tengah jalan, ia berkata, "kita ini teman lama, Al. Untuk hal kecil seperti ini tentu aku tak akan merasa terbebani, apalagi jika itu menyangkut dengan Mentari."

KAMU SEDANG MEMBACA
TEA-AMO
Teen FictionKisah tentang dua insan yang berkeinginan sama, tapi berada di dunia yang berbeda. Takdir mempertemukan mereka tanpa sebuah rencana dan takdir pula yang memisahkan mereka tanpa wacana. Waktu membuat mereka terbiasa, tapi waktu pula yang membuat kede...