Ini hampir tengah malam, tapi Mentari enggan terpejam. Lampu kamarnya sudah temaram, menjadi pertanda jika seharusnya gadis itu larut dalam buaian mimpi.
“Dimana Bulan? Kenapa lama sekali, bukankah dia berkata akan kembali ketika aku berada di rumah? Ini bahkan sudah berjam-jam lamanya, tapi pria itu seperti tak akan menepati ucapannya,” gumam Mentari.
Gadis itu mengetuk dagunya berkali-kali, sembari sesekali melirik ke arah jarum jam yang enggan terhenti. Waktu kian berlalu, tetapi Mentari masih setia menunggu. Malam ini ia begitu resah, terutama ketika pikiran akan Bulan menerpa.
“Aku benar-benar akan memarahinya setelah dia datang!”
Gundah gulana Mentari rasakan, tatkala menanti Bulan yang tak kunjung terlihat oleh pandangan. Berpisah barang sekejap saja resah, apakah Mentari bisa jika harus begini kedepannya?
Dokter mengatakan kondisinya memang baik-baik saja, mungkin hanya sedikit cedera di pergelangan tangan. Maka dari itu hingga kini matanya masih menelisik jauh keluar sana. Suara jangkrik terdengar bersahutan, apalagi burung hantu pun seakan menyanyi bersamaan.
Malam semakin larut, tetapi yang di tunggu tak kunjung hadir. Kebosanan seakan membunuhnya secara perlahan. Bagaimana lagi, ingin menggerakkan jemarinya pun terasa cukup menyulitkan. Jadi, disinilah dia sekarang, termenung menanti Bulan yang entah kapan datang.
“Bukankah dokter memintamu untuk istirahat, Mentari?” ujar Bulan yang sudah duduk tenang di sisi Mentari.
Gadis itu menoleh, memicingkan mata kemudian menghela nafas berat. Mungkin karena rasa kesal begitu dominan, Mentari tak lagi menjerit ketakutan. Padahal, suasana malam juga cukup menyeramkan. Deru mobil yang biasa terdengar, kini senyap seakan ditelan angin malam.
“Kemana saja kau seharian? Aku menunggumu sudah 8 jam lamanya! Sebelumnya kau selalu bersamaku saat aku cidera, kenapa hari ini tidak!” ujar Mentari, tanpa jeda.
“Jang—”
“Bahkan, saat aku hampir tiada pun kau tidak hadir! Apakah kau sudah tidak peduli padaku! Bukannya kau mengatakan akan selalu hadir jika aku memikirkanmu, ya! Kenapa hari ini tidak! Bagaimana tadi jika aku benar-benar tiada, apakah kau senang melihatku mati tenggelam di danau sana?”
Mentari kesal. Bulan membuat suasana hatinya memburuk. Tadinya, ia ingin bercerita banyak hal, tapi kehadiran pria itu yang sangat terlambat membuat amarah Mentari berapi-api.
Ia bahkan tak memberikan Bulan kesempatan untuk bicara. Terus saja mengoceh hingga semua pertanyaannya keluar begitu saja. Selain lelah, Mentari juga menyimpan amarah.
Gadis itu sungguh menepati ucapannya. Meski terkesan penuh amarah, tapi Bulan tahu jika bukan itu yang sebenarnya ingin Mentari tunjukkan.
“Jangan menungguku, Mentari. Jangan terbiasa juga dengan kehadiranku. Tenang saja, kau tidak akan tiada secepat itu. Bukankah, masih banyak hal yang belum di lakukan?”
“Mana bisa! Aku sudah terbiasa denganmu! Seharusnya ucapkan itu di hari pertama kita bertemu!”
“Baiklah, itu kesalahanku karena tidak memperingatkanmu dan aku minta maaf untuk itu.”
Mentari mengalihkan pandangannya dengan tangan terlipat di dada. Pipi chubby itu menggembung serta tatapan mata yang sedikit menyipit.
“Aku kesepian menunggumu. Kak Alam bilang, Langit menyelamatkanku dari danau.”
Bulan merasa gemas dengan Mentari. Entahlah, tapi gadis itu sungguh sangat menarik hati. Apakah mungkin dia bisa berjauhan dengan Mentari nanti?
“Aku tahu.”
“Kau tahu? Kenapa tidak langsung menghampiriku!”
Lagi, Bulan hampir di buat tertawa dengan reaksi yang Mentari tunjukkan. Mood gadis itu gampang berubah, sebentar marah, lalu bersikap biasa saja. Cukup sulit di tebak.
“Aku tidak bisa, Mentari. Ada urusan mendesak.”
“Jangan bilang jika itu terkait dengan Kenzy. Jangan percaya padanya, Bulan.”
Nada bicara Mentari melemah. Bulan bisa melihat jika wajah gadis itu terlihat sedih, tapi apa yang salah dengan itu?
“Apa ada yang salah?”
Gadis itu lalu mengambil sikap ingin bercerita. Kisah ini terlalu panjang, hingga sulit di tuntaskan akhirnya.
“Kak Alam bercerita, jika beberapa waktu lalu ia memergoki Kenzy tengah mengawasi rumah ini.”
“Kapan?”
“Sewaktu hujan badai waktu itu. Dimana aku mengira kau ada di tempat lain.”
“Benarkah?”
“Ada apa Bulan?”
Seperti biasa, Bulan selalu tersenyum sebelum mengawali ceritanya. Mungkin, hal itu akan menimbulkan banyak pertanyaan di benak Mentari. Namun, senyum itu menimbulkan rasa tenang yang tak di ketahui asalnya.
“Di hari itu, aku merasa ada yang salah dengan rumah ini. Hawanya terasa sangat panas, hingga membuatku selain tak nyaman juga tak bisa berlama-lama. Aku seakan berada di lingkaran hitam yang membuatku tak bisa kemanapun. Berbeda dengan hari biasa. Selain itu, begitu aku ingin menghampirimu, seperti ada tembok besar yang menghalangi. Semakin di coba, justru usahaku hanya sia-sia.”
“Kau bersungguh-sungguh? Lalu, apakah kau melihat siapa yang berpura-pura menyerupaimu?”
Bulan tak menjawab perkataan Mentari. Ia merasa ada hal penting yang harus mereka luruskan.
“Apakah kau sangat mengenal Kenzy dan keluarganya?”
“Orang tua Kenzy merupakan orang yang cukup tertutup. Mereka jarang berbaur dengan tetangga sekitar. Aku bahkan hanya pernah bertemu dengan mereka sekali, setelah itu setiap kali kesana yang 'ku temui hanya Kenzy dan Bi Umah.”
“Apa yang kau ketahui tentang Kenzy?”
“Kenzy itu pendiam dulunya. Dia pernah mengatakan bisa melihat makhluk kasat mata. Banyak orang yang memperingatkanku untuk menjauh dengannya, tapi aku tidak melakukan itu.”
“Jadi, dia memang bisa melihat makhluk sepertiku, ya?”
“Kenzy pernah berbicara dengan beberapa diantaranya. Dia juga menjagaku, sama seperti yang kau lakukan.”
“Lalu, kenapa dia pindah?”
“Hari itu, banyak sekali orang-orang yang datang dan mengatakan mereka pemilik ilmu hitam, setelah apa yang terjadi kepada bi Umah, tapi aku sendiri tidak percaya. Kenzy masih berbicara denganku, sebelum akhirnya ikut dengan orang tuanya. Aku dengar, mobil yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan. Kedua orang tua Kenzy tak selamat dalam kecelakaan itu.”
Sepanjang dari Mentari berceloteh, Bulan hanya termenung. Ia fikir waktunya masih banyak, ternyata pertemuannya dengan Kenzy adalah satu diantara banyak alasan ia harus segera pergi.
“Apakah itu penyebab dari sifatnya yang temperamental sekarang?”
“Aku tidak tahu, tapi kemungkinan besar memang itulah penyebabnya. Jadi, kau jangan mendekatinya, itu peringatan! Aku tidak ingin hal buruk terjadi padamu.”
Lagi, Bulan kembali dalam kebimbangan. Ia sungguh ingin terus bersama Mentari, tapi perkataan Kenzy tentang ia akan segera tiada jika tak kembali, sangat sulit di singkirkan. Kembali pun, tak menjanjikan ia akan mengingat Mentari yang sudah menemaninya selama ini.
Melihat Bulan yang hanya diam dan terlihat sedikit berbeda, menimbulkan sebuah tanya di benak gadis itu. “Kau baik-baik saja, Bulan?”
“Tentu, lekaslah beristirahat, aku akan berada di sisimu. Pejamkan mata dan masuklah ke alam mimpi. Kita mungkin akan bertemu disana.”

KAMU SEDANG MEMBACA
TEA-AMO
Teen FictionKisah tentang dua insan yang berkeinginan sama, tapi berada di dunia yang berbeda. Takdir mempertemukan mereka tanpa sebuah rencana dan takdir pula yang memisahkan mereka tanpa wacana. Waktu membuat mereka terbiasa, tapi waktu pula yang membuat kede...