Pandangan Mentari menerawang ke depan, kalimat Bulan terus terngiang-ngiang dalam pikiran. Dia bahkan tidak sadar jika Alam sedari tadi telah menunggu, berdiri menggigil di ambang pintu. Gadis itu termanggu, menatap ke arah luar dengan jendela yang berembun. Bibirnya membisu, kelu, tak mampu bersuara barang sedikitpun.
Sedangkan, disisi lain, ada Alam dengan kedua tangan penuh dengan barang bawaan. Namun, Mentari tak kunjung menghampiri seperti apa yang ia harapkan. Tubuh jangkung itu mulai menggigil kedinginan, udara dingin dan derasnya hujan kini seakan menusuk tulang. Akhirnya, pria itu memilih masuk, meski dengan keadaan basah kuyup seluruh badan dan air yang perlahan menetes dari pakaian.
Suara petir pun mengelegar, tiba-tiba saja datang menyambar. Membuat lamunan Mentari buyar dan akhirnya kembali sadar. Gadis itu meringkuk, menyelamatkan diri dari petir yang mengamuk. Mentari takut, nyalinya kian menciut.
Petir menggelegar, menyambar tak tentu arah. Seperti meluapkan emosi penuh amarah, kepada penduduk bumi dan semesta. Terutama kepada manusia durjana yang dengan tega menjadi penyebab kerusakan dunia.
Hal ini tentu saja membuat Alam kian waspada,
"Mentari, kau ada dimana?" tanya Alam dengan nada khawatir.
Lelaki itu mengabaikan dingin yang kian menusuk, prioritas utamanya adalah keberadaan adik tunggalnya yang kini entah bersembunyi dimana.
Kesana dan kemari, Alam tak kunjung menemui apa yang ia cari. Adiknya seakan hilang bak tertelan bumi, tak meninggalkan jejak apapun untuk di telusuri.
"Mentari, aku sudah kembali!" teriak Alam kembali, bahkan nada suaranya sudah meninggi tanpa ia sadari.
Tepat ketika Alam hampir putus asa, ia melihat adiknya tengah duduk tak berdaya, meringkuk bersembunyi di bawah kolong meja.
Kepala gadis itu mendongak dan langsung disambut senyum hangat sang kakak.
Hatinya teduh seketika, hilang sudah rasa takutnya, lenyaplah perasaan gundah gulana yang sempat melanda.
Mentari berusaha berdiri, meski kakinya tak mampu di ajak berdiskusi. Manik mata gadis itu bergerak memperhatikan kondisi Alam yang basah kuyup karena air hujan.
Disaat seperti inipun, Alam lebih mementingkan dirinya daripada hal apapun.
"Kak Alam kenapa basah kuyup? Memangnya tidak berteduh dulu?" Kalimat itu akhirnya mampu dilontarkan, meski sedikit kaku ketika di ucapkan.
Alam hanya menggedikkan bahu. "Mana sempat, keburu telat."
Niat melucunya itu ternyata tak bisa membuat Mentari tertawa, rupanya ketakutan gadis itu masih sama dan tak berubah.
"Mentari ambilkan handuk dulu, ya."
Alam menarik lengan Mentari, meminta gadis itu untuk duduk dengan santai. "Duduklah disini, Kakak akan ke belakang mencari handuk, nanti setelahnya baru meminta tolong padamu untuk mengeringkan rambutku."
Alam berjalan menuju ruang belakang, meninggalkan Mentari dengan segala ketakutannya. Sejenak, lelaki itu khawatir meninggalkan adiknya walau hanya sesaat, hujan badai disertai petir menggelegar seperti ini tentu saja bisa membuat Mentari berteriak histeris seperti dulu.
Pria itu kembali dengan handuk di tangan, duduk di samping Mentari yang tampak meringkuk ketakutan, memeluk bantal sofa berbulu dengan nyaman. Secara naluriah, Alam menarik Mentari ke dalam dekapan. Menyalurkan kehangatan dan mengusir hawa tak sedap yang gadis itu rasakan.
"Jangan takut, kakak ada disini."
Tak bisa di pungkiri, Alam beberapa kali meringis perih, ketika kuku jari Mentari dengan lancang mencakar lengannya.
Hari itu adalah kenangan kelam yang mustahil bisa di lupakan. Keputusan keluarga mereka untuk menikmati akhir pekan bersama, seketika berubah menjadi duka, tatkala hujan mengguyur tempat piknik mereka kala itu.
Gadis itu menggelengkan kepala setelah memori itu kembali terlintas dengan jelas, Alam seakan mengerti apa yang adiknya fikirkan langsung membelai lembut rambut Mentari.
"Kak Alam kenapa pergi? Bukankah sudah tahu tadi pagi cuaca sedang tidak baik, tapi Kakak justru nekat," protes Mentari kepada kakaknya.
Alam yang mendengar rentetan kalimat itu hampir dibuat tertawa, Mentari merupakan gadis ceria dibalik rasa takut yang terlihat oleh mata. Gadis itu tidak akan diam saja, apalagi itu menyangkut tentangnya.
"Besok akhir pekan, jadi Kakak harus belanja keperluan kita untuk seminggu ke depan," jelas Alam pada adiknya itu.
Mentari tak bergeming, ia terdiam seakan memikirkan suatu hal penting. "Kenapa harus di stok? Bukankah kita bisa membelinya setiap hari?"
Lagi, pertanyaan sederhana yang mampu membuat Alam menahan tawa.
Lelaki itu memperagakan apa yang Mentari lakukan, mulai dari ekspresi hingga nada bicara.
"Bagaimana jika bahan makanan kita habis dan situasi sedang tidak memungkinkan untuk kita keluar atau bahkan membelinya?"
"Memangnya Kak Alam fikir kita hidup di tengah-tengah wabah virus zombie?"
"Bisa jadi, sebab sekarang sedang marak virus yang belum diketahui asal usulnya, Mentari. Lebih baik jaga kesehatanmu." Alam kembali memperingati.
Ah, manis sekali pria satu ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
TEA-AMO
Fiksi RemajaKisah tentang dua insan yang berkeinginan sama, tapi berada di dunia yang berbeda. Takdir mempertemukan mereka tanpa sebuah rencana dan takdir pula yang memisahkan mereka tanpa wacana. Waktu membuat mereka terbiasa, tapi waktu pula yang membuat kede...