Berlari mengelilingi taman memanglah hal yang menyenangkan. Mencuci mata menatap indahnya dunia yang terlihat begitu menawan. Menapakkan kaki pada tanah berembun berhias rerumputan, apalagi sayup-sayup terdengar suara kicauan burung saling bersahutan.
Entah angin darimana, Mentari melangkah menyusuri jalan dengan tergesa-gesa. Di ayunkan langkahnya lebih lebar dan terbuka.
"Berhenti!"
Mentari berteriak lantang, berharap teriakannya mampu mencegah nyawa seseorang melayang. Ia berlari, mencoba melawan waktu yang tak ingin berhenti, meskipun seseorang tengah mencoba untuk bunuh diri.
Gadis itu menatapnya, tatapan yang terlihat asing untuk dirasa. Bibirnya pucat pasi dengan raut wajah tanpa ekpresi. Sejenak, bibir itu tersungging melihat betapa seorang gadis kecil seperti Mentari sungguh berani.
Helaan nafas yang memburu, tak menyurutkan niat Mentari yang membara.
"Apa yang tengah kau lakukan? Ku mohon, sebesar apapun masalahmu, jangan memilih untuk mengakhiri hidup."
Senyum kecil terukir pada bibir pucat itu, membuat suasana sekitar justru terasa tak begitu nyaman. Mentari bergidik kengerian, entahlah tapi suasana saat ini memang cukup mencekam.
"Aku hanya ingin di tolong, sebelum akhirnya meregang nyawa," ujar gadis tanpa nama.
Mentari diam dan terbungkam. Kalimat yang dilontarkan gadis itu cukup membingungkan. Ia merasa gadis itu penuh dengan aura kesedihan.
"Mendekatlah, jangan berpikir untuk terjun ke dalam danau itu," ujar Mentari, berusaha membujuk gadis jangkung itu agar tak melaksanakan niatnya.
Tepat ketika tangan gadis itu akan menyentuh tangannya, Bulan tiba-tiba saja muncul dan mencekal pergelangan Mentari. Memukulnya mundur hingga hanya berjarak sejengkal saja dengan pinggir jembatan.
"Jangan mencoba mendekat!" hardik Bulan.
Untuk sejenak Mentari terdiam, masih berusaha mencerna apa yang terjadi. Tentang bagaimana Bulan bisa hadir disini dan sentuhan yang beberapa saat lalu baru saja di alami. Hingga suara gadis itu kembali menginterupsi.
"Dia ingin membantuku, apa masalahnya denganmu?"
Kini, suara lemah lembut yang beberapa saat lalu Mentari dengar berganti dengan raungan kemarahan. Gadis itu menatap Bulan penuh amarah, membuat Mentari menelan ludah.
"Bulan, menyingkirlah! Kau bisa membuatnya jatuh!"
"Mentari, diamlah sejenak!"
Ia tertegun, ini adalah kali pertama baginya melihat amarah Bulan. Pria yang dia kenal penuh dengan ketenangan, kini justru berapi-api seakan tak mengenal belas kasihan.
"Dia adalah gadisku, jadi aku peringatkan padamu untuk tidak merealisasikan niat jahatmu!" ancam Bulan.
"Ckck, tidak sadar diri!"
Tiba-tiba saja gadis misterius itu berteriak marah, disambung tawa yang terdengar tak ramah. Wajahnya menyeringai keji, di hias beberapa luka yang tak tertutupi.
Di tengah keributan itu hanya Mentari lah yang terpaku menyaksikan mereka bertengkar. Bagaimana Bulan menyebutnya, hingga wajah asli gadis itu dengan luka menganga.
"Kau lupa pada dirimu sendiri anak muda? Arwah penasaran sepertimu tentu tidak akan bisa bersama dengannya," ujar gadis itu seraya mengarahkan jari telunjuknya kepada Mentari.
Pada detik berikutnya, wajah yang semula terlihat marah, kini kembali menjadi gadis lembut nan jelita.
"Baiklah, izinkan aku membantu kalian. Mentari, ulurkan tanganmu," pinta gadis itu. Suaranya lembut dan terdengar merdu.
Membuat Mentari terlena dan tanpa sadar mengulurkan tangannya. Bulan jengah, ia ingin sekali marah, tapi sungguh apapun itu terasa tak ada gunanya.
"Apa matamu itu tidak bisa melihat, Mentari? Apa kau tidak lihat bila tubuhnya sudah basah kuyup? Perhatikanlah dengan seksama!"
Bentakan Bulan membuatnya kembali. Bulan benar-benar menyentaknya keluar dari alam ilusi. Mentari bergidik ngeri, setelah kesadarannya pulih dia sadar akan siapa yang kini mereka berdua hadapi. Arwah penasaran yang menghuni danau ini.
"Aku ... Aku hanya ingin membantunya, Bulan," ujar Mentari yang kini merasa takut, baik itu pada Bulan atau arwah gadis yang tak tenang.
"Sebagai balasannya dia akan menenggelamkanmu disini, itu yang kau inginkan?"
Gadis itu menghilang, disaat keduanya tak memperhatikan. Namun, hal itu di rasakan oleh Bulan, ia menoleh mencari keberadaan gadis yang sudah membuat amarahnya muncul.
"Dimana gadis itu?"
"Aku disini!"
Kemunculan sosok menyeramkan itu membuat Mentari kaget bukan main. Wajah berhias nanah serta beberapa luka yang terlihat masih mengeluarkan darah. Dia mundur ke belakang dan langsung terjun bebas ke dalam danau.
Gadis itu menyeringai keji, apa yang menjadi harapannya kini telah terjadi. Sekali lagi, ia tertawa puas, lalu menghilang tanpa bekas.
Bulan tak tahu apa yang harus di lakukan. Beruntungnya dia melihat Langit dan temannya dari kejauhan, sepertinya mereka juga tengah menikmati suasana tanam yang sayang untuk di lewatkan.
Tentu, tanpa berfikir panjang ia segera menghampiri mereka.
"Ku mohon, hanya kali ini, aku sangat ingin berguna bagi Mentari."
Setelah menghembuskan nafas panjang, Bulan mencoba memasuki tubuh Langit. Ia cukup merasa kesulitan karena ini adalah kali pertama ia mencoba. Begitu sulit menyesuaikan diri serta menguasai tubuh Langit sepenuhnya.
Menyatu dengan tubuh orang lain tidaklah seburuk yang ia kira. Begitu dirinya mampu menyatu dengan Langit, Bulan bergegas menghampiri Mentari dengan secepat mungkin.
Bahkan, teman Langit yang tadinya berjalan beriringan menjadi kesulitan. Mereka berteriak, tapi Langit tak mendengarkan. Lebih tepatnya, Bulan tak ingin mendengar hal apapun. Baginya, keselamatan Mentari adalah segalanya.
Tanpa pikir panjang, tubuh Langit terjun begitu saja ke dalam danau. Menggapai Mentari yang tak lagi sanggup merintih meminta pertolongan. Di angkatnya tubuh gadis itu yang bibirnya sudah memucat.
Mentari belum lama tenggelam, tapi tubuhnya sudah terasa amat dingin. Mata gadis itu terpejam, membuat perasaan Bulan kian gelisah.
Waktu Bulan tidak banyak, perasaan enggan menyelimuti hatinya ketika akan meninggalkan tubuh Langit. Dia masih ingin lebih lama menyentuh Mentari. Akan tetapi, berada lama di tubuh yang bukan miliknya membawa rasa letih yang cukup menguras energi.
“Mentari, bangun!” Langit berteriak sembari sesekali menepuk lembut pipi gadis itu.
“Mentari, ayo bangun! Ayo, kita masih harus menyelesaikan cerita tentangku!” Bulan terduduk sendu di sisi Mentari.
Ini kali pertama ia melihat Mentari tak berdaya, ada rasa sakit yang seakan mendera.
Usaha untuk membangunkan Mentari pun nihil, hingga teman Langit tiba gadis itu masih terpejam, membuat hati kian berkecamuk runyam.
“Lang, ada apa dengan Mentari? Jika Alam tahu, dia akan marah besar!” seru Genta.
“Aku tidak tahu, tapi sebaiknya kalian membantuku membawa Mentari ke rumah sakit terdekat!”
Terdengar suara cemas dari ucapan yang Langit lontarkan. Lelaki jangkung itu segera bergegas menggendong Mentari sembari mencari kendaraan untuk mereka.
“Di sekitar sini paling dekat itu klinik. Apakah kau yakin?” tanya Genta kembali, memastikan.
Angkasa mengangguk mantap, biarlah ia menanggung ini semua. Anggap saja sebagai permintaan maafnya pada Mentari.

KAMU SEDANG MEMBACA
TEA-AMO
Teen FictionKisah tentang dua insan yang berkeinginan sama, tapi berada di dunia yang berbeda. Takdir mempertemukan mereka tanpa sebuah rencana dan takdir pula yang memisahkan mereka tanpa wacana. Waktu membuat mereka terbiasa, tapi waktu pula yang membuat kede...