08. Pencuri Perhatian

0 0 0
                                    

Sorak sorai teriakan para suporter masing-masing sekolah terdengar menggema di gedung olahraga, semua begitu antusias mendukung tim pilihannya masing-masing. Dua kubu dari masing-masing tim tampak tak ingin kalah dengan terus meneriakkan semangat untuk kedua tim basket putra tersebut.

Teriakan suara pendukung semakin menjadi tatkala salah satu tim berhasil memasukkan bola ke dalam ring basket. Para gadis SMA Natural sibuk meneriakkan nama sekolah mereka dengan bangga, sementara Mentari asyik duduk di pojok mendengarkan lagu jaman dulu menggunakan earphone sembari memperhatikan dua tim basket putra yang terkenal sulit dikalahkan kini saling berhadapan mencari kemenangan.

Ia tidak pernah antusias dalam perayaan apapun, apalagi ini hanya pertandingan persahabatan antara dua sekolah. Dia tidak akan diuntungkan atau merasa rugi dengan kegagalan masing-masing tim.

Gadis itu larut, dia larut di dalam pikirannya sendiri.

“Mentari!”

Suara itu tentu terdengar seperti angin lalu saja, ditengah teriakan penonton yang menggema, mana mungkin suara sekecil itu bisa di dengar jelas oleh Mentari.

“Heh!”

Bintang yang awalnya duduk paling depan di tribun penonton untuk menyaksikan pertandingan, kini menghampiri Mentari dengan rambut yang sudah lepek karena berkeringat

Tak ada raut lelah yang terpancar dari wajah Bintang, gadis itu penuh dengan semangat. Berbanding terbalik dengan Mentari yang jarang antuasias dalam kegiatan apapun di sekolah.

Tangan lentik milik Bintang menarik paksa earphone yang terpasang rapi di telinga Mentari, hingga membuat kedua earphone itu terlepas. Manik mata gadis itu mengisyaratkan sebuah pertanyaan.

“Ayo, kita duduk di depan bersama! Kenan hari ini tanding, aku tidak percaya dia menyetujui permintaan guru olahraga untuk memimpin pertandingan.”

Kalimat penuh semangat yang Bintang lontarkan tak mampu membakar semangat yang telah terkubur dalam-dalam pada diri Mentari. Gadis itu tidak tertarik, apalagi dia baru tahu jika Kenan memimpin pertandingan kali ini. Hilang sudah minatnya yang hanya tersisa sejumput saja.

Sorakan terdengar kembali, begitu meriah ketika ternyata sekolah mereka mendapatkan satu poin lebih tinggi dari tim lawan. Bintang meneriakkan nama Kenan sama seperti gadis lainnya, menyemangati pria itu.

Tentu saja Mentari tidak akan membuang suara dan membuat kering kerongkongannya. Gadis itu lebih memilih diam di tempat, seperti sebuah patung. Teriakan demi teriakan itu membuat kepalanya pusing bukan main, telinganya berdengung seakan memantulkan kembali suara yang ditangkap.

“Kau sepertinya sangat menikmati hal ini,” ujar Mentari yang dibalas anggukan dari Bintang.

Gadis dengan lesung pipi itu kemudian duduk di sisinya, sedikit berceloteh mengenai masa kecilnya. “Sebelum masuk SMA, basket adalah olahraga favoritku dengan kak Langit, aku harap kau tidak melupakannya.”

Hancur, hancur sudah suasana hatinya. Seharusnya Mentari tidak melupakan hal itu, tapi mau bagaimana lagi dia sama sekali tidak ingin mengingat tentang Langit. Pria yang tak lain dan tak bukan adalah kakak kandung dari sahabatnya.

Bintang bangkit dan menjulurkan lengannya, disertai sebuah senyuman yang tentu saja berhasil menampilkan lekukan di kedua pipinya.

“Ayo, kita lihat bersama!” ajak Bintang sekali lagi.

Tatapan malas Mentari tak menyurutkan keinginan Bintang untuk mengajaknya duduk di bangku paling depan. Mentari memang meraih tangan gadis itu, tapi bukan untuk duduk bersama dengannya, melainkan dia ingin segera pergi meninggalkan sekolah sebagaimana seharusnya.

Dengan gerakan lembut, Mentari memilih melepaskan genggaman Bintang pada tangannya. “Aku tidak tertarik.”

Gadis itu menenteng tas miliknya yang justru menimbulkan gurat pertanyaan di kening Bintang. “Kau akan pergi kemana?”

“Aku ingin pulang, bukankah menonton pertandingan hanya sebuah formalitas saja?”

Sepertinya Bintang pun sudah menyerah membujuk Mentari agar tetap berada di tempatnya hingga pertandingan selesai. Setelah meminta Mentari untuk menghubunginya begitu sampai di rumah, gadis itu langsung berlalu kembali menduduki kursinya.

Akan tetapi, Mentari terpaku ditempatnya begitu merasakan hawa yang sangat berbeda menyelimutinya. Langkah kaki gadis itu terasa amat berat untuk digerakkan. Tatapannya menjurus ke seberang tribun, pada seorang gadis yang bisa ia pastikan sedang menatap ke arahnya dengan sebuah seringai menakutkan.

Rupa gadis itu tampak asing, ini adalah kali pertama Mentari melihatnya. Seringaian itu mampu membuatnya merasa pucat pasi, entah apa makna dibalik semua itu, tapi Mentari merasa ini sebagai sebuah peringatan akan suatu hal yang akan terjadi.

Tatapan yang tajam dan mampu menusuk relung hati Mentari dari jauh, seringai yang tampak jelas meski jarak mereka lebih dari 10 meter. Entah mengapa, tapi pandangan Mentari seakan tersihir, terpaku pada gadis itu dan tak mampu beralih ke arah lain.

“Hei, apa yang kau perhatikan?”

Suara Bulan menarik Mentari kembali dalam kesadaran, kening gadis itu berkeringat membuat benang pertanyaan muncul di benak lelaki itu. Nafas yang tersengal makin membuat Bulan diliputi rasa penasaran.

Gadis itu menoleh dan mendapati Bulan sudah berdiri tenang di sisinya. Mentari seperti terombang-ambing oleh sesuatu yang tak ia mengerti. “Apa yang kau lakukan disini?” tanya Mentari dengan kesadaran yang ala kadarnya.

Lelaki itu hanya diam. Menatapnya dengan tatapan yang tak bisa Mentari artikan. Merasa kesal karena pertanyaannya di abaikan, gadis itu kembali melontarkan pertanyaan yang membuat Bulan langsung bersuara.

“Sebaiknya kau segera masuk ke dalam ragamu, bukankah itu yang kau inginkan? Aku harap kau juga tidak lupa perkataan Ken hari ini.”

“Tentu saja tidak! Aku akan terus mengingatnya sepanjang hidup.”

Mentari membelalak terkejut ketika Bulan malah membuat kosa kata terakhir menjadi sebuah nada lagu yang cukup populer pada zamannya.

“Bersamamu--”

“Berhenti, Bulan! Darimana kau mengetahui lagu itu?”

“Itu ada di playlistmu, Mentari. Beberapa minggu ini kau terkadang juga memutarnya, bagaimana bisa aku tidak tahu?”

Ah, Bulan benar. Belakangan ini Mentari memang suka mendengarkan lagu tersebut, terasa menenangkan dipendengarannya.

“Itu bukan lagu seperti yang kau fikirkan,” elak Mentari, takut jika Bulan mulai berfikir yang tidak-tidak tentangnya.

Berbeda jauh dari dugaan gadis itu, Bulan justru masih tersenyum memperhatikannya. Senyuman teduh yang selalu Mentari rindukan.

Mereka berdua berjalan meninggalkan tribun yang tampak riuh dengan sorakan para siswi, bahkan Mentari mungkin sudah melupakan kejadian yang membuat bulu kuduknya merinding beberapa saat lalu.

“Apakah menurutmu aku memecahkan rekor dunia?”

“Dalam hal apa?”

“Membuat para gadis meneriakkan namaku, sama seperti apa yang mereka lakukan pada Ken.”

Mentari mengehela nafas kasar. Semua pria sama saja, haus akan pujian wanita.

“Kenapa tidak kau coba saja dengan hidup kembali? Bukankah itu lebih mudah daripada kau menghabiskan waktuku hanya untuk pertanyaan konyol seperti itu.”

“Tapi Mentari--”

Bulan sepertinya salah bicara kali ini. Setelah perbincangan mereka dengan Ken, Mentari tampak lebih sensitif dan mudah terpancing emosi dari biasanya. Tanpa menunggu Bulan menyelesaikan ucapannya, gadis itu sudah berlalu meninggalkannya di tribun.

TEA-AMOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang