20

1.1K 42 2
                                    

Matahari perlahan meninggalkan singgasananya, meninggalkan semburat kuning ke oranye an yang mengintip dari celah celah pohon besar di sekitar mansion itu. Chrysa duduk termenung di sebuah sopa lembut selembut helaian bulu angsa.

Dihadapannya tersaji beberapa macam makanan yang disiapkan maid di rumah ini, bukan Sarah. Karena Sarah ada di Lexington tentunya, sedangkan ia di Sisilia.

Makanan dihadapannya tak sama sekali ia sentuh sejak kedatangannya. Tangannya ia tumpukan di kedua pahanya. Pandangannya lurus ke depan.

Sama sekali tak menyadari kehadiran Axton di ruangan itu.

"Kau harus memakan makananmu nona, agar kau memiliki tenaga untuk melawanku"

Axton mencengkram dagu Chrysa "Kau mendengarkan ku?"

Dengan gerakan kaku, Chrysa mengangguk. Sungguh ia tak ingin mencari masalah dengan iblis di hadapannya

Dengan pelan ia memasukan suapan demi suapan kedalam mulutnya.

Axton mendudukkan dirinya di hadapan Chrysa, mengamati cara makan wanita itu.

"Chrysa kau tidak ingin tahu keadaan Petter?"

Tangan Chrysa mencengkram sendok dengan erat sampai sampai tubuhnya bergetar, dengan suara lemah ia berkata

"Tolong jangan ganggu keluargaku Ax, kumohon"

Axton mengetukan jari jemarinya.
"Kenapa, apakah kau mau berkorban Chrysa?, berkorban untuk dosa mereka? Kau rela?"

"Kau tahu Chrysa?" Axton menjeda ucapannya.

"Aku..aku juga pernah memohon sepertimu Chrysa, memohon agar ayahku berhenti menyakiti ibu, memohon agar akulah yang disakiti jangan ibuku, tapi bajingan itu seakan tuli hahaha"

Axton berdiri "Habiskan makananmu dan tidurlah, aku pergi"

Sempat Chrysa berpikir, kehidupan macam apa yang pernah Axton alami, sampai membuatnya tumbuh menjadi manusia seperti ini?.

Sepeninggal Axton Chrysa kembali menangis, memikirkan nasibnya nasib keluarganya, bisakah ia kembali menjalani hidup normal dan tertawa bersama sahabatnya Emma.

Kehidupan macam Aya yang sedang ia jalani saat ini, takdir macam apa yang membuatnya seakan tak pernah merasakan bahagia.

***

"Haruskah kita kembali ke Sisilia, Suamiku? Haruskah kita kembali ke kota neraka itu demi menyelamatkan Putri kita?"

Marrie menatap suaminya sendu, ia tidak cukup punya keberanian untuk kembali ke kota yang membuatnya trauma, tapi ia lebih tidak bisa membayangkan kehidupan seperti apa yang putri kecilnya jalani di sana.

Siksaan macam apa yang dialami putri kecilnya itu, memikirkannya saja membuatnya sangat merasa gagal menjadi seorang ibu.

Petter masih disana, dengan setia berada di sebelah ibunya, mengelus bahu ringkihnya, berusaha menenangkan ibunya walaupun ia sendiri merasa sangat gelisah sekarang.

"Apakah kita punya cara lain Marrie selain kembali kesana?"

Marrie menggeleng, ia tertunduk lemah.

"Maafkan Petter, Petter selangkah lebih lambat daripada Axton Mom, Dad"

Austin menggeleng "Ini bukan salahmu son"

"Sebenarnya petter tidak kabur dari Sisilia dad, Petter pergi dengan izin Salvatore"

Austin menoleh "bagaimana bisa, apa yang kemudian kau janjikan Pete?"

Petter menggeleng "Aku tidak menjanjikan apapun, aku berbicara sejujurnya, aku ingin menyelamatkan Chrysa, makanya setelah menemui Axton aku kembali menemui Salvatore kemarin, dan melaporkan situasinya"

Austin mengangguk "Demi Chrysa aku akan kembali ke sana, apapun yang akan terjadi padaku, anggaplah sebagai penebus dosa kita di masa lalu"

"Aku dan Petter akan ikut denganmu, bagaimana mungkin aku membiarkanmu sendiri kesana. Mari kita selamatkan sama sama"

Mereka bertiga berpelukan, sama sama menyalurkan kekuatan. Mereka harus kuat demi putri dan adik kecil mereka

***

Sedangkan di Manhattan, Emma tampak selalu murung setiap pagi, sahabat satu satunya telah menghilang lebih dari sebulan. Chrysa meninggalkan kuliahnya, meninggalkan kerja part timenya bahkan ia juga meninggalkan rumah sewa mereka tanpa berita sedikitpun.

Emma hanya dekat dengan Chrysa jadi begitu Chrysa menghilang ia sendirian.

"Huft Chrysa where are you now? Kenapa kau menghilang bagai ditelan bumi huh?"

Emma menelungkup kan wajahnya pada lipatan tangan.

Menghilangnya Chrysa bersamaan dengan hilangnya kabar dari 3 sekawan famous di Columbia University siapa lagi kalo bukan Alvero, Richard dan si tampan Axton.

Banyak yang membicarakan hilangnya 3 sekawan itu, tapi tak banyak yang menyadari hilangnya seorang Chrysant Asteraceae.

"Oh Chrysa apakah hanya aku yang mencarimu? Kenapa setiap orang hanya membicarakan Axton and the geng huh?"

Saat ini Emma sedang berada di perpustakaan, bukan untuk membaca tapi hanya untuk numpang bersantai saja.

Tiba tiba seseorang menepuk pundaknya, membuat ia mendongak.

"Kenapa akhir-akhir ini kau terlihat selalu sendiri Emma?, kemana perginya temanmu itu, kenapa ia menghilang"

"Oh hai ketua kelas, aku pun tak tahu. Ia tak memberiku pesan apa pun sebelum menghilang"

Orang yang Emma panggil sebagai ketua kelas itu adalah seorang lelaki tampan berlesung Pipi namanya Charles Walker. Charles tidak se famous Axton tapi ia cukup di kenal karena lesung pipinya membuat ia terlihat manis ketika tersenyum.

"Apakah kamu tidak menelepon orangtuanya? Menanyakan apa mungkin ia pergi menemuinya?"

Emma menggeleng "Aku tidak punya kontak mereka, selama kita tingg bersama, Chrysa jarang berkomunikasi dengan orang tuanya di depanku. Aku tidak pernah bicara dengan mereka"

Charles mengusap pelan bahu Emma bermaksud menenangkan wanita itu. "Ayo kembali, kelas sebentar lagi akan di mulai"

Emma hanya mengangguk dan berjalan mengekor di belakang Charles

***

Next part bestie ...

Dear MafiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang