21

1K 34 1
                                    

Alvero menuangkan vodka kedalam gelas kristal kecil, kemudian menyerahkannya kepada Axton.

"Ax, apakah ibumu korban kekerasan dalam rumah tangga?"

"Seperti apa katamu"

Alvero menggeleng tak percaya "woh aku tak mempercayainya, kukira pernikahan orangtuamu rukun Ax, mereka selalu tampak harmonis ketika sama sama menghadiri acara pemerintahan"

Axton mengangguk "Ibuku anak seorang perdana menteri, mereka hanya berusaha menjaga image orang tua ibuku, karena setiap langkah seorang pejabat negara selalu menuai perhatian banyak orang bukan"

Richard mengangguk ia menatap lurus kedalam manik mata sahabatnya itu "Seberapa dalam luka yang kau simpan Ax? Seberapa lamu kamu merencanakan pembalasan dendam itu?"

"Ak..."

Bruk... Ucapan Axton terhenti seseorang jatuh tersungkur bersujud di kakinya.

"Maaf Tuan Maximilian, orang ini tertangkap basah mengawas anda, bahkan ia memotret anda beberapa kali" Seorang bodyguard Axton melapor

Axton mengibaskan tangannya menyuruh bodyguard nya pergi meninggalkan mereka.

Pyaar.. gelas wine yang Axton pegang pecah menghantam kepala pria itu.

"Siapa yang mengirimu?"

Dengan suara lemah pria itu menjawab "Salvatore"

Tanpa menunggu lama Axton melakukan panggilan telpon dengan kontak yang ia beri nama "Pak Tua"

Tut..Tut..Tut.. sambungan terhubung
"Kenapa kau mengirim seseorang untuk mengawasi ku pak tua?"

"Agar kau tak melangkah melewati batas, Axton"

"Melangkah melewati batas seperti apa yang kau maksud? Menyiksa wanita? Apakah kau sekarang adalah seorang biksu suci pak tua? Tidak kah kau merasa bahkan kau sama saja denganku? mencelakai seorang wanita?"

"Kakek sudah bertobat Axton, kakek sudah menyesali perbuatan kakek di masa lalu, kakek tahu perbuatan kakek menyengsarakan putra kakek sendiri"

"Apakah tuhan mau menerima tobatmu pak tua? Ku tegaskan jangan ikut campur urusanku lagi kau mengerti!"

Tut

Axton memutuskan panggilannya.

"Kalian uruslah dia"

Kedua teman Axton mengangguk dan membawa pria itu pergi meninggalkan Axton.

Setelah kepergian ketiganya Axton menghela nafas.

Sejujurnya ia lelah, dendam itu begitu menyakitinya, membungkus tubuhnya dan meremukkannya. Ia terbelenggu. Namun ia tak bisa merelakan dendamnya begitu saja. Harus terbalas. Harus!

Orang orang itu harus merasakan penderitaan ayahnya. Karena sebab perbuatan merekalah yang membuat ayahnya berperilaku kasar pada ibu nya. Sebab merekalah ayahnya tak pernah memperhatikan keberadaannya.

Mereka harus di balas sama rata.

***

"Apakah tidur anda nyenyak nona?"

Chrysa tersenyum kecil, ia menyesap teh yang dibawakan maid, sembari memperhatikan maid yang berusia sekitar 50 tahunan itu membersihkan ruangannya

"Siapa namamu?"
maid itu menunduk "Lucy, kau bisa memanggilku Lucy nona"

"Baiklah Lucy, emmm omong omong, sudah berapa lama kau bekerja di sini?"

"Itu.. saya bekerja di sini sejak kelahiran Tuan muda Axton, nona"

Chrysa mengangguk tanda mengerti.

"Saya sudah selesai nona, kalau begitu saya pamit undur diri" Lucy melangkah pergi, meninggalkan ia sendiri lagi.

Chrysa melamun, bagaimanakah keadaan Emma, bagaimana kuliahnya? Oh tentu pastinya ia sudah di keluarkan. Ia melewatkan kuliahnya, bahkan ia melewatkan pergantian tahun di tahun ini.

Keluarga, apakah keluarganya mencarinya? Apakah mereka mengkhawatirkannya?

***

Bandara Punta Raisi di Palermo, ibu kota Sisilia.

Kembali adalah hal yang diinginkan sebagian orang dan adalah hal yang dibenci sebagiannya. Kembali pada kenangan indah adalah hal menyenangkan tapi kembali pada kenangan pahit adalah hal paling menyedihkan.

Satu, dua, sepuluh, dua puluh tahun bahkan lebih, tak menjamin kenangan itu lenyap dari memori kita. Ada kalanya kenangan itu menyeruak masuk dan terputar otomatis seperti kaset rusak.

Kita dipaksa masuk kedalam kubangan masa lalu dan dipaksa menelan secara paksa kenangan yang bertahun tahun berusaha kita lupakan.

Yang lambat laun membunuh kita secara perlahan.

Rasa bersalah adalah yang paling membuat kita resah. Penyesalan yang datang terlambat dan permintaan maaf yang bahkan belum sempat terucap.

Marrie menggenggam erat tangan Austin, begitupun Austin. Ia balas menggenggam tangan sang istri dengan erat, seolah menyalurkan kekuatan dan mengatakan bahwa semua akan baik baik saja selagi mereka bersama.

Petter mengekor dibelakang mereka.
Ya mereka bertiga baru saja menginjakan kaki di Bandara Punta Raisi, Palermo, Sisilia.

"Kita akan kemana?" Marrie bertanya pada suaminya

"Aku sudah menghubungi Alfredo, dia berkata, dia berada di Sisilia, kita akan tinggal sementara bersama dia"

Ah Alfredo, Marrie ingat siapa Alfredo. Sepupu sang suami yang sempat membencinya karena ia bermain dengan Giordano yang akhirnya malah membantu mereka mengasingkan diri dari Sisilia.

Mereka bertiga memasuki salah satu taksi yang berjajar di pintu keluar bandara. Setelah Austin memberi tahu alamat tujuannya, taksi pun segera meluncur meninggalkan Bandar udara Punta Raisi.

Banyak yang berubah dari terakhir kali mereka berdua meninggalkan Sisilia. Bangunan dengan interior megah dan menjulang adalah perubahan paling mencolok.

Kehidupan di tengah-tengah kota terlihat sangat normal, tidak ada kesan mafia dengan segala sisi gelapnya.

Begitu sampai di sebuah rumah di pinggir kota, mobil taksi berhenti. Mereka bertiga keluar dan telah di sambut Alfredo yang berdiri di depan pintu pagar.

"Syukurlah kalian datang dengan selamat, ayo masuk kedalam"

Mereka mengangguk "Bagaimana kabarmu?" Austin bertanya.

"Tidak begitu baik. Oh iya aku sempat bertemu Chrysa"

Austin menarik tangan Alfredo "Kau bertemu dengannya? Bagaimana keadaannya?"

Alfredo mengernyitkan dahinya "Bukannya ia kesini atas izin kalian?"

Marrie menggeleng kaku "Ia di culik"

***

To be continued

Dear MafiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang