2

13.1K 222 1
                                    

Happy Reading ^_^

***

Syukurlah cuaca pagi ini cukup stabil,  tidak seperti semalam tapi tetap saja karena sedang musim dingin tetap saja udaranya dingin. Ada beberapa alasan mengapa aku tak terlalu suka udara musim dingin adalah karena aku tak terlalu punya stok baju hangat. Baju hangat yang aku miliki bisa di hitung dengan jari. Yang paling aku suka adalah yang sekarang ku pakai, mantel pemberian sahabat terkasihku di Virginia, tepat sehari sebelum keberangkatan ku ke Manhattan, ia rela jauh jauh memberikanku mantel tebal dengan bulu yang sangat hangat. Aku harus berterima kasih padanya.

Alasan lain aku tak suka udara musim dingin adalah karena baju milikku tidak mudah kering, oh ayolah aku masih mencuci secara manual maksudku, aku mengandalkan tenaga dalam diriku dan sinar matahari, you know what I mean?. Dan sepertinya jika aku ingin terus berganti baju setiap harinya aku harus setidaknya mempunyai satu mesin cuci. Tampaknya aku harus mendiskusikan ini dengan Emma.

"Emma" Emma menoleh tanpa menghentikan langkahnya, ya kami sedang dalam perjalanan menuju kampus kami. Kami ada kelas pagi hari ini. Dan ya seperti inilah kehidupan kami sehari-hari. Kami memang selalu berjalan kaki ketika pergi menuju kampus, hitung-hitung olahraga, tapi ya terkecuali jika waktu waktu tertentu kami akan memutuskan untuk menaiki bus.

"Kita harus membeli mesin cuci" Emma menghentikan langkahnya, begitupun aku. Keningnya berkerut, ya ku yakin ia pasti bingung apa maksudku mengatakan itu, tapi ayolah. Ia masih saja terdiam membuatku kesal. Aku mendengus kesal dan meninggalkannya di belakang. Sepersekian detik kemudian tawanya menggelegar. Oh Astaga, aku berhenti berjalan dan menatapnya tajam, tatapan ku seolah berkata

'Apa kau gila?'

Aku menghampirinya dan memukul kepalanya dengan buku yang aku tenteng.

Dukk

Ia masih belum mau menghentikan tawanya, membuat beberapa pejalan kaki yang kebetulan melewati kami, menatap kami seolah berkata

'Kalian gila?'

Aku menatapnya tajam, ia menghentikan tawanya, bukan bukan tepatnya ia berusaha menghentikan tawanya dengan membekap mulutnya sendiri, dia anak orang kaya, tapi dia tak bisa menahan tawanya astaga memalukan, tak ada manis manisnya

"Berhenti tertawa sialan!!"

Aku mendelik dan mendengus, dengan menghentakan kaki aku berjalan mendahuluinya, menunggu ia berhenti tertawa akan memakan waktu hingga satu abad lamanya.

"Hey tunggu aku, jangan marah!!"

Emma berteriak, dan itu semakin membuat kami terlihat bodoh. Ia berlari dan merangkul pundakku, aku tak bereaksi apapun, aku hanya diam. Aku tidak marah sama sekali aku mana bisa pada Emma ia adalah satu satunya orang yang dapat menopangku dan ku jadikan topangan. Yah aku hanya kesal saja padanya.

"Nanti aku belikan"

Aku hanya bergumam saja sebagai balasan, aku sudah tak begitu peduli dengan keinginanku barusan. Tapi aku yakin ia akan tetap membelikanku mesin cuci itu. FYI mengapa kita tak memiliki mesin cuci, itu karena Emma selalu menggunakan jasa loundry untuk membersihkan baju baju mahalnya itu. Sangat berbeda denganku yang Missqueen. Miris memang.

Setelah berjalan hampir 1 km dengan waktu tempuh kurang lebih 10 menit, akhirnya kami sampai di Columbia University. Begitu memasuki area lapangan utama kampus, aku membelalakan mataku wanita wanita ini, apakah mereka sedang menikmati liburan musim dingin? Berlebihan sekali mereka. Ku rasa mereka sedang berlomba lomba memamerkan pakaian terbaik mereka. Tidak Chrysa kau saja yang terlalu kampungan, mengasumsikan demikian.

"Kau jangan melamun ayo, kelas akan di mulai 10 menit lagi"

Aku melihat jam tangan yang melingkar cantik di pergelangan tanganku, benar kelas Mr. Robert akan segera dimulai, kami pun berjalan menuju gedung fakultas kami Management, Bussiness. Apa kalian ada pertanyaan untukku, seperti apakah kampus se-beken Columbia University di isi oleh pria-pria tampan dan kaya?

Aku akan menjawab Tentu. Bisa di katakan Columbia University adalah gudangnya para pria tampan dan mapan, aku tak berbohong. Sebut saja Axton Allighiero M. Pria tampan ralat sangat tampan, itu adalah most wanted boy di Columbia University. Pria dingin dan misterius yang sangat digandrungi kaum hawa di sini. Walaupun sikapnya demikian tapi tak menyurutkan para fans bahkan wanita yang tergila gila padanya untuk mencari sedikit perhatiannya.

Ya aku akui, dia memang pria yang sungguh tampan. Pria berdarah Jerman-Italia yang tersesat di Amerika. Oh astaga pemikiran macam apa ini. Tubuh tegap dengan dada yang ku yakin bidang itu menambah kesan sempurna yang tersemat dalam diri Axton, apalagi dengan tinggi yang mencapai 183 cm, itu luar biasa.

Namun, dari sekian banyak mahasiswa mahasiswi di sini tak ada satupun yang yang mengetahui nama lengkap dari seorang Axton Allighiero M. yah mungkin hanya orang orang tertentu saja, maybe. Dan yah aku tak pernah berani beradu tatap dengannya, ia memiliki tatapan mata yang setajam elang, mengintimidasi dan mematikan, itu point pentingnya. Namun point penting lainnya, yang menjadikan Axton most wanted adalah tampan dan mapan.

Entah hanya perasaanku saja atau memang itulah kebenarannya, aku selalu merasa Axton memandangku berbeda dengan wanita wanita lainnya, bukan berarti aku menyimpulkan bahwa ia menyukaiku, oh itu sudah tentu mustahil.

Lupakan Axton kelas pertamaku akan di mulai.

***

Setelah sekitar 4 jam akhirnya kelas pertama usai, aku dan Emma segera beranjak untuk menuntaskan rasa lapar cacing cacing di perut kami yang sudah meraung raung minta di isi. Aku mengedarkan pandanganku ke sepenjuru kantin. Suasana kantin pagi ini tergolong cukup ramai, dan itu adalah salah satu hal yang aku benci. Ughhh, tapi mau bagaimana lagi, perut ku sudah sangat lapar.

"Kamu mau pesan apa?, biar aku pesankan"

"Seperti biasa"

Emma mengangguk dan pergi untuk membeli makanan untuknya dan pesananku. Aku hanya memesan satu bungkus roti dan satu botol air mineral, ya ini akhir bulan dan aku harus berhemat. Bukan hanya akhir bulan saja, tapi hampir setiap hari aku harus selalu berhemat. Aku tak terlalu mementingkan gizi yang ku pedulikan hanya menuntaskan rasa lapar. Miris memang.

Emma berjalan mendekatiku dengan tangan yang di penuhi oleh berbagai macam makanan, ku sebut berbagai macam ya tentu miliknya, milikku hanya sebungkus roti dan satu botol air mineral. Bertepatan dengan Emma yang mendudukan dirinya di depanku, suasana kantin berubah menjadi lebih tenang, namun bukan hening. Aku sudah dapat menebak apa yang terjadi, dan begitu aku mengangkat pandanganku, benar saja...

***
Terimakasih kalian, mohon maaf untuk segala macam kekeliruan

Tolong klik ikon bintang di pojok kiri oke. Dan comment apabila memiliki kritikan atau saran.

I hope you like it ^_^

Dear MafiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang