16

98 14 0
                                    

Changbin mendengkus kesal. Dia menendang batu yang ada di dekatnya. Hidupnya benar-benar kacau. Teman-temannya perlahan meninggalkan dirinya.

Pertama-tama Wooyoung, setelah itu Han, lalu dilanjut kematian-kematian sahabatnya yang lain.

Changbin kan jadi sedih.

Ditambah lagi perkataan Jeongin tadi siang saat di basecamp.

"Urutan puzzle lo itu setelah punya Kak Felix, Kak Changbin."

Aduh, gimana bisa Changbin nggak overthingking gara-gara itu?

Mana dia jalan pulang ke rumahnya sendirian lagi. Fyi, rumah Changbin itu dekat dengan basecamp. Dia hanya perlu memasuki gang dan berjalan kira-kira 200 meter lalu sampailah ia di rumah.

Dan sekarang perasaan Changbin tidak enak. Harusnya dia terima saja tawaran Minho yang memintanya untuk pulang bareng.

Changbin jadi menyesal.

Cowok itu kembali menghela napas lelah. Kakinya masih menendang-nendang batu sebelum akhirnya berhenti saat melihat kelinci putih yang sedang duduk diam sambil menatapnya.

"Meow—eh kok meow sih anjir. Itu kelinci, goblok. Kelinci suaranya gimana, ya?" Changbin menerka-nerka. "Ah, bodo amatlah." Kakinya dia bawa ke tempat di mana kelinci itu berada. Namun belum sempat didekati, kelincinya malah pergi.

Mana perginya ke jalanan yang berlawanan dengan rumah Changbin lagi.

Karena menyukai kelinci, tentu saja Changbin mengejar kelinci itu. Hingga akhirnya Changbin berhenti di jalan buntu. Di depannya ada seseorang yang sepertinya dia kenali.

Tapi, kan ...

Dia berbalik, menyeringai menatap Changbin. "Halo, Seo Changbin. Kaget nggak?"

"Lo?! Lee Minh-"

Jleb!

"Akh!" Suara pekikan Changbin membelah heningnya malam. Matanya membulat, menatap sang teman yang tega-teganya menusukkan pisau ke perutnya.

"Maaf, ya. Gue harus bunuh lo biar selamat."

Perut Changbin nyeri. Sang teman tersenyum lebar kemudian semakin menekan pisau di perut Changbin, membuat Changbin terbatuk-batuk. Darah keluar dari mulutnya.

"Ke—napa?" Dia bertanya dengan napas terengah.

"Kenapa lo bilang? Ya biar gue selamat, lah. Gue kan kerjasama bareng iblis."

"L-lo tega ngelaku—in itu?" Changbin bertanya dengan suara bergetar. Kakinya melemas, dia terjatuh saat tangan sang teman tidak lagi menyentuh pinggangnya yang menopang tubuhnya.

"Iya, dong. Demi bertahan hidup, kenapa enggak?" Sang teman mencabut pisaunya. Dia tersenyum remeh. Lalu dengan tidak berperikemanusiaan, si teman menginjak luka di perut Changbin dengan sepatunya yang kotor. Darah semakin merembes keluar dari luka Changbin.

"A-akh." Hanya ringisan yang keluar dari mulut Changbin. Meminta tolong saja dia tidak sanggup, bagaimana dia bisa berteriak?

Sang teman mengangkat kakinya, lalu melepaskan sepatu yang dia gunakan. "Yaahh, sepatunya kotor. Gue kudu nyuci lagi, deh." Dia bergumam. Kemudian memasukkan sepatu dan pisau ke dalam plastik hitam yang dia bawa. "Bye-bye, Changbin~ selamat tidur, semoga lo bisa ketemu Wooyoung dan kawan-kawan di sana."

Orang itu pergi meninggalkan Changbin yang sudah tidak bernyawa.

***

Chan sangat gelisah. Sebagai yang paling tua dalam tim, dia benar-benar resah saat Changbin tidak bisa dihubungi. Ibunya juga bilang kalau Changbin tidak pulang ke rumah.

PuzzleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang