Bab 4

150 7 10
                                    

  Mengingat tentang temannya yang bernama Silvi tetapi akrab ia panggil Sisil, Alam jadi merindukan gadis yang paling banyak tingkah dan ocehannya kalau mereka bertemu itu. Sebenarnya Sisil tak hilang-hilang amat seperti sepupunya. Terakhir kali berkomunikasi adalah saat akan menikah dan memberikan kabar pada teman-temannya, termasuk Alam yang berada beberapa group dengan gadis itu. Beberapa hari setelah postingan pernikahannya diunggah ia tak lagi aktif di sosial media atau apa pun itu. Cerita yang beredar pada teman-temannya adalah Sisil ikut dengan suaminya yang mendapatkan tugas menjaga keamanan negara di pulau terpencil, yang susah sinyal pula.

"Mas, ayo berangkat." Aisyah yang baru keluar dari kamar melihat suaminya melamun lagi di depan televisi yang tak menyala. Beruntung tak menyala, kalau menyala bisa saling tonton keduanya

"Mas?" panggilnya lagi sembari menyentuh lengan suaminya. Barulah Alam sadar dari lamunan bahwa ada bidadari yang sudah berada tepat di depan matanya.

"Eh, Ay. Udah siap ternyata. Ayo berangkat."

"Khem, Mas sebenarnya lagi mikirin apa sih? Dari tadi Ais perhatikan melamun... terus kerjaannya."

"Enggak, nggak lagi mikirin apa-apa, kok."

"Hmmm... beneran?"

Sambil tersenyum, Alam mendekat lalu menoel hidung mancung itu.

"Beneran. Cuma tadi lagi buka group angkatan, temen-temen mas banyak banget yang menghilang tanpa kabar."

"Owh gitu, kirain Mas ada masalah apa gitu di tempat kerja. Hmmm, pasti Mas sebenarnya mikirin kak Zawil juga, ya?"

Tebakan yang tepat seperti apa yang ada dalam pikiran Alam dan sedang ia pikirkan. Hanya anggukan kecil yang bisa diberikan Alam sebagai jawaban atas pertanyaan Aisyah tadi. Ia jujur sekali karena dia sudah berjanji tak akan berbohong hal sekecil apa pun kepada istrinya, pun dengan Aisyah  juga demikian.

  Dengan lembut Aisyah mengusap bahu kanan sang suami, lalu ia menyunggingkan senyum manis yang kata suaminya selalu membawa ketenangan dan ketentraman jiwa.

"Kata banyak orang kalau kita terus memikirkan seseorang, itu tandanya orang tersebut sedang memikirkan kita, Mas."

"Kayaknya nggak mungkin, Ay. Dia nggak mungkin rindu sama mas. Heheh, ini hanya karena mas tadi sempat lihat-lihat group, jadi kepikiran. Tadinya mikirin Sisil, Ay ingat Sisil sahabat mas, kan?" Alam memastikan agar Aisyah tak jadi salah paham.

"Ingat, mbak cantik yang ramah itu. Apa hubungannya dengan kak Zawil?"

"Mereka saudara sepupu. Yah, mas tadi ingat dia hilang kabar setelah ikut suaminya dinas, malah jadi kepikiran Zawil. Jadi, apa yang Ay katakan tadi mas rasa bukan sebuah kebenarannya. Zawil nggak mungkin rindukan sama suami kamu ini."

Aisyah menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskan dengan berat. Ia tahu hal yang suaminya hadapi dengan Zawil bukanlah perkara yang mudah. Tentu saja melihat Alam bersedih memikirkan sahabatnya seperti ini, Aisyah merasa sangat bersalah karena dialah akar masalah yang Akan dan Zawil hadapi. Hilang kabar dan mis komunikasi selama bertahun-tahun.

  "Mas, coba cari kontaknya dan hubungi saja kak Zawil."

"Mas nggak bisa, Ay. Mas nggak bisa untuk...."

"Kalau sama-sama egois, siapa yang akan kembali menyambung tali silaturahmi yang sudah putus ini, hmm?"

Hanya helaan napas sebagai balasan. Alam membuang wajah ke arah lain, tetapi Aisyah menangkup wajah sang suami agar mata mereka bertemu.

"Ais nggak mau kalian putus silaturahmi seperti ini. Namun, Ais juga nggak bisa paksa Mas untuk melakukan hal yang Mas nggak mau lakuin. Apa pun itu, Ais dukung keputusan Mas Alam. Hanya saja tolong pikirkan ucapan Ais tadi," ujar Aisyah panjang lebar.

Tak kuasa, Alam membawa wanita dengan balutan gamis hitam dan jilbab cream tersebut ke dalam pelukannya. Aisyah memejamkan mata saat kepalanya bersandar ke tengah-tengah dada bidang sang suami, ia membalas pelukan itu dengan sayang karena dada bidang ini adalah tempat ternyamanya bersandar.

"Terima kasih, ya, Ay. Kamu selalu saja hiasi hari-hari mas dengan nasihat dan kata-kata mutiara. Mas sayang banget sama kamu, Ay."

Tak ada jawaban dari Aisyah, tetapi pelukan yang mengerat cukup menjadi respon Aisyah atas apa yang diucapkan tadi.

"Daripada sedih-sedihan, mending kita berangkat aja sekarang. Kita sholawatan lagi sepanjang jalan seperti kemarin. Ais yakin pasti bisa membuat hati Suamiku ini jauh lebih tenang." Aisyah menarik tubuh lalu memberikan ide bagus itu lagi.

"Ayo, Sayang," balas Alam senang.

Kemarin mereka sudah melakukan hal tersebut dan terasa sangat menyenangkan. Sepanjang jalan bersholawat, tak hanya mendapatkan ketenangan jiwa dan raga tetapi mendapatkan kasih sayang dari Allah karena orang yang diberikan sholat adalah kekasihnya tercinta, Nabiyyuna Muhammad.

 
"Sholatullwh, salamullah, 'A ka Yasin Habibilah...."

Sepanjang perjalanan menuju kampus, sepasang suami istri itu melantunkan ucapan pujian kepada Baginda Rasulullah Saw.

Seperti yang ada pada bayangan Alam saat belum mendapatkan wanita di belakangnya sekarang, ia sangat berharap mendapatkan Aisyah itu agar ia bisa memperbaiki hidup menjadi kepribadian yang lebih baik lagi. Dan, apa yang Alam harapkan itu bisa menjadi kenyataan.

  Alam sudah lebih banyak berubah dari sebelumnya. Dia yang biasanya moodyan di kantor, kini lebih banyak ceria.

  "Nanti telepon aja kalau sudah jam pulang, biar mas jemput," pesan Alam saat istrinya turun dari boncengan.

"Nggih, tapi nanti kalau Diana nawarin pulang bareng gimana?"

Sering kali saudaranya itu menawarkan pulang bareng. Kadang Aisyah iyakan dan mereka pulang bersama, terkadang juga tidak jika suaminya belum menerima telepon ketika dia akan izin.

"Boleh, tapi tetep kabari mas dulu, ya."

"Nggih, Mas."

Seperti biasa, Aisyah mengulurkan tangan lalu disambut tangan besar pria itu. Aisyah mengecup punggung tangan sang suami, lalu dikembalikan dari kecupan singkat pada kening.

"Yang semangat konsulnya, biar cepet wisuda, Sayang."

"Aamiin, semoga bisa secepatnya wisuda, ya, Mas. Nggak sabar Ais lulus dari kampus."

Banyak hal yang membuat ia ingin lulus dengan segera, salah satunya adalah karena biaya pendidikan. Aisyah tahu orang tuanya sangat mampu untuk membiayainya kuliahnya, bukan hanya sampai S1, bahkan sampai S3 pun ia yakin orang tuanya siap.

Namun, semua itu kini bukan lagi haknya, hanya Diana bisa mendapatkan itu semua karena Aisyah sadar dirinya sudah menjadi tanggung jawab sang suami

Kecuali jika Alam mengizinkan untuk lanjut dengan menerima tawaran orang tuanya kemarin, Aisyah akan lanjut. Namun, jika suaminya tak mengizinkan, meskipun ingin, dia tak akan menerima tawaran lanjut kuliah dari orang tuanya karena dia sangat tahu bagaimana sifat dan sikap pria yang sudah menikahinya tiga tahun lalu ini.

  "Assalamualaikum," ucap Alam pelan dan sangat lembut terdengar di telinga Aisyah.

"Wa'alaikumsalam, hati-hati, Mas."

"Nggih."

Tangan keduanya saling melambaikan sebelum mereka benar-benar berpisah. Aisyah benar-benar selalu dibuat full senyum di pagi hari oleh pria itu.

Mereka terlihat sangat bahagia di mata siapa pun yang melihat, termasuk mata pria yang menatap sendu kepada mereka saat kedua netranya tak sengaja menangkap dua orang tersebut. Pria itu menelan salivanya susah payah dengan tangan mengepal kuat.

Siapa dia?

   ***

Maaf telat update, semalam packing novel Bluesky untuk dikirim ke pemiliknya. Mungkin ada yang mau order juga, bisa hubungi saya di Ig atau FB : hasniatuljannah. Hehehe, cmiwii...

Btw siapa ya yang melihat mereka? Ada yang tahu?

 

Rindu Untuk Aisyah 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang