Bab 10

230 9 7
                                    

  Gemuruh bersahut-sahutan di langit, serta hujan lebat membasahi bumi. Aisyah yang menyukai hujan, kali ini rasa takut dan khawatir yang memenangkan perasaannya.

"Ya Allah, lancarkanlah perjalanan pulang suami hamba, hamba sangat khawatir padanya. Di luar hujan lebar, angin, listrik padam. Subhanallah sekali, semoga semua baik-baik saja." Aisyah menarik napas dalam-dalam.

Baterai ponsel yang tinggal sedikit mampu membantunya sebagai penerangan. Ia menutup masakannya dengan tudung saji, Kemudian berpindah ke tempat karpet bulu berada, tepatnya di ruang tengah, tempat televisi berada.

"Semoga mas pulangnya cepat dan selamat," do'anya lagi sebelum memilih berbaring saja di karpet bulu yang ada bantal di atasnya.

Tak ada yang bisa Aisyah lakukan selain pasrah dan berdo'a agar suaminya segera sampai rumah. Karena ia tahu ketenangan akan kembali ketika pria itu pulang.

  Sementara itu, setengah jam lalu di tempat kerja alias rumah makan pelangi, Alamsyah dan segenap karyawan lainnya memang sudah bersiap untuk pulang. Mendung yang ia lihat sore tadi menjadi pemacu semangat Alam untuk menyelesaikan pekerjaannya dengan segera agar bisa sampai di rumah sebelum hujan mengguyur Kota Mataram.

Namun, apa boleh buat saat salah satu karyawannya meminta bantuan untuk diantar pulang ke kost-kostannya di saat hujan hampir turun.

"Ayolah, Pak Bos. Saya minta tolong, ya, ya, ya." Suara manja itu memohon kepada Alam.

Alam tahu seharusnya gadis itu pulang jam lima tadi karena dia shift pagi sampai sore. Namun, Alam tak tahu kenapa gadis yang merupakan adik kelasnya ini masih ada di rumah makan sampai saat ini.

"Ya udah, ayo. Lain kali kalau sudah jam pulang ya pulang langsung, ya. Kecuali kalau memang lembur. Saya nggak mau kamu besoknya pas shift malah ngantuk atau sakit karena kurang istirahat," omel Alam padanya.

"Ehehe, siap Pak Bos."

"Ayo naik, keburu hujan nanti."

Dengan senang hati, Melani naik di boncengan belakang motor Alam, tempat di mana sebelumnya hanya Nayla, ibu dan Aisyah yang ada di sana sebagai perempuan yang Alam bonceng. Selainnya hanya beberapa teman kampus yang nebeng tanpa bisa ditolak seperti contoh yang dilakukan Melani saat ini.

   "Mas Alam...." Melani mengajak Alam ngobrol di tengah perjalanan.

"Iya?"

"Kok tadi sedih lihat mas Iwan pulang?"

Hening

Sebenarnya Melani sengaja mancing-mancing supaya mereka ada topik hangat untuk dibicarakan.

"Enggak, saya nggak sedih sama sekali. Malah saya bahagia karena Iwan sudah jadi bapak sekarang."

"Aih, bohong. Padahal tadi saya lihat sendiri, lho."

"Hanya terharu."

"Pengen punya juga, ya?"

Glek!

Pernyataan Melani benar-benar masuk ke hati Alam. Ya, dia memang ingin seperti sahabatnya, Iwan. Ia ingin merasakan menjadi ayah untuk anak-anaknya.

"Semua orang yang sudah berkeluarga pasti menginginkannya, Mel. Hanya saja Allah belum berikan kepercayaan. Do'akan saja supaya saya secepatnya menyusul Iwan."

"Aamiin...."

Melani mengamini di luar, tapi dalam hati ia melanjutkan. "Aamiin kalau punya anaknya sama saya, ya, Mas. Ehehehhe, ngarep dikit nggak apa-apa, dong. Lagian sih si mbak Aisyah sok-sokan dapet mas Alam, eh taunya.... Mannntul, eh mandul, wkwkw."

Rindu Untuk Aisyah 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang