Suasana pagi ini berbeda dengan kemarin. Kemarin pagi di Kota Mataram begitu cerah, tetapi pagi ini mentari terlihat enggan menampakkan diri. Alam mendongak langit, hanya sedikit mendung di sana. Tanah masih basah akibat guyuran hujan semalam.
"Kayaknya bakal turun hujan lagi, Mas. Mas bawa jas ujan, ya," ujar Aisyah dari arah dapur.
"Huum, Ais hari ini ada konsul nggak?" Alam balik bertanya karena dia cukup khawatir nanti hujan lebat dan istrinya berada di luar rumah.
Aisyah yang tengah menggoreng tahu sebagai sarapan mereka menghentikan kegiatannya sejenak.
"Belum ada konfirmasi, Mas. Kata Diana sih ada, cuma waktunya belum ditentukan sama pembimbing," balasnya lalu kembali pada penggorengan.
Melihat istrinya yang tengah sibuk berkutat di dapur, Alam mengambil sapu lalu menyapu lantai, pekerjaan rumah yang belum bisa dilakukan Aisyah karena setelah sholat tadi dia langsung berkutat di dapur. Dan memang sudah kebiasaan mereka berbagi tugas rumah meski Aisyah kerap kali melarang suaminya mengerjakan pekerjaan rumah tersebut. Namun, Alam hanya mengiyakan tak mengindahkan karena menurutnya pekerjaan rumah jika masih bisa ia bantu kerjakan di waktu tak sibuknya maka tak jadi masalah.
"Udah, biar Ais aja nanti. Mas duduk aja tunggu Ais buat sambel pecelnya."
"Nggak apa-apa, Ay. Lagipula waktu mas masih lama juga di rumah, masih jam setengah tujuh nih," seru Alam sembari terus melanjutkan sapuannya.
Aisyah yang sedang membuat pecel kangkung bertoping tahu goreng hanya bisa menghela napas panjang sembari melanjutkan pekerjaannya. Lebih cepat lauk pauknya jadi, lebih cepat juga sang suami sarapan dan berangkat bekerja.
Setengah jam kemudian, semua sudah siap, Alam pun sudah selesai menyapu dan membersihkan meja makan sebelum istrinya meletakkan hidangan sarapan mereka pagi ini.
"Nanti kalau ada konsul telepon aja, Mas. Nanti mas jemput dan anter ke sana," ucap Alam saat istrinya sudah duduk berhadapan dengannya di meja makan.
"Nggih, Mas. Eh, tapi nanti kan jadi ganggu kerjanya, Mas. Kalau dijemput sama Diana aja boleh, ndak? Biar kerjaan Mas ndak keganggu Ais nantinya."
Alam tersenyum sembari menerima nasi dalam piring Aisyah berikan.
"Hari ini nggak terlalu sibuk, Ay. Jadi bisa lah mas tinggal-tinggal. Nanti pulang konsul kita ke tempat mala, Ay belum tau kan kalau Mala lahiran?"
"Wah? masyaAllah, kapan, Mas?" Aisyah antusias mendengarnya.
"Kemarin. Makanya mas udah ngomong sama pak Harry juga untuk izin jenguk Mala hari ini sama Ay. Jadi kerjaan hari ini tidak terlalu banyak, bisa mas tinggal-tinggal."
Aisyah tentu saja senang jika diajak menjenguk temannya yang lahiran. Terlihat dari senyum yang terbit dengan tulus di bibirnya.
"Ya udah, nanti kalau ada jadwal konsultasi Ais kabari Mas. Tapi kalau ndak ada?" tanyanya memastikan karena dia belum tahu juga dengan pasti ada tidaknya jadwal hari ini.
"Kalau tidak ada, kabari saja mas siang nanti, nanti mas jemput. Ais nggak usah masak untuk makan siang, nanti kita makan di luar, ya."
Aisyah membalas dengan anggukan sembari meletakkan lauk di atas piring Alam.
"Terima kasih," ucap Alam tulus.
Ucapan terima kasih untuk hal yang sederhana saja sudah membuat hati seorang perempuan bahagia.
Setelah membaca do'a makan bersama, keduanya menyantap sarapan dengan seksama.
Sesekali Alam memuji masakan istrinya yang semakin hari semakin enak dirasakan. Sudah tiga tahun menikah tak sedikitpun Alam bosan dengan apa pun yang Aisyah masak meski dia sendiri sudah tercatat sebagai pria yang pandai memasak.
Alam sendiri tak pernah tunjukkan dia lebih bisa dari istrinya, kecuali jika Aisyah sedang sakit dan tak bisa memasak, barulah Alam memasak untuk wanita yang ia cintai itu. Atau kadang saat Alam memang ingin memanjakan istrinya, dia akan memasak itu pun dengan konfirmasi dulu pada istrinya bahwa dia yang akan memasak kali ini. Karena Alam tahu sang istri sangat senang memasak untuknya. Selain karena suaminya sering memuji masakannya, memasak untuk suami adalah salah satu ladang untuk menanam pahala bagi seorang istri.
Pada pukul setengah delapan, Alam berpamitan pada istrinya untuk berangkat kerja.
"Mas berangkat, ya."
"Iya, hati-hati, Mas."
"Huum, jangan lupa kabari nanti," ucapnya mengingatkan.
Aisyah mengangguk mengiyakan, lalu meraih punggung tangan Alam dan mengecupnya. Lalu, seperti biasa satu kecupan pada keningnya diberikan oleh sang suami tercinta.
"Assalamualaikum," ucap Alam sembari tersenyum.
"Wa'alaikumsalam," balas Aisyah dengan tak lupa membalas senyuman manis sebagai pelepas kepergian suaminya mencari nafkah hari ini.
Motor tua kesayangan Alam sudah keluar dari pekarangan rumah, beriringan kendaraan lainnya di jalanan perumahan sebelum keluar gerbang dan menyatu dengan kendaraan lain di jalan raya.
Sepeninggal Alam, Aisyah menghela napas berat.
"Mbak Mala sama mas Iwan udah punya anak aja, padahal mereka baru menikah setahun lalu," lirihnya sembari mendongak ke langit.
"Ya Allah, Ais kapan ya dapat giliran punya janin di sini," ucapnya sembari mengelus perutnya yang rata.
Mata indah itu berkaca-kaca, Aisyah buru-buru mengusapnya dengan punggung tangan.
"Aisyah! Sadar, harus sabar jadi hamba! Astagfirullahal'adzim...." Buru-buru ia menepuk jidatnya dan berucap istighfar karena sudah menuntut Allah agar segera diberikan keturunan.
"Allah pasti akan berikan di waktu yang tepat, ini hanya ujian untukmu, untuk suamimu, untuk pernikahan kalian berdua," ucapnya lagi memperingatkan dirinya sendiri.
Selalu seperti itu, padahal dalam hati kecilnya tetap saja dia menjerit menginginkan adanya buah hati di tengah-tengah mereka sebagai bunga indah dalam mahligai rumah tangga. Namun, tak ada cara lain yang bisa ia lakukan selain menghibur diri, berpasrah diri kepada yang maha kuasa setelah berjuang dengan segala bentuk promil yang direkomendasikan oleh teman-temannya.
Setelah kembali berada di dalam rumah, Aisyah mengecek benda pipih yang ia tinggalkan di kamar sembari mengisi daya. Tangannya bergerak mengetikkan sesuatu untuk Diana.
(Nanti kalau dosen ada tanggapan, buruan telepon, ya.)
Pesan tersebut dikirim ke Diana agar saudaranya itu mengingatkannya nanti. Kebetulan Diana merupakan ketua kelompok mereka. Selanjutnya Aisyah duduk di meja belajarnya, bukan skripsi yang ia buka karena hakikatnya skripsi kalau sudah dirasa benar maka jangan sekali-kali mengedit-edit lagi, nanti bisa pusing sendiri. Hal yang ia buka pada laptopnya adalah hal yang paling ia sukai, hal yang bisa membantunya mengalirkan emosi dan segala perasaan yang menggangu pikiran, yakni melanjutkan novel yang ia tulis.
Annur.F terus menghadirkan karya yang selalu ditunggu-tunggu oleh pembaca. Kali ini Aisyah berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia hanya akan menulis kisah-kisah indah saja agar hidupnya di dunia nyata juga seindah cerita yang ia tulis. Pun dengan sang suami yang masih menyempatkan diri menulis penggalan puisi-puisi indah syair cintanya dengan sang istri di tengah kesibukannya dengan dirinya yang sekarang, bukan Alamsyah yang dulu sering nyender di pojok kamar kos sembari nahan lapar dan mengalihkannya dalam sebuah karya.
"Semoga kita selalu bahagia ya, Mas," ucap Aisyah sembari mengusap bingkai yang menampilkan foto pernikahan mereka. Pernikahan penuh drama yang bercampur luka dan bahagia. Allah telah menyatukan mereka dengan jalan yang sangat luar biasa, dan Aisyah yakin mereka akan mendapatkan keturunan dengan cara yang luar biasa pula.
***
Maaf baru bisa update lagi 😅 jangan lupa vote dan komen dong biar aku semangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Untuk Aisyah 2
Teen FictionDua insan yang saling mencinta, yang selalu mengandalkan kekuatan jalur langit untuk saling memiliki, akhirnya disatukan dalam indahnya mahligai pernikahan. Namun, cinta saja tak cukup untuk melengkapi kebahagiaan rumah tangga mereka. Ujian pra ni...