Bab 17

181 9 4
                                    

Jika wanita menangis karena patah hati itu menjadi hal yang biasa di mata khalayak umum, maka ketika seorang pria yang notabennya keras kepala, sangat jarang menangis, mendapatkan kesempatan goresan hati yang tak biasa dari sang pencipta, maka tangisnya itu adalah tangis yang luar biasa tulusnya.

Ini memang perihal hati dan perasaan, tetapi bukan tentang sebuah percintaan, melainkan sebuah persahabatan yang sangat dirindukan, dan air mata menjadi saksi kerinduan itu.

   Sebuah mobil berwarna silver terparkir di pinggir depan perumahan. Pemiliknya buru-buru masuk ke dalam rumah, menyembunyikan dirinya yang kini tengah menangis disepanjang perjalanan. Dia kemudian duduk di sisi ranjang, memperhatikan sebuah figura yang menampilkan wajah-wajah bahagianya dengan para sahabat saat dulu masih tinggal di kost-kostan kecil yang mampu membuat mereka bagai keluarga tanpa perlu ikatan darah.

  "Dokter bilang apa, Wil?"

Seseorang yang duduk berada di ambang pintu memberikan pertanyaan padanya. Itu adalah sahabatnya yang saat ini berpikir bahwa sahabatnya pulang membawa tangis karena informasi dokter.

Yang disapa menoleh sebentar sembari menghapus air matanya.

"Semua baik-baik saja, minggu depan baru bisa dilakukan operasi. Aku juga udah kabari orang tua di kampung, kemungkinan lusa mereka akan ke sini."

"Terus kenapa nangis?"

Kali ini Zawil tak langsung menjawab, ia menatap kembali figura di depannya lalu menghela napas berat.

"Aku ketemu Aisyah di rumah sakit," jawabnya dengan sangat lirih.

Mendengar nama itu, sang sahabat tahu arah pembicaraan Zawil.

"Ketemu sama Alam juga?"

  Gelengen kepala diberikan sebagai jawaban.

"Aku langsung lari darinya, aku belum siap bertemu dengan mereka, terutama dengan Alam. Rasa bersalah itu benar-benar semakin menyiksaku,  Han."

"Huuhhh...." hembusan napas kasar terdengar dari pria diambang pintu.

Pria itu berjalan masuk ke dalam kamar, duduk di sisi ranjang, tepatnya di samping sahabatnya yang menangis.

"Wil, terkadang ketakutan itu harus dilawan dengan segala cara. Kita tidak tahu apa yang ada dalam pikiran orang lain jika kita tidak berani mencaritahunya secara langsung, langsung pada orangnya, bukan pada orang lain yang tahu tentangnya."

"Tapi aku belum siap, Han. Ini terlalu sulit untuk aku hadapi."

Zawil menatap Farhan yang juga menatapnya.

"Wil, kamu adalah orang yang paling dekat dengan Alam selama kita kuliah. Masa iya kamu nggak hafal karakternya Alam. Aku saja tahu, semua orang juga tahu kalau dia itu pemaaf. Apa kamu masih meragukan kebaikan sahabatmu itu?"

Zawil membuang muka, selama ini memang Alam selalu memaafkan orang-orang yang bersalah kepadanya. Zawil tahu betul bagaimana Alam, tetapi kenapa hatinya terasa sakit saat mengingat apa yang ia lakukan dulu terhadap sahabatnya itu.

"Aku malu, Han...." Air mata Zawil mengalir begitu saja.

Farhan menarik napas dalam-dalam, ia menepuk bahu Zawil untuk menguatkan.

"Kuburlah rasa malu itu saat ini, Wil. Kamu sendiri yang bilang bahwa kamu ingin meminta maaf kepadanya sebelum semua terlambat. Ayo, cobalah. Kalaupun dia tak memaafkan, setidaknya kamu sudah lebih lega sebelum operasi itu dimulai. Bukankah dia salah satu alasan kenapa kamu memilih Lombok sebagai tempat berobat yang tepat?"

Kali ini Zawil terdiam. Dia akan menjalani operasi minggu depan, artinya dia hanya punya waktu satu minggu untuk menjalankan misinya, bertemu Alam dan memperbaiki hubungan mereka. Meski tak ingin mendahului kehendak Tuhan, tetapi Zawil sangat takut operasinya gagal dan dia tak bisa bertemu dengan sahabatnya lagi.

Rindu Untuk Aisyah 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang