Bab 18

34 1 2
                                    

  Pintu ruangan tertutup, Alam melihat jelas dua orang itu masuk ke ruangan yang kini tepat berada di depannya.

Ingin sekali dia membuka pintu dan masuk, mendengar apa yang mereka bicarakan secara langsung. Hanya saja Alam tetaplah Alam yang memiliki akhlak baik. Dia tahu perintah hatinya tadi tidak dibenarkan oleh akalnya.

"Ada apa sebenarnya?" tanyanya pada diri sendiri.

Matanya menatap lurus ke arah pintu seolah berjaga-jaga tak kehilangan orang yang keluar dari pintu itu barang sedikit pun.

  Sementara di dalam ruangan, pria berpakaian serba putih memberikan amplop kepada pasiennya lengkap dengan logo rumah sakit di atasnya.

"Bukalah," ucapnya lirih.

Namun, dari raut wajahnya saja sudah terlihat ini bukan informasi yang baik untuk pasiennya.

"Nanti saja, Dok," ucap sang pasien dengan lemah. Dia sudah pasrah dengan apa pun isi dalam surat itu.

"Kamu masih belum mau mencobanya?" tanya dokter memastikan.

Sang pasien tersenyum, "Akan saya pikirkan lagi, Dok. Sepertinya tujuan saya bertahan di sini juga akan selesai."

Dokter mengernyitkan dahinya tak mengerti.

"Maksudmu?"

Mendapatkan pertanyaan itu, pasien terkekeh tetapi bulir bening mengalir dari sudut matanya.

"Sepertinya yang Dokter tahu, saya bersikeras menolak saran yang Dokter berikan dari awal karena saya takut akan kegagalan," pasien tersenyum sebentar, "saya takut tak bisa kembali ke Pulau Seribu Masjid ini lagi sebelum sampai ke Padang Mahsyar. Saya takut hisab saya sangat berat karena belum mendapatkan maaf dari orang baik yang banyak mengajarkan tentang agama kepada saya, yang sudah seperti saudara saya, tapi dengan tega saya tikam dengan belati kekecewaan dari punggungnya."

Dokter itu melihat jelas ada luka yang begitu perih yang berusaha di tutupi pasiennya.

"Lalu, kenapa sekarang kamu sedikit berubah pikiran untuk mau memikirkan saran saya? Apakah kamu sudah bertemu dan meminta maaf kepada sahabat yang kamu maksud itu?" Dokter jadi penasaran dibuatnya.

Dari yang terlihat di raut wajah pasiennya, dapat ia simpulkan bahwa persahabatan mereka sangat akrab sebelumnya. Sangat disayangkan jika mereka menjadi asing karena bermasalah dan sang dokter juga tahu rasanya ditinggal oleh sahabat, lebih sakit dari saat ditinggal kekasih.

"Sudah, Dok. Hanya saja saya belum meminta maaf."

"Kenapa?" Saking penasarannya dia sampai lupa bahwa sudah jadi kepo urusan orang. Begitu sadar, dokter berdekhem.

"Khem, maaf, maksud saya kenapa kamu tidak meminta maaf jika sudah bertemu. Maaf kalau saya bertanya terlalu jauh urusan pribadimu, bukan apa-apa, kamu pasien saya, alasan kamu menolak selama ini karena dia, jadi saya merasa berhak untuk tahu, maaf."

"Tak apa, Dok. Dokter tenang saja, saya akan segera meminta maaf dan memberikan jawaban kepada Dokter setelahnya."

Tak bisa memaksa untuk tahu lebih lanjut, dokter itu menghela nafas berat dan tersenyum.

"Baiklah, saya menunggu kabar baikmu dan saya sangat berharap masalah kalian segera selesai."

"Aamiin ya rabbal'alamiin. Kalau begitu saya permisi, ya."

"Silahkan, hati-hati di jalan."

"Baik, Assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Setelah menarik gagang pintu, sepasang mata itu beradu dengan sepasang mata lain yang menatapnya bagai mengintimidasi. Cukup lama keduanya terdiam dalam posisi masing-masing, tenggelam dalam apa yang ada dalam otak mereka.

Rindu Untuk Aisyah 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang