Diana menyenderkan kepalanya pada tiang gazebo, saksi bisu perjuangannya selama hampir empat tahun berada di kampus yang lebih dikenal dengan sebutan kampus peradaban bangsa tersebut. Ponsel dengan case Doraemon masih bertengger di telinganya.
"Nggih, Ka, nanti insyaallah saya nyusul ke sana kalau ada temen, soalnya barusan banget motor dibawa masuk bengkel sama Azmi."
"Nggih, kalau begitu udah dulu, ya. Telepon ditutup dulu."
"Iya, salam sama Ais."
"Nanti disampaikan, kan mau ke sini juga."
"Nggih, insyaallah, ya."
"Ya sudah, hati-hati."
"Nggih, Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Diana menarik napas dalam-dalam, sepertinya hari ini dia memang harus banyak-banyak menghebuskan napas berat. Pertama dia telat bangun karena melanjutkan tidur setelah sholat subuh, sebab kepalanya terasa pening dan juga tidak adanya jadwal konsultasi seperti yang direncanakan karena dosen pembimbing sedang ada urusan penting yang tak bisa ditinggalkan. Namun, Diana lupa dia punya janji temu dengan salah satu dosen yang akan membantunya masuk ke salah satu instansi kesehatan sesuai jurusan yang diambil Diana.
Alhasil dia harus tergesa-gesa ke kampus setelah Azmi mengingatkan dari telepon. Di tengah jalan, ban motornya bocor, karena lebih dekat ke kampus daripada ke arah bengkel, maka Diana mendorong motornya menuju kampus terlebih dahulu.
Begitu selesaikan urusannya dengan sang dosen, Diana meminta bantuan Azmi untuk membawa motornya ke bengkel terdekat dan Azmi sampai satu jam lamanya belum juga kembali.
"Aduh, itu biawak kebon ke mana sih!? Lama banget di bengkel," gerutunya karena perutnya sudah nagih untuk diisi sementara dompet tertinggal di dalam jok motor.
"Aaa!!! Sabar, Di, sabar...."
Lagi-lagi ia menarik napas dalam-dalam, memejamkan mata sebentar berharap saat ia kembali membuka mata, ada Azmi yang datang membawa motornya kembali dan dia bisa segera menyusul Alam dan Aisyah yang kini berada di rumah sakit.
Puk!
Satu timpukan mendarat di kepalanya yang tertutup hijab. Sontak Diana membuka mata, melihat siapa gerangan yang berani membangunkan singa yang sedang beristirahat.
"Aih, kamu!" berniat marah tapi ini adalah orang yang ia tunggu-tunggu.
"Malah tidur di sini!" ejek Azmi sembari mengambil tempat untuk mengistirahatkan bokongnya.
"Capek nunggu kamu, Mi. Sekarang, motor mana motor?" tanya Diana menggebu sembari melirik ke arah parkiran, berharap motor matic kesayangannya itu ada di sana.
Namun, yang ia dengar malah helaan napas berat dari Azmi yang membuatnya kembali menatap pria itu.
"Ambil nanti sore kata tukang bengkelnya."
"Hah?"
"Iya, ada bagian yang rusak di pelek motor kamu, terus barangnya nggak ada di bengkel sekarang, nanti sore bisa diambil itu motor karena mau dicarikan dulu barangnya." Azmi menjelaskan dengan detail.
"Yah...." Diana memasang wajah pasrah.
"Ya udah sih, nanti aku anterin pulang. Tunggu si Ibnu balik dulu, dia yang pinjam motorku tadi."
"Tapi aku mau ke rumah sakit, Mi."
"Rumah sakit? Siapa yang sakit, Di!?"
Terlihat wajah Azmi berubah khawatir karena keluarga Diana dan Aisyah sudah seperti keluarganya sendiri."Mbak Mala istrinya mas Iwan melahirkan, nah kak Alam dan Ais ada di sana, aku disuruh nyusul mereka nih."
"Huhh... melahirkan ternyata, kirain ada yang sakit."
"Melahirkan juga sakit kali, Biawak kebon!"
Iya kali temannya itu berpikir melahirkan tak sakit, Diana jadi naik tensi dibuatnya.
"Ahahah iya juga, sih! Eh, tapi ngomong-ngomong itu mulut perlu dimasukin Tk lagi kayaknya, manggil aku biawak kebon! Dasar kamu Kancil."
"Ahahaha kancil kan pinter, ya nggak apa-apa aku disamain kayak kancil, daripada kamu, ahahah...."
Puk!!
Satu timpukan lagi mendarat di kepala Diana yang kemudian meringis karena sedikit sakit.
Hampir empat tahun berteman dengan Azmi, seharusnyaa Diana harus siapkan diri untuk gunakan pengaman kepala karena Azmi memang doyan nimpuk teman. Jangankan Diana, Aisyah aja sering sekali dia timpukin dengan kertas.
"Assalamualaikum."
Suara itu menghentikan perdebatan kecil Azmi dan Diana. Kedua menoleh langsung pada sumber suara sembari menjawab secara bersamaan.
"Wa'alaikumsalam."
"Eh? Kak?" Diana sedikit terkejut melihat pria yang kini berdiri tak jauh darinya.
Dengan senyum manisnya yang khas, pria itu menanggapi Diana.
"Hai, Di. Maaf, tadi kakak denger mau jengukin anaknya mas Iwan, ya?"
Diana dan Azmi saling tatap, ternyata dari tadi ada yang menyimak pembicaraan mereka.
"Ng-nggih, Kak." Diana membalas dengan terbata.
"Hmm kalau nggak keberatan, ayo kakak anter ke sana, sekalian pengen lihat juga babbynya."
"Hmm tapi...." Diana memberikan kode pada Azmi agar membantunya menolak sebab kalau bilang sendiri sangat tak enak kepada pria di depannya ini, menerima pun rasanya sangat sungkan dan sangat beresiko kepada kesehatan jantungnya.
Tapi dasarnya teman tak peka yang ia miliki, jawaban Azmi malah memberatkannya.
"Hmm, apa? Motor kamu? Ya udah gih sana ikut sama kak Azwan aja, motor kamu nanti aku yang urus. Tenang, pasti dianter sampe ke halaman rumah."
Enteng sekali dia berbicara sementara Diana sudah ingin menjadikannya perkedel saja seketika. Salah juga tempat temannya itu ngelag akan kode.
"Nah, itu Azmi udah sanggup. Ayo berangkat sama kakak."
Tawaran kencang yang tak bisa lagi ditolak.
"Hmm, ya sudah."
Diana mengangguk pasrah.
"Ayo."
"Nggih, Kak."
Azwan mempersilahkan Diana berjalan di mana ia memarkirkan mobilnya. Hari ini dia memang ada urusan dengan temannya di kampus ini.
Saat bangun dan berniat mengikuti langkah Azwan, Diana mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya, mengarahkan pada matanya dan pada Azmi dengan tatapan membunuh ala Diana, seolah berkata, kita berurusan nanti.
Melihat kode itu, Azmi baru paham kalau temannya tak mau pergi dan dia melakukan kesalahan dengan ucapannya tadi. Hanya saja dia harus pasrah kalau nanti mendapatkan amukan dari Diana setelah mereka bertemu lagi. Hanya garuk-garuk kepala yang bisa ia lakukan meski kepalanya tak terasa gatal sekalipun.
"Dasar kamu, Mi! Bisa kena lambe turah kamu nanti! Kamu sih nggak jaga lisan dengan baik!" Ia menepuk jidatnya sendiri sembari melihat Diana yang sudah masuk ke badan mobil hitam yang siap membawanya menuju tujuan.
Namun kemudian Azmi menarik ujung bibirnya tersenyum.
"Biarin ajalah dapet lambe turah si kancil, paling juga setengah jam dia ngomel. Semoga aja deh setelah ini kamu nggak jomblo lagi, biar nyusul Ais, Cil, Cil." Azmi menggeleng sambil tersenyum.
Ia ingin melihat temannya memiliki kekasih, tetapi dia lupa kalau dirinya sendiri masih jomblo akut juga seperti Diana. Dasar Azmi teman sebleng memang.
Setelah tak ada lagi Diana di dekatnya, Azmi meninggalkan gazebo, mencari tempat nongkrong di kampus untuk menghilangkan rasa lapar. Dia enak bisa kenyang, sementara Diana yang terjebak yang olehnya hanya bisa dia di dalam mobil sembari menatap ke luar jendela. Ia tak tahu harus bagaimana karena Azwan juga mendiamkannya, fokus ke jalan raya dan sibuk dengan pikiran mereka masing-masing setelah Diana menyebutkan nama rumah sakit yang menjadi tujuan keduanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Untuk Aisyah 2
Teen FictionDua insan yang saling mencinta, yang selalu mengandalkan kekuatan jalur langit untuk saling memiliki, akhirnya disatukan dalam indahnya mahligai pernikahan. Namun, cinta saja tak cukup untuk melengkapi kebahagiaan rumah tangga mereka. Ujian pra ni...