Bab 16

88 9 6
                                    

Dengan napas terengah-engah, pria itu berhenti di dekat sebuah mobil silver. Ia kemudian membuka pintu dengan niat beristirahat di dalam mobil sampai lebih tenang dan aman.

"Ya Allah, apa maksudnya ini? Hamba tahu hamba harus melakukan itu, tetapi tidak sekarang ya Allah, hamba belum siap, hiks... Ap-apa ini adalah tanda dari-Mu agar hamba bisa selesaikan masalah hamba secepatnya? Ya Allah... tunjukkan jalan terbaik untuk hamba, angkatlah keragu-raguan dalam diri hamba ini ya Allah."

Ia terus saja bermonolog sembari menenggelamkan wajahnya pada kemudi mobil.

Bertemu dengan Aisyah memang salah satu hal yang menjadi alasan kenapa dia harus berada di pulau ini, pulau yang pernah memberikan sejuta kenangan untuknya.

"Kenapa dia bisa ada di sini, ya? Siapa yang sakit?"

Lagi-lagi pria itu bergumam, kali ini di sebelah tangannya sudah ada botol minum yang terbuka tutupnya. Ia mendadak haus karena lari maraton setelah bertemu dengan Aisyah di mushola.

"Ah sudahlah, beruntung dia tak mencegah aku pergi tadi. Hmm, kalau ada dia di sini, besar kemungkinan suaminya juga pasti di sini. Aku belum siap ketemu Alam, sebaiknya aku pergi saja."

Pria itu menghidupkan mesin mobil, kemudian keluar dari parkiran rumah sakit. Menurutnya ini bukan hari yang pas untuk bertemu dengan pasangan suami istri tersebut.

   Di dalam sana, Aisyah buru-buru menghampiri suaminya yang kini sedang duduk dengan Iwan di depan ruang rawat Mala. Dua pria beristri itu mengalihkan pandangan, menatap Aisyah yang baru datang.

"Kenapa mukanya cemberut gitu balik dari mushola?" Alam menyapa istrinya sembari membuka tangan agar Aisyah duduk di dekatnya.

"Hmm, ndak kenapa-kenapa, Mas."

"Bener? Apa karena tadi ketemu sama Dania?" tebak Alam.

"Dania yang dulu suka sama kamu, Lam?" Iwan memastikan.

"Iya, tadi Ais ketemu katanya."

"Khem, kayaknya ada yang lagi cemburu, nih?" Iwan memicingkan matanya ke arah Aisyah, sengaja menggodanya.

"Aih, Mas Iwan apaan sih cemburu-cemburu, orang mbak Dania sama calon suaminya tadi," balas Aisyah sedikit ketus. Sengaja, memang selalu saja sahabat suaminya ini senang menggodanya.

"Terus kenapa mukanya ditekuk begitu? Padahal balik dari mushola, lho?"

Dasar Alam, sebelum mendapatkan jawaban yang pas, dia tak akan berhenti menanyakan istrinya.

"Bukan mbak Dania sih, tadi di mushola ketemu temennya Mas, tapi dia lari begitu ketemu Ais." Aisyah menjelaskan, dia memang sedikit kebingungan dengan sikap pria itu.

"Hah? Teman mas? Siapa?"

"Ka Zawil."

Deg!

"Za-Zawil?" Alam memastikan.

Aisyah membalas dengan anggukan.

"Terus sekarang dia di mana, Ay? Dia pergi ke mana?" Alam benar-benar antusias.

"Ais ndak tau, Mas. Kita cuma ketemu sebentar aja terus dia lari, gitu doang."

Alam menoleh ke arah parkiran, ia menarik napas dalam-dalam, memegang bahu istrinya dan berkata,

"Ay tunggu sebentar, ya. Mas ada urusan."

"Eh tapi, Mas...."

"Sebentar!"

Alam berlari tanpa bisa dicegah. Baik Aisyah dan Iwan sudah tahu pasti dia akan mencari Zawil.

Mengingat perpisahan mereka kala itu tidak baik, Iwan berlari menyusul, takut ada pertengkaran jika mereka bertemu dan Aisyah mengikuti juga ke mana mereka pergi.

Rindu Untuk Aisyah 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang