"Diana Lestari!"
Satu panggilan dengan suara yang kencang membuat Diana dan Azwan yang duduk di gazebo yang sama sontak memindahkan pandangan ke arah sumber suara.
"Astaga, salam kek, teriak-teriak kek orang di hutan aja!" Diana mengomel dibuatnya.
"Heheh ya maaf, kan memang begini suaraku."
"Ya maaf dan maaf ya beda artinya, Mi."
"Iya deh iya, aku salah. Maaf ya Diana super cantik di kampus."
Diana mencebik, tak suka dipuji Azmi untuk saat ini. Ketika dia yang biasanya akan menyahut tanpa mau kalah, sekarang dia hanya bisa diam karena ada Azwan di sampingnya yang membuat ia sedikit malu untuk adu mulut dengan sahabat somplaknya ini.
"Eh, Bang..." Bukan Azmi namanya kalau tak sksd alias sok kenal dan sok dekat.
"Saya Azwan."
"Owh iya, Bang Azwan."
Azmi sedikit lupa-lupa ingat dengan pria ini. Ia tak asing dengan wajahnya tapi lupa pernah bertemu di mana. Maklum jika orang yang tak penting dalam hidup terkadang mudah sekali dilupakan. Padahal mereka pernah bertemu tiga tahun lalu sebelum Azwan pergi ke Kalimantan.
"Eh, tadi ada apa teriak-teriak manggil?" tanya Diana membuka suara meski ia tahu kadang temannya ini memang usil tak ketulungan.
"Owh iya, sampe lupa aku, mau ngajak makan doang sih."
"Hadeh... urusan perut mulu kamu mah, Mi."
"Ya daripada muka kusut mulu mikirin cewek? Lebih baik mana?"
Diana mencebik sambil mulutnya bergerak cepat seolah menirukan ucapan Azmi.
"Ayo sarapan dulu."
"Udah."
"Aku belum, temani."
Diana dibuat menarik napas dalam-dalam, tapi ia akhirnya setuju setelah mengingat satu hal.
"Oke deh, ayo," balas Diana, lalu ia menoleh pada pria di sampingnya, "Kakak mau sarapan juga?"
Harap Diana sih jawaban tidak.
"Eh, enggak deh, Di. Lain kali aja. Kak Azwan ada urusan, titip salam buat Ais dan orang rumah, ya."
"Hmm, nggih, Kak." Diana mengangguk. Ia senang karena memang ia sengaja setujui ajakan Azmi agar bisa meninggalkan pria itu karena Diana yakin Azwan tak akan mau ikut sarapan dengan mereka saat ini, sebab tadi Azwan terlihat bersiap pergi sebelum menghampirinya.
"Ya sudah, kakak pulang dulu, ya, Di. Assalamualaikum."
"Iya, wa'alaikumsalam, hati-hati, Kak."
"Terima kasih," balas Azwan lalu melangkahkan kembali kakinya ke tempat mobil hitam yang terparkir.
Kali ini dia benar-benar pergi tanpa ada satu pun halangan seperti sebelum-sebelumnya.
"Ayo sarapan cepet," ujar Azmi setelah Azwan pergi.
"Sarapan sendiri aja kali, Mi. Kenapa sih?"
"Astaga, bukan aku doang yang ngajak."
"Terus?"
"Ada Ais di sana sama bang Dika, minta ditemani kita juga biar ga jelek pandangan orang. Ntar yang ada dikira selingkuh mereka berdua."
Diana terkekeh mendengarnya. Kalau sudah Aisyah yang meminta, mana bisa dia menolak, apalagi dalam konteks seperti ini.
"Ayo buruan kalau gitu," timpalnya berjalan lebih dulu dari Azmi yang mencibir di belakang.
Meski sudah menikah, bukan Aisyah namanya kalau ketemu sama pria lain tanpa rasa takut adanya fitnah seperti yang dikatakan Azmi. Apalagi ini dengan sahabat suaminya yang juga beristri. Menghindari fitnah lebih baik daripada menjelaskan kebenaran untuk kembalikan nama baik karena fitnah itu bagai bulu ayam yang disebarkan di jalan, ketika dikumpulkan kembali pasti ada yang tersisa karena terbawa angin.
***
Rumah makan pelangi sore hari begitu ramai. Jam lima sore adalah jam pulang Alam karena dia tak lembur hari ini. Pria itu melirik arlojinya, masih ada satu jam lagi dirinya berada di tempat pengabdian ini.
"Lam," panggil seseorang dari arah jam tiga. Alam sontak menoleh begitu mendengar namanya dipanggil.
"Hmmm?" tanyanya melihat raut wajah sahabatnya yang terlihat khawatir dan panik, " ada apa?"
"Aku izin pulang lebih awal lagi, ya. Ibuk tadi telepon suruh langsung ke rumah sakit," balas si sahabat menggebu-gebu.
"Hah? Siapa yang sakit, Wan?" Alam antusias ingin tahu dan tentunya ia khawatir karena seluruh isi rumah pria di depannya ini sudah ia anggap bagai keluarga.
"Bukan sakit, Mala mau melahirkan, jadi aku harus dampingi dia," jelas Iwan masih dengan suara menggebu.
"Masya Allah, ya udah pulang gih."
"Oke, makasi ya, Pak Bos."
"Huum, hati-hati, salam buat Mala, aku dan Ais nanti jenguk."
"Siap, Assalamualaikum."
Iwan menepuk bahu Alam lalu berlari kecil menuju tempat parkir. Bagaimana tak khawatir bercampur bahagia ketika hal yang paling ia tunggu sudah ada di depan mata, yakni menyambut kelahiran anak pertamanya dengan sang istri tercinta yang ia nikahi setahun lalu.
Berbeda perasaan dengan Iwan yang bahagia, Alam tersenyum getir sembari tetap dengan posisinya yang bersandar di tembok dekat kasir. Penampilan di depannya juga mendukung dirinya kian sedih. Ada keluarga yang harmonis di depannya, mereka makan bersama dengan sesekali sang ibu menyuapi nasi ke mulut anak mereka.
Alam menarik napas dalam-dalam, sudah tiga tahun lamanya ia menunggu tetapi dia dan istrinya masih belum diberikan kepercayaan oleh sang Ilahi untuk memiliki seorang buah hati.
Bayangan anak kecil yang menangis dan berlari menyambut kepulangannya membuat sudut mata Alam berair.
"Astaghfirullahal'azim...." lirihnya cepat sembari mengusap air mata tersebut, "kuatkan hamba ya Allah. Ampuni hamba yang tidak sabaran menunggu ridho-Mu untuk menjadi seorang ayah."
Alam beristighfar, ia tahu tak sepatutnya ia seperti ini tetapi memang satu hal yang membuat mereka pasangan yang harmonis ini merasa belum lengkap, yakni belum ada anak kecil di tengah-tengah mereka.
Tak ingin terlihat lemah di depan teman-temannya yang lain, Alam segera memasuki ruangannya.
Tanpa ia sadari seseorang telah memperhatikannya sejak beberapa saat lalu.
"Bang Alam nangis," lirihnya pada temannya yang bekerja di samping.
"Yah, mungkin karena bang Iwan tadi pamitan mau ke tempat istrinya melahirkan, dia sedih karena sampe sekarang belum punya anak kali," sahut temannya tak kalah pedas.
"Aih, kasian, ya. Kira-kira siapa nih yang mandul di antara mereka?"
"Hahaha mana ku tahu, tapi kalau aku lihat-lihat sih istrinya, soalnya kan sering banget sakit-sakitan."
"Hmmm, sepertinya begitu. Kenapa bang Alam nggak nikah lagi, ya? Secara kan dia banyak yang suka, kasian kalau nangis-nangis begitu."
"Hust! Enak banget ngomong, mereka kan saling mencintai banget. Kita do'akan aja yang terbaik, jangan diomongin lagi, nanti kedengaran nggak mau aku kehilangan pekerjaanku."
Salah satu dari mereka terkekeh karena merasa bersalah setelah sadar yang ia gibahi adalah atasannya sendiri.
Namun, ucapan dua orang tadi sudah terekam dalam telinga seorang wanita yang berdiri tak jauh dari tempat mereka.
Senyum manis terbit di bibirnya karena secercah harapan untuk bisa mendapatkan Alam berhasil ia lihat. Seperti yang diketahui sebelumnya, Alamsyah adalah pria yang banyak sekali disukai gadis-gadis cantik, tetapi tetap menambatkan hatinya pada Aisyah. Termasuk gadis yang berdiri tak jauh dari dua orang yang bergibah tadi, dia adalah salah satu orang yang mencintai Alam dari dulu hingga sekarang.
"Bakal seru, nih," lirihnya sebelum meninggalkan tempat dengan senyum masih mengambang di bibir karena membayangkan Alam menjadi miliknya.
***
Nb: btw maaf semalam ketiduran 😂🥲
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Untuk Aisyah 2
Teen FictionDua insan yang saling mencinta, yang selalu mengandalkan kekuatan jalur langit untuk saling memiliki, akhirnya disatukan dalam indahnya mahligai pernikahan. Namun, cinta saja tak cukup untuk melengkapi kebahagiaan rumah tangga mereka. Ujian pra ni...