Bab 9

118 6 2
                                    

Langit yang mendung mengiringi langkah Aisyah berjalan memasuki gerbang rumah yang menjadi saksi bahtera rumah tangga yang telah ia bangun dengan pria yang ia cintai sejak masih tinggal di pesantren dulu.

Diana yang mengantar pulang tak mau mampir karena ada barangnya yang tertinggal di kampus dan harus kembali ia ambil.

"Mas Alam kayanya belum pulang deh," duganya sembari menatap langit yang mendung dan gerbang yang masih terkunci. Keduanya sama-sama membawa konci gerbang untuk mempermudah mereka ketika tak pulang bersama seperti sekarang ini.

Satu hal yang Aisyah rasakan setelah membuka pintu utama rumah adalah rasa sepi yang tak bisa ia tepiskan.

Perempuan dengan hijab tergerai rapi itu hanya mampu menarik napas dalam-dalam ketika ia merasa hampa. Tak ada satu orang pun yang bisa ia ajak bicara di sana selain dirinya sendiri.

"Coba aja kalau Nay udah balik KKN, pasti nggak akan sesepi ini suasananya. Hmmm, nyesel banget tadi aku nggak turuti Diana, izin ke mas untuk pulang sebentar ke rumah umi."

Lagi-lagi perempuan bernama lengkap Nur Aisyah Fitriah tersebut menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya sedikit kasar seolah berharap sesaknya hilang dari dada.

Ting!

Denting tanda notifikasi di ponselnya berbunyi, Aisyah segera merongoh benda pipih itu dari tas selempang yang masih melekat di bahu kanannya. Tentunya tas tersebut berisi kertas-kertas penting yang menjadi penentu kelulusannya dalam studi.

Saat layar terbuka, Aisyah tersenyum melihat nama yang terpampang di sana, Imamku.

(Assalamualaikum, Ay. Maaf, ya. Hari ini mas telat pulang, mungkin nanti ba'da magrib kerjaan bisa selesai.)

Tanpa membiarkan sang suami menunggu lama balasannya yang tentu akan membuat pria yang menikahinya itu khawatir, Aisyah segera mengetikkan balasan meski dengan hati yang merasa sedih mendengar suaminya lembur di saat ia berharap sang suami segera pulang agar sepinya bisa terhalau.

(Wa'alaikumsalam, Mas. Nggih, jangan lupa sholat, dan semangat, ya)

pesan terkirim ke sang suami yang bernama lengkap Alifian Zaidan Alamsyah, pria yang Aisyah tahu betul bagaimana giatnya dalam bekerja dan bisa dikatakan pekerja keras. Aisyah senang suaminya melakukan kewajiban, mencari nafkah untuk keluarga, meski terkadang Aisyah selalu merasa dirinya yang paling banyak menghabiskan uang Alam untuk biaya pengobatannya.

Ya, pengobatan sekaligus bentuk ikhtiar mereka untuk mendapatkan apa yang selama ini diharapkan.

"Andai saja ada anak di tengah-tengah kami, pasti nggak akan sesepi ini rasanya. Ya Allah, kenapa sakit sekali ya rasanya menjadi orang-orang seperti Ais. Sekarang hamba faham bagaimana sakitnya seorang perempuan yang sudah menikah, ketika ditanya kapan mereka akan punya anak."

Aisyah menarik napas dalam-dalam. Ia memejamkan mata sejenak untuk menghalau bayang-bayang suara tangisan bayi di dalam otaknya yang tentunya akan membuat ia semakin bersalah.

Diangkatnya sebelah tangan ke atas perutnya yang datar. Lalu, ia tersenyum tetapi dengan air bening menetes dari sudut matanya.

"Cepat hadir di sini, ya, Nak. Bunda dan Ayah sangat merindukan kehadiranmu," lirihnya pelan sekali.

Tak ingin menangis lagi karena hal ini tetapi tetap saja Aisyah akan meluncurkan bulir bening itu ketika ia merasa kesepian dan merasa bersalah kepada suaminya seperti ini.

Yap, seperti yang dikatakan Melani di kantor, menurut dokter, Aisyah lah yang bermasalah. Ada polip yang hidup pada dinding rahimnya yang menghalangi pembuahan itu terjadi.

Rindu Untuk Aisyah 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang