SETELAH kepulangan Mbak Rita, kepala ku terus dipenuhi tanda tanya.
Sejak kapan Mbak Rita dan Mas Abdul dekat, sejauh mana kedekatan mereka, kenapa Mas Abdul tidak menikah saja dengan Mbak Rita dan semua pertanyaan lain yang sejak tadi terus menggelayuti kepala.
Aku menghela nafas, melirik kearah Mas Abdul yang duduk di sofa panjang depan tv sambil membaca buku, yang kalau dari sampul nya bertuliskan Fiqih Munakahat. Melihat itu aku jadi geli sendiri. Lucu saja, bacaan nya sudah fiqih munakahat, giliran disuruh nikah jawaban nya masih belum siap.
"Mas?"
"Hmm,"
Aku berdecak, malas. Sahutan nya itu lho, nggak banget.
"Mbok ya kalau dipanggil tuh nyaut yang bener gitu lo, Mas." Omel ku.
Mas Abdul menghela nafas nya, menutup buku lalu menoleh kearah ku. "Dalem, Ra. Piye?" Jawabnya, lembut.
Mendengar itu, bulu roma ku jadi merinding. Geli dan ah.. mbuh.
Aku diam, jadi lupa mau ngomong apa.
"Tuh, giliran disahutin yang bener malah diem, Aneh."
Aku terkekeh. "Anu, Aira mau tanya boleh, Mas?"
"Ya tanya tinggal tanya saja kok pake nanya,"
Aku mendengus mendengar jawaban nya, tak urung bertanya juga. "Mas tuh sama Mbak Rita, Pacaran ya?" Tanya ku, ragu.
Dia menoleh. "Kok bisa?"
"Lha kok malah nanya?"
"Maksud Mas, kok bisa kamu tanya begitu?"
"Ya namanya juga nanya Mas, tinggal jawab aja kenapa sih." Kataku, kesal. Ditanya kok malah balik nanya.
Mas Abdul kembali menghela nafasnya, entah untuk yang keberapa kali. "Tidak,"
Aku mengerutkan dahi, sungguh aku benar-benar tidak mengerti, jawaban nya tuh lho, nggak nggenahi.
"Jawab yang bener kenapa sih Mas? Ih! Tidak apa? Tidak mau jawab, atau gimana?"
Dia malah terkekeh pelan. "Kamu ini lo, Ra. Jadi manusia kepo nya kebangetan, tapi ndak mudengan." Katanya, meledek ku.
Aku mencebik. "Ya makanya kalau ngomong tuh yang jelas, jangan setengah-setengah, biar orang mikir nya ndak susah."
"Ya makanya jadi manusia jangan kepo, biar mikirnya ndak susah."
Baik, dia memang pintar membalikkan ucapan orang termasuk adik nya ini.
"Ck! Susah ngomong sama Mas. Bikin emosi!" Cetusku. Ku ambil remot tv, lalu ku naikan volume nya tinggi-tinggi.
Tak lama paha ku ditepak. “Mbak, ya Allah! Aku lagi belajar kok malah di gedein volume tv nya sih?!"
Aku menyengir, lupa kalau adik ku Abizar juga tengah belajar di karpet depan tv, bersama kami. "Maaf Zar, Mbak lupa kalau ada kamu disini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ternyata Kamu [TERBIT]
General Fiction"Karena pada waktunya, tanpa kau rencanakan pun jodoh tak akan pernah tertukar" ••••• Humaira Gadis itu bahkan merasakan nya sendiri, tentang bagaimana hebatnya takdir Allah itu bekerja. Maka benar, Allah adalah sutradara terbaik kehidupan. Skenario...