MENU sarapan sudah tersaji diatas meja.
Simpel dan sederhana, tempe tahu goreng, beningan bayam, ikan teri tepung, sambal goreng dan telur dadar. Lengkap sudah, empat sehat lima murah-eh maksudnya lima sempurna.
Aku bersyukur lahir di tengah keluarga yang sederhana dan tak pernah muluk-muluk dalam menjalani hidup. Contohnya dalam hal makan, mereka tidak pernah protes apapun masakan yang tersaji diatas meja, selalu menikmatinya dengan suka cita tanpa mencela sekalipun mereka tidak suka.
Kalau kata pakde,
Saat kita mencela makanan yang ada dihadapan kita, maka ingat, saat itu ada ribuan orang yang mengharapkan sisanya.
Maka benar, bersyukur itu perlu agar terhindar dari yang namanya kufur.
Semua sudah berkumpul di meja makan. Pakde Rahmat, Abizar, Mas Abdul dan tentu saja aku yang bertindak sebagai pramusaji. Setelah mengambilkan makanan untuk pakde dan adik ku Abizar, aku beralih pada piring Mas Abdul yang masih kosong.
“Mau makan pake apa, Mas?” Tanyaku.
“Pakai sayur, sambal dan tahu saja.” Jawabnya.
Aku mengangguk. Eh, Tapi bicara soal tahu aku jadi teringat sesuatu. Ah, iya! soal tawaran ta'aruf itu!
“Mas ngomong-ngomong soal tahu, soal ta'aruf itu cukup kita saja yang 'tahu' ya?” Kataku, berbisik.
Dia malah terkekeh pelan. “Yaa ndak tempe ya,”
Oh baik, dia mau belajar membalas lawakan ku rupanya. Tapi sayang, nggak nyambung.
“Please deh Mas, jangan maksa. lawakan mu tuh nggak banget! Aku ini serius.” Ucapku greget.
Kali ini dia tertawa. “Iyaa iya. Mas nyerah kalau soal balas membalas lawakan. Kamu juaranya, juara kelas dunia! Dan soal itu, baiknya ya biar pakde tau saja.”
“Tau apa to dul?” Tanya pakde Rahmat.
Aku melotot seketika, bagaimana ini?
“Anu pak, ada yang mengajak Aira ta'aruf.” Jelas Mas Abdul, dengan santainya. Sementara diriku sudah ketar-ketir disamping nya.
“Apaah?!”
PRANG!!
Aku memutar bola mata melihat respon pakde ku. Kagetnya itu lho, udah kayak adegan tegang di film utaran, lebay nggak ketulungan.
“Please deh pakde, kagetnya tolong biasa saja ndak usah pakai banting sendok segala.” kataku.
Pakde Rahmat terkekeh. “Ya habisnya, pakde syok dengar ada yang ngajakin kamu ta'ruf. Nggak nyangka aja gitu lho, ternyata ada juga yang mau sama kamu nduk.”
Aku melotot mendengarnya.
“Astaghfirullah pakde, kok gitu to ngomongnya.” Aku merengek, menghentak-hentak kan kaki seperti bayi. Maksudnya, Bayi gerang.
“Tapi iya juga sih mbak, kok ya ada gitu lho yang mau sama kamu, mbak.”
Nah ini lagi satu, si bontot yang selalu ada di urutan nomer satu dalam hal menghinaku.
“Sudah, kamu baiknya diam saja. Tugasmu itu makan bayam saja yang banyak!” Ucapku, emosi.
Dia terkekeh. “Biar jadi temen popay ya mbak?”
“Popay nggak mau punya temen tukang nyinyir kayak kamu!” Cetusku.
Dia malah semakin tertawa.
“Sudah sudah, kok malah jadi bahas popay. Kembali ke topik awal, jadi siapa laki-laki yang ingin mengajak Aira ta'aruf itu dul?” Tanya pakde Rahmat.
Mas Abdul menghentikan kunyahan nya. “Anu pak, anaknya pakde Ahmad yang jual bubur Ayam itu.”
“Oh si Ilham itu to?”
Aku terkejut. “Lha kok pakde tua?”
“Tau mbak, heran deh.” Abizar berdecak malas.
Aku menyengir lebar. “Lha ya begitu itu maksud nya, Zar.”
Pakde Rahmat hanya geleng-geleng kepala. “Ya tau lah nduk, sejak dia kuliah di kairo banyak warga desa yang nyebut-nyebut namanya bahkan ngebet mau menjadikan nya mantu. Lha wong bocahe alim koyok ngono sopo sing ra gelem ngemantu? Pakde yo gelem.”
“J-jadi pakde setuju?!” Tanyaku, menggebu.
“Ya kalau pakde sih terserah kamu saja. Kalau suka ya monggo jalani kalau tidak ya jangan dipaksa. Tapi ya itu, pakde maunya kamu selesaikan kuliah dulu, baru mikirin yang begitu. Lagian usia mu juga masih muda nduk, santai saja ya?” Jelasnya.
Aku mengangguk paham, lalu melirik kearah Mas Abdul yang sejak tadi hanya diam.
“Menurut Mas bagaimana?” Tanyaku.
Dia menoleh. “Hmm? Y-ya terserah kamu saja.”
Ada nada tidak enak yang keluar dari mulutnya, aku sendiri tidak tau kenapa.
“Mas tidak setuju ya? Kalau Mas tidak setuju, Aira tidak akan menerima tawaran nya.” Kataku.
Dia tersenyum. Senyum yang menurut ku hambar.
“Apapun yang terbaik untuk mu, Mas akan setuju.” Katanya. Lalu bangkit dari kursinya.
“Lho, mau kemana Mas? Kok sarapan nya ndak dihabiskan?” Tanyaku.
“Mas sudah kenyang, mau siap-siap ke sawah.” Jawabnya, lalu pergi meninggalkan kenangan-eh maksudnya meja makan.
Aku menghela nafas, sikap Mas Abdul mendadak aneh dan berbeda dari biasanya.
“Mas kenapa ya, Pakde?”
“Tidak apa-apa, mungkin memang Mas mu buru-buru. Sudah nanti biar pakde yang bicara sama Mas mu ya?”
Aku mengangguk.
*****
Story By
DianaLisa5
Assalamualaikum
Terimakasih sudah membaca :3
Nah lo, mas Abdul kenapa???
Eh, ngomong² ini part lumayan Pendek ya? Maaaaf ya, habis nulisnya di sela-sela skripsi. gimana dong? 😂
Dahlah, segitu dulu. Sampai bertemu di part selanjutnya.
Jangan lupa vote dan komen ❤❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Ternyata Kamu [TERBIT]
قصص عامة"Karena pada waktunya, tanpa kau rencanakan pun jodoh tak akan pernah tertukar" ••••• Humaira Gadis itu bahkan merasakan nya sendiri, tentang bagaimana hebatnya takdir Allah itu bekerja. Maka benar, Allah adalah sutradara terbaik kehidupan. Skenario...