“BAHAGIA secukupnya, bersedih seperlunya, mencintai sewajarnya, membenci sekadarnya, dan bersyukurlah sebanyak-banyaknya."
Kalimat itu kembali menjadi pengingat untuk ku, agar tidak larut dalam kebahagiaan yang berlebihan. Mengingatkan ku bahwa aku tidak boleh lupa daratan, sebab ini baru langkah awal. Kalimat yang Mas Abdul ucapkan itu bukan akhir dari segalanya, melainkan awal untuk menuju kebahagiaan yang sesungguhnya.
InsyaAllah.
Setelah beberapa menit berlalu ketika Mas Abdul menyatakan perasaan nya dan melamarku, kini rasa haru ku semakin bertambah saat dia mengeluarkan kotak bludru kecil berwarna biru tua dari saku celana nya.
“Sebelum ini, semalam Mas sudah lebih dulu bicara empat Mata dengan bapak yang dimana beliau adalah wali mu saat ini. Mas sudah lebih dulu mengkhitbah mu lewat beliau, Alhamdulillah beliau menyetujui. Lalu, beliau meminta Mas untuk langsung bicara padamu hari ini dan mendengar jawaban mu.” Mas Abdul menjeda, membuka kotak bludru kecil berwarna biru tua itu dihadapan ku.
MaasyaAllah, ternyata isi kotak itu adalah cincin emas yang amat cantik.
Mas Abdul tersenyum, menyodorkan kotak itu kearahku. “Terimakasih sudah menerima khitbah ku, Humaira. Cincin ini Mas berikan Sebagai pertanda keseriusan. Diterima ya?” Sambungnya, tersenyum.
Aku kembali meteskan air mata haru, lalu mengangguk sebagai jawaban. “Tentu Mas, terimakasih banyak.” Ucapku, lalu dengan tangan yang gemetar ku ambil kotak berisi cincin emas pemberian nya.
“Sementara pakai cincin nya sendiri dulu ya, Ra? Nanti kalau sudah halal, InsyaAllah cincin nikahnya Mas pakaikan langsung di jarimu.” Katanya, tersenyum.
Mendengar itu, tangis ku ambyar! Aku malah terkekeh geli. Ya gimana? Mau nikah sama sepupu sendiri tu rasanya nano nano. Hehe.
Mas Abdul ikut pula terkekeh, mungkin dia sama gelinya dengan ku.
“Ngomong-ngomong, maaf ya Ra. Mas melamar mu cuma dengan cara yang seperti ini. Siang-siang, di pinggir sawah lagi, ndak elit banget ya?” Mas Abdul terkekeh.
Aku hanya tersenyum. Bukan masalah bagiku, sebab dengan cara seperti ini saja hatiku sudah benar-benar bahagia. Ya, karena yang melamar ku adalah dia.
“Ini saja sudah luar biasa buat Aira Mas. Mau dimana pun, asal yang ngelamar Aira itu Mas, Aira pasti seneng.” Jawabku, malu-malu.
Dia tersenyum lebar. “Masa sih? Kalau Mas ngelamar nya di kandang kambing, kamu bahagia juga?”
Aku memutar bola mata, malas. Ck! Merusak momen banget deh!
“Ya ndak di kandang kambing juga kali Mas!”
Dia terkekeh sampai menyipit matanya.
“Ya sudah, karena acara lamaran nya sudah selesai, sekarang Mas mau makan siang, Laper banget Ra.” Kata Mas Abdul, setelah tawanya mereda. Lalu membuka rantang susun berisi makan siang yang kubawa untuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ternyata Kamu [TERBIT]
General Fiction"Karena pada waktunya, tanpa kau rencanakan pun jodoh tak akan pernah tertukar" ••••• Humaira Gadis itu bahkan merasakan nya sendiri, tentang bagaimana hebatnya takdir Allah itu bekerja. Maka benar, Allah adalah sutradara terbaik kehidupan. Skenario...