Chapter 11

240 64 4
                                    

Dia itu sangat berisik

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dia itu sangat berisik.

Dan aneh.

Terkadang ia bisa diam secara tiba-tiba disaat tengah menceritakan banyak hal dengan semangat. Kemudian, jemari tangannya bergerak menulis di buku catatan yang selalu ia bawa kemana-mana.

Dan terkadang, ia berbicara suatu kalimat yang sulit untuk ku mengerti.

"Tuan! Tuan! Kau tau tidak apa yang aku temui hari ini?!"

Ia datang lagi.

Dengan riang menceritakan kejadian yang ia lalui hari ini. Aku diam, menyimak tiap kata yang keluar dari bibir tipisnya.

Jujur aku merasa aneh.

Bagaimana mungkin ada orang yang semudah ini berbicara tentang dirinya pada orang lain? Aku tidak sedekat itu dengannya. Kami pun baru mengenal beberapa hari yang lalu.

"Pokoknya hari ini menyenangkann sekali! Dan—oh?"

Kebiasaanya datang lagi.

Ia kembali terdiam di tengah obrolan. Iris matanya menatap lurus ke arahku. Aku mengangkat satu alis, bingung dengan apa yang ia fikirkan kali ini.

"Kenapa?"

Tiba-tiba ia menunduk, jemari tangannya kembali menulis di atas kertas. Aku menopang dagu, mengamati wajahnya yang nampak serius.

Kendati memiliki perangai yang aneh, aku tidak bisa memungkiri bahwa ia sangat lucu. Senyumnya menular, membuatku menahan diri untuk tidak ikut mengulas senyum karenanya.

"Tuan, apa kau sudah tau bahwa para penulis  lebih suka menulis tentang orang yang mereka cintai dibandingkan orang yang mereka benci?"

Sebenarnya sudah lama aku ingin menanyakannya. Menanyakan bagaimana caranya ia memiliki pemikiran yang sulit ditebak.

Mungkinkah karena bakatnya dalam bidang menulis itu?

Tapi bibirku kembali tertutup kala melihat sepasang iris matanya.

Tanpa sadar tawa ku mengudara.

"Kalau begitu, Nona Penulis, sekarang katakan padaku siapa sosok lelaki yang tengah engkau tulis itu?"

Lagi-lagi sepasang iris coklat itu kembali menyambutku. Binarnya yang cerah sempat membuatku terdiam.

Aku sudah terlalu lama merasakan warna monokrom yang membosankan.

"Engkau, Tuanku."

Hingga warna yang ia berikan tiap kali kami bertemu pandang terasa begitu indah.
















































Dan membuat debaran yang sudah bertahun-tahun tak kurasakan itu kembali terdengar.

LIMERENCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang