Aku suka langit—lebih tepatnya astronomi. Aku selalu penasaran bagaimana tata surya bisa berjalan begitu apik sesuai orbit. Tata surya yang penuh misteri.
Sungguh berbanding terbalik dengan nona penulis yang aku kenal.
Ia seperti sebuah buku yang terbuka lebar. Bahkan dari kejauhan pun aku bisa membaca dan memahami isinya. Kerap kali menghampiri seakan meminta dibaca seluruh tentangnya.
Padahal awalnya ia terasa biasa saja. Aku bahkan tidak menyimpan nomor ponselnya. Namanya saja aku lupa.
"Halo."
Ia berkedip perlahan, iris coklatnya nampak berkilauan ketika diterpa cahaya. Pupilnya membesar, kemudian mengecil tiba-tiba. Tubuhnya berjengit, nampak terkejut. Lucu sekali.
"Eh? Tuan!"
Aku terkekeh pelan. Ku biarkan ia membereskan buku yang berserakan. Ingin ikut merapihkan, tapi sepertinya ia enggan karyanya terbaca olehku.
"Ponselmu rusak, ya?"
Jemari kecilnya langsung mengambil ponsel yang berada di atas meja.
"Tidak, kok! Ponselku baik-baik saja! Lihat, deh!"
Ia menyodorkan ponsel dengan case biru itu padaku. Bisa kulihat wallpapernya nampak simple, hanya sebaris kalimat singkat.
"I can rule the world, i'm a writer!"
Khas dia sekali.
"Lantas, kenapa tidak menghubungiku?"
Dia terlihat cengo. Matanya berkedip dua kali. Ia pasti terkejut dengan pertanyaanku. Selama ini aku memang terlihat acuh dengan pesan ataupun panggilan darinya. Walaupun aku sendiri mengakui kalau sebenarnya aku menantikan pesan darinya semalaman.
"S-sibuk! Aku sibuk menulis! Kemarin banyak sekali ide yang datang!"
Aku tertawa ketika melihat pemandangan di depan mata. Seorang nona manis yang terlihat panik dan berusaha berdalih sebaik mungkin.
Saking paniknya ia sampai tidak sadar masih menyodorkan ponselnya padaku.
Ting!
Tawaku terhenti kala mendapati sebuah pesan tertera di layar ponselnya. Pesan yang berisi dua hal berbeda dalam kurun waktu yang berbeda pula.
Tapi, pengirimnya adalah orang yang sama.
"Oh, maaf, akhir-akhir ini banyak sekali spam."
Ia langsung menyembunyikan ponselnya di belakang punggung. Ketara sekali enggan menunjukan siapa pengirim pesan berisi makian dan permintaan maaf itu.
"Orang itu, ya?"
Iris coklatnya yang semula berkilauan kini meredup. Benar, kenapa selama ini aku tidak sadar alasan mengapa ia nampak ketakutan kala mendengar suara bernada tinggi?
Padahal sudah sejelas itu.
"Itu... mantan kekasihku."
Aku menarik jemarinya perlahan. Semata-mata menghentikan kebiasaan buruknya yang sering menggigit kuku jarinya kala tengah panik ataupun gelisah.
"Aku bisa block nomornya lagi nanti."
Lagi?
Sudah berapa kali bajingan itu mengganggunya dengan permintaan maaf tidak berguna usai mengucapkan makian?
"Aku tidak apa-apa."
Ia mengulas senyum. Ini bukan senyum manis yang biasa ia berikan padaku. Senyumnya terlihat hambar dan membuat dadaku perih.
"Aku sudah biasa."
Perlahan kutarik ia ke pelukan. Dia terlihat terkejut sesaat.
"Apanya yang tidak apa-apa."
Aku bisa merasakan bajuku basah ketika aku mulai menepuk pelan punggung ringkihnya. Pundaknya bergetar disertai isakan kecil.
"Tidak apa-apa, ceritakan saja pelan-pelan."
Andai saja aku bisa meremukan tulang bajingan itu.
"Aku tidak akan kemana-mana."
Andai saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
LIMERENCE
Romance"Menurutmu, kira-kira lebih dulu mana antara kau yang jatuh cinta padaku atau aku yang mati membeku karena sikapmu?" Original by Lyliana Emeraldine