latibule: 3. but i dont wanna leave you

61 18 0
                                    

“Papa pulang!”

Taehyung serta-merta mengayunkan tungkainya menuju area dapur tatkala suara tipikal Ryujin yang menyambut, terdengar bersahutan dengan bunyi mesin blender yang bekerja. Ditaruhnya kresek jinjingan berisi makanan yang dibeli semasa perjalanan pulang, tadi, di atas meja makan, sebelum pergi ke kamar untuk membersihkan diri.

Sedangkan anak gadisnya sibuk sendiri; memelototi alat pelumat bertenaga listrik di hadapan yang tengah menghancurkan potongan buah mangga dan es batu di dalamnya.

Saat kembali ke meja makan, Taehyung mendapati Ryujin sedang membongkar bawaannya. Ia meneguk air putih yang disediakan bersisian dengan jus mangga.

Si gadis membuka plastik bening yang membungkus wadah mi hidangan laut di tangannya, sebelum disodorkan ke depan ayahnya yang baru kembali dari mengambil sumpit dan sendok. Ia lalu membuka miliknya sendiri. Aroma kaldu seafood yang khas dan gurih praktis menggelitik penghidu dan nafsu makannya; merayu supaya cepat-cepat dicicipi.

Sayang sekali seleranya sedang sok jual mahal, saat ini. Jadi, mi dan udang yang terkecap lidahnya terasa biasa saja dan tidak semenggiurkan hari-hari biasanya.

Lagi-lagi, alasannya adalah Chaeyoung dan kalimatnya yang bikin Ryujin kepikiran terus-menerus. Sampai detik ini, entah sudah berapa kali ia melamun di tengah kegiatannya gara-gara percakapan mereka di kedai es krim, tadi. Jika begini melulu, lama-lama Ryujin bisa depresi karena ibunya sendiri.

Beruntungnya, Taehyung cukup peka untuk menyadari keadaan putrinya yang tidak seantusias biasanya ketika berhadapan dengan makanan. Ditambah dari bagaimana gadis itu sempat termenung dalam tundukan kepala.

Maka, ia bertanya setelah menyuapkan tangsuyuk yang dicocol ke saus. “Ryu, kenapa? Katanya, ingin makan jjamppong. Giliran dibelikan, malah manyun begitu.”

Ryujin mengangkat kepala. Kepalanya menggeleng. “Bukan karena makanannya, kok. Hanya ada sesuatu yang dipikirkan,” jawabnya.

Taehyung otomatis mencibir. “Bocah ini, sok-sokan punya pikiran segala,” ejeknya, nista. “Memikirkan apa? Album dan komik baru? Akhir pekan nanti kita beli. Oke? Jangan bermenung begitu, Papa jadi khawatir. Takut kalau kau kerasukan setan.”

Ryujin melotot sambil menggemeretakkan gigi. Setelah siang tadi bertemu muka dengan ibunya yang bikin nyaris gila, sekarang ia berhadapan dengan ayahnya yang benaran gila. Nahas sekali hidupnya. “Pa, jangan bikin aku jadi anak durhaka; karena mencolok lubang hidung Papa pakai sumpitku, ya.” Ia mengacungkan alat makannya.

“Woah. Mulai berani kurang ajar.” Taehyung balas menantang. Ia mengangkat dagu berikut punggung ditegakkan. Matanya memandang rendah si anak yang meniru gesturnya. “Tahu, tidak, apa akibatnya kalau berani lancang pada orang tua?” tanyanya. Sebelum mendapat jawaban, ia menyambung, “Pada ibu; kau bisa berubah wujud jadi batu. Sedangkan pada ayah; uang sakumu yang beku. Mau?”

“Apa-apaan!? Ancamannya uang jajan. Ah. Tidak seru!” Ryujin menaruh sumpitnya di sisi piring. Bibirnya mencebik. Begitupula dengan kening mencureng yang mempertemukan kedua alisnya. Makin mirip saja dirinya dengan bebek.

Paduka Kim Taehyung yang Terhormat mengangkat bahu, acuh tak acuh. “Hidup ini pahit, Anakku,” balasnya, sekenanya. Sesudah menelan minum, ia lalu mengulang pertanyaannya yang pertama. “Jadi, kau ini sebenarnya kenapa? Coba ceritakan pada Papamu yang tampan ini, Ryujin-ku Sayang.”

Ryujin ikut-ikutan meminum jusnya. Baru ia menyahut, “Tadi, Mama datang ke sekolahku—”

“Kok tahu?”

“Apa maksudnya ‘kok tahu’? Aku sedang curhat, bukan mau menggombal.”

Taehyung berdeham. “Maksudku, bagaimana bisa Mamamu tahu kau sekolah di mana?”

keranjang sampah: dibuang s-ayankTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang