latibule: 4. only good things written

64 15 2
                                    

Dua hari lalu, Chaeyoung menginjakkan kakinya di kota ini dengan ekspektasi kalau Ryujin akan berada di sampingnya sewaktu pulang, nanti; lalu melanjutkan hidup bersamanya sesuai plot terbaik yang sudah ia rencanakan jauh-jauh hari.

Sayang sekali, hukum alam bersabda bahwasanya realita yang ada tidak boleh sejalan dengan apa yang diharapkan; hingga akhirnya, hari ini, ia menapakkan alas sepatunya di stasiun ini lagi, sendirian, kendati tangan kanannya menggenggam dua lembar tiket perjalanan.

Miris. Tapi mau bagaimana lagi?

Kenyataannya, jangankan bersedia membarengi, Ryujin justru dapat dikatakan tidak menyambutnya sebagaimana semestinya.

Yang gadis kecil itu pikirkan hanya papanya, papanya, dan papanya; seolah tidak ada tempat bagi Chaeyoung menyempil di antaranya. Padahal, Taehyung sudah memiliki Ryujin bagi dirinya sendiri selama ini. Chaeyoung bahkan tidak diberi kesempatan untuk mengetahui tumbuh-kembang anaknya selagi itu.

Kini, saat kemudian ia berhasil membuka gembok pertahanan yang Taehyung buat, malah Ryujin sendiri yang menutup peluangnya untuk meraih si gadis dalam dekapan.

"Aku putus asa, Jungkook," bisik Chaeyoung, pada seseorang di seberang sambungan telepon. Ia mendaratkan bokongnya di kursi yang lowong, bersilang tungkai. "Dia bahkan sudah tidak mengharapkan kehadiranku lagi."

"Anakmu mungkin hanya butuh waktu sedikit lagi, Chaeyoung. Perceraian orang tuanya bukan sesuatu yang bisa diterima dengan mudah. Apalagi dia masih kecil."

"Itu tidak mengubah apapun. Faktanya, dia hanya memikirkan ayahnya dan tidak membutuhkanku sama sekali."

"Itu bukan fakta, Park Chaeyoung. Itu hanya perspektifmu sendiri." Jeon Jungkook serta-merta membalas tajam. "Tidak ada anak yang tidak membutuhkan orang tuanya. Apalagi ibunya."

Sebelum si wanita merespon, ia gegas melanjutkan, "Sudah kubilang 'kan, Ryujin-mu itu masih belia. Dia masih rapuh. Jika kau yang dewasa saja bisa menjadi sangat perasa, apalagi dia; yang mendapati kenyataan pahit begitu, saat ekspektasinya kau datang untuk hidup bersama mereka lagi, bukan untuk tiba-tiba mengambilnya dari zona nyaman bersama ayahnya seperti niatanmu."

Chaeyoung menunduk. Dadanya mencelos begitu saja. Setelah gelagapan untuk beberapa jenak, akhirnya ujung lidahnya melontarkan satu-satunya penggalan kalimat yang mampu menerobos benteng. "Aku sudah menunggu lima tahun untuk saat ini."

"Barangkali, Ryujin juga. Bisa jadi, dia pun menunggu kemunculanmu selama ini. Kau hanya mengutarakan status hubunganmu dan ayahnya di saat yang kurang tepat," ujar Jungkook. "Jadi, beri dia waktu, Chaeyoung. Beri dirimu juga waktu untuk menenangkan diri. Kemarin adalah hari yang berat. Kalian masih terlalu syok untuk menerima semuanya."

Entahlah. Chaeyoung sudah tidak dapat berpikir dengan jernih lagi sejak Ryujin memandangnya menggunakan sorot seolah ia adalah penjahat paling hina di muka bumi, di satu sore ketika mulutnya melayangkan pernyataan bahwa ia dan Taehyung telah menjadi mantan pasangan. Ia bahkan tidak mendapatkan tidur yang cukup sejak masa itu. Kepalanya mumet dan tubuhnya lelah. Boleh jadi, Jungkook memang ada benarnya.

Napasnya terhela panjang. "Baik," katanya, pada akhirnya. "Mungkin kau benar. Aku terlalu buru-buru dan tidak memprioritaskan perasaannya yang pasti sangat kecewa dan merasa dikhianati. Terima kasih atas sarannya. Itu sangat membantu."

"Kau tahu, aku akan selalu ada di belakangmu, 'kan, Chaeyoung?"

Yang ditanya menjawab pakai gumaman. Sambungan telepon mereka baru diputus saat Chaeyoung melirik arlojinya dan menemukan waktu yang tinggal menghitung menit sampai keberangkatan. Dan di detik itu pula, perpaduan suara yang dikenalinya sebagai milik Ryujin dan Taehyung mendadak membahana ke gendang telinga.

keranjang sampah: dibuang s-ayankTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang