chaengderella: 5

15 4 1
                                    

CHAEYOUNG tidak jadi jual organ. Bukan karena sekarang dia tajir mendadak hasil pesugihan. Melainkan, setelah dipikir baik-baik selama bersemedi di atas

toilet jongkok di rumahnya, dirinya ternyata belum siap jiwa-raga jika mesti membiarkan mata pisau bedah membelek perutnya untuk mengeluarkan organ tertentu yang bakal dijual.

Belum-belum, ia sudah ngeri sendiri. Maka, dicoretnya rencana yang super ekstrem itu. Diganti dengan melamar pekerjaan di sebuah restoran yang tempo hari ditemukan Bambam tengah mencari pegawai.

"Benar. Namun itu dua minggu lalu, sekarang kami sudah menutup lowongannya."

Ugh. Sial. Sepertinya, Chaeyoung memang tak akan pernah jadi anak kesayangan Dewi Fortuna. Tapi, mengapa? Apa sang dewi dengki pada kecantikannya? Atau justru jengkel pada kesintingannya? Opsi kedua terdengar lebih memungkinkan. Perempuan itu tersenyum sumir.

"Serius? Bahkan untuk satu orang? Aku bisa melakukan apa saja, kok. Jadi pramusaji, cleaning service, atau bahkan pencuci piring," kata Chaeyoung. Ekspresinya memelas dengan kedua tangan mengepal di dada. "Tolong. Aku sangat membutuhkan pekerjaan. Mau makan apa kelima anakku nanti jika aku tak mampu membeli beras? Kumohon, Nyonya. Kasihani perempuan miskin ini."

Nahas, manajer restoran masih memberi gelengan sebagai jawaban, sebelum berlalu dari hadapan Chaeyoung yang sudah terlihat seperti zombi terindikasi anemia. Lemas, lunglai, lelah, letih, lesu. Perempuan itu berencana memutar tumit untuk pergi dari tempat tersebut, ketika dua orang yang tengah berargumentasi di meja terdekatnya tertangkap mata.

Ia tak mengenal satu perempuan bermata kucing yang mengonfrontasi, namun netranya jelas bisa mengetahui siapa satu perempuan lain yang menguncir rambutnya; Kim Jisoo. Mereka tengah berdebat pasal perjodohan yang menyangkut-pautkan nama Jungkook di dalamnya. Jiwa kepo Chaeyoung seketika meronta-ronta.

Mengakhiri pembicaraan mereka, teman Jisoo lalu pergi, disusul si Kim yang sempat mengambil barangnya di salah satu meja yang ternyata ditempati Jeon Jungkook juga. Keduanya nampak sama-sama frustrasi. Chaeyoung menimbang perasaannya yang membawa langkahnya buat menghampiri Jungkook.

Well, mereka bisa saling adu mulut setiap bertemu, namun Chaeyoung berprinsip

bahwa tidak ada manusia yang pantas kesepian di saat mereka tengah dalam kesusahan. Siapa pun itu. Setidaknya, keberadaannya bisa jadi sedikit dukungan moral bahwasanya yang tengah ditempa masalah tidak benar-benar sendirian.

Sayang, niat sucinya justru berbuah penolakan.

Jeon Bangsat Jungkook yang tak tahu diuntung itu mengusirnya! Benar-benar sialan. Chaeyoung mau membanting badan si Jeon saja, rasanya.

"Kurang ajar!"

Si Park melayangkan pelototan lain yang tak dilirik sama sekali. Ia mengentakkan kaki ke lantai, sebelum minggat. Namun, belum sampai ambang pintu, badannya putar balik tatkala usul Mina sekonyong-konyong merangsek dalam otak yang tengah menyumpahi Jungkook supaya terkena sembelit.

Oke. Kalau Jeon Jungkook memang menolak dukungannya yang tak sempat tersampaikan, maka ia bakal membikin momen ini sebagai ladang bisnis!

"Katanya, Jisoo sedang mencari orang buat dijodohkan padamu, ya? Mau kubantu kenalkan pada seseorang, tidak?"

Jungkook mencureng. "Sejak kapan kau jadi germo?"

"Baru sekarang. Selamat! Kau pelanggan pertamaku." Chaeyoung bertepuk tangan dengan senyum hiperbolis. Cuma untuk sedetik. Setelahnya, rautnya datar berikut bola mata berputar. "Serius. Mau, tidak?"

"Tidak," jawab Jungkook serta-merta, tak pakai berpikir sama sekali. Orang di bawah ibu dan sahabatnya saja ditolak, apalagi yang tak jelas asal-usulnya di belakang kepemimpinan Park Chaeyoung. "Lagipula, memangnya kau mau mengenalkanku pada siapa? Tikus sawah? Zaman sekolah saja pergaulanmu cuma sebatas ikan-ikan di kolam."

keranjang sampah: dibuang s-ayankTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang