setelah menikah, lalu apa?

101 18 1
                                    

CHAPTER [02]
SOSOK SEMPURNA



CHAEYOUNG TERBANGUN pukul sembilan lebih dua puluh tiga pagi gara-gara udara dingin pertengahan musim gugur sekehendak hati keluar-masuk lubang ventilasi demi memanfaatkan momentun membelai kulitnya yang telanjang kecuali organ vital dibebat sepasang dalaman warna hitam. Ia menaikkan selimut yang menggunduk di betis hingga menutupi setengah kepala. Hangat dan nyaman. Kelopak matanya dipejamkan lagi supaya dapat menyambung mimpi yang terjeda—tapi kemudian berakhir sia-sia gara benak keburu merampas kesadaran hingga mengisi kembali badan yang lunglai dan pegal-pegal. Ujungnya, netra cokelat Chaeyoung nyalang ke plafon polos tanpa riasan.

Sekurang-kurangnya butuh tiga menit sampai si Park mampu mengendalikan kelinglungan dan berhenti cingak-cinguk ke sepenjuru kamarnya sendiri tanpa alasan jelas. Mencoba mengabaikan pening, mual, dan badan lemas seolah tak bertulang, ia beranjak bangkit dari kasur untuk mengambil kaus oblong dan celana satin, lalu pergi membasuh wajah di kamar mandi. Di ruangan itu pula, didapatinya pakaian semalam teronggok di sisi toilet dengan aroma menjijikkan bekas muntahan. Mencubit sepotong dress tersebut menggunakan telunjuk dan ibu jari, ia lalu melemparkannya ke keranjang pakaian kotor di pojok buat dikirim ke penatu sore nanti.

Keluar dari kamar sambil menggelung rambut, kaki Chaeyoung praktis tertuju ke arah pantry yang menjadi asal aroma roti panggang segar. Hal itu sekalian menyadarkannya bahwa ia kelaparan dan Taehyung ternyata tidak langsung pulang setelah menemaninya semalaman. Di depan setumpuk roti hangat baru diangkat dari teflon, lelaki itu mengoleskan selai stroberi dan cokelat pada dua lembar yang berbeda sebelum menangkupnya jadi satu sembari berbicara pada orang di seberang telepon yang terimpit antara telinga dan bahu.

“Ah, itu dia Chaeyoung baru bangun.”

Tunggu! Seperti ada yang janggal. Kenapa Taehyung pakai segala laporan pada orang yang diteleponnya?

“Ibumu,” sambung si Kim menginformasikan identitas penelepon sambil mengasong ponsel yang baru Chaeyoung sadari pula ternyata adalah miliknya.

Sial! Sial kuadrat! Jantung Chaeyoung otomatis berpindah menggantikan keberadaan lambung yang sudah lebih dulu merosot ke dengkul. Ia nyaris melompat semasa menerjang kawannya dengan rantai tamparan di lengan atas. “Kenapa diangkat?” tanyanya tanpa suara.

“Ponsel ini berdering terus hingga menganggu tidurku, makanya kulihat siapa. Dan ternyata ibumu. Kenapa kau tidak menjawab panggilannya selama berhari-hari? Mau belajar jadi anak durhaka?” Taehyung bahkan tidak merasa perlu memelankan suara sewaktu mengomeli Chaeyoung yang mendelik dan menampar lengannya lebih keras lagi. Ia menggenggam pergelangan tangan si gadis dan menempelkan ponsel di tangan lain ke telinga si empunya. “Bicaralah. Beliau khawatir.”

Chaeyoung manyun. Ia mengambil alih gawai sekalian menyingkir ke sisi kompor, sementara Taehyung mulai melahap sarapan buatannya sendirian. Suara khas Ibu melaung dari sepiker mempertanyakan apa yang tengah terjadi. Dijawabnya,  “Tidak ada apa-apa, kok.”

Chaeyoung? Itu kau, Nak? Kemana saja? Kenapa telepon dan pesan Ibu tidak ada yang dijawab maupun dibalas? Kau baik-baik saja, 'kan?

Tidak tahu, jawab batinnya praktis. Apa ia sakit? Rasanya, tidak. Namun tidak bisa dibilang baik pula. Fisiknya sedikit kecapaian, tapi mentalnya cukup halai-balai. Selama beberapa hari terakhir, Chaeyoung sengaja tidak merespon satu pun panggilan ibunya. Bukan sebab kurang rindu, tapi cara bagaimana Ibu selalu mengambil celah untuk membahas pernikahan hingga membandingkannya dengan gadis sebaya yang telah berumah tangga membikin ia cukup tertekan. Ujungnya, Chaeyoung was-was tiap kali hendak menerima sambungan. Lebih-lebih dengan argumentasinya bersama Jungkook kemarin siang yang membuat tuntutan lain tidak termasuk sebagai salah satu hal paling ingin ia dengar di masa sekarang.

keranjang sampah: dibuang s-ayankTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang