5

20.1K 1.6K 14
                                    

Aku pikir, aku akan diberikan fasilitas seadanya oleh Herdi. Nyatanya aku mendapatkan fasilitas satu unit apartemen lengkap dengan isinya, dengan jarak sangat dekat dengan lokasi kafe itu akan dibuka.

Cinta yang memiliki uang benar-benar membuatku kagum. Dan cinta ini bisa membuat orang bisa melakukan apapun. Aku jadi harus mengingat masa lalu dimana cinta adalah poros utama hidupku. Jika harus dilihat kembali, aku memang tidak pernah menyesal tentang kehadiran Deva. Tapi, aku bisa menertawakan diriku. Sebegitunya aku mencintai laki-laki itu sehingga aku rela meninggalkan keluargaku. Aneh bukan?

"Ini kunci apartemen Mama kasih Deva satu. Kalau siang Deva laper, turun aja ke bawah beli. Oke?" ucapku tak berhenti berbicara dengan Deva, "Jangan masak atau nyalain kompor. Deva beli aja."

"Iya."

"Kerjain PR-nya juga. Cuti sebulan bukan berarti harus jadi pemalas. Nanti Mama akan urus cek satu-satu tugas kamu."

"Iya."

"Sebulan aja. Setelah itu kita kembali ke Bandung dan jalan-jalan ke Singapore." Ucapku, "Mama janji."

Sore ini adalah pertama kalinya aku harus meninggalkan Deva sendiri di apartemen yang asing untuk dirinya. Khawatir jelas saja, meskipun aku tau Deva sudah sangat mandiri di seusianya.

Ketika di Bandung aku tidak pernah khawatir karena aku tau Bu Kasih membantuku menjaga Deva, nyatanya sekarang aku terus menerus mengirimkan pesan pada Deva.

Radeva Gananta :

Mama udah nggak usah kirim aku whatsapp terus. Aku bisa sendiri kok.

Aku tersenyum melihat balasan Deva, mungkin aku memang harus sadar jika anakku itu sudah bukan balita atau anak kecil lagi. Deva sudah beranjak untuk menjadi anak remaja. Ditambah aku juga sadar, Deva bukan hanya mandiri tetapi pikirannya juga dewasa sebelum umurnya.

Terkadang aku heran dengan anak itu, ia tidak pernah sekalipun bertanya tentang siapa ayahnya. Meskipun itu pada Bu Kasih. Tapi, aku juga tidak pernah mempersiapkan jawaban atas pertanyaan itu.

Aku takut, ketika suatu saat nanti dikala Deva mengetahui siapa ayahnya tetapi Rega sudah bekeluarga dan tidak menginginkan dirinya, aku tidak tau harus apa. Aku pernah tidak diinginkan, tapi aku tidak ingin hal itu terjadi pada anakku kan?

Ketika aku sampai rumah malamnya, aku melihat Deva sedang menonton TV dengan tenang. Wajahnya tidak menunjukan keseruan dari acara tersebut, atau memang wajahnya seperti itu?

Radeva ini benar-benar sama kaya Bapak. Ia sangat patuh sama peraturan. Sama juga kaya Rega pendiam. Tetapi hangat seperti Ibuk. Mudah-mudahan tidak dibutakan cinta seperti diriku.

"Udah makan?"

Aku melihat Deva mengangguk sekilas.

"Aku tadi ketemu HP di bawah, Ma. Waktu lagi muter-muter."

"Oh." Jawabku pelan, "Kembalikan ke satpam aja."

"Besok sore mau ketemuan sama orangnya di taman."

Aku mengangguk, "Taman atau kolam renang aja yang ramai orangnya, Va."

"Mama udah makan?"

Aku menggeleng.

"Aku ada beliin nasi goreng."

Aku tersenyum lalu memeluknya erat. Deva tidak pernah memberontak atau mencoba melepaskan ketika aku memeluknya. Ia akan selalu pasrah sampai aku selesai memeluknya.

Pernah sekali Deva mencoba melepaskan, tetapi aku yang sedang tidak bagus moodnya langsung menangis. Dari sana Deva selalu sabar ketika aku memeluknya.

Hanya Tentang Waktu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang