8

19.2K 1.6K 16
                                        

Percakapan alot antara Deva dan Rega membuatku tidak fokus kemana arah Rega membawa kami untuk pergi makan. Sesungguhnya sikap dan sifat mereka berdua ini sama. Tidak ada basa-basi dan selalu bersikap sesuai dengan logikanya. Tapi, kenapa aku hanya bersikap sesuai hati ya?

Aku membulatkan mataku kaget, melihat kemana Rega membawa kami. "Kamu jebak aku, Rega."

"Nggak ada yang jebak kamu. Ini rumah kamu, emang udah seharusnya kamu pulang dari dulu."

Aku berdecak, "Turunin aku."

"Nggak."

"Rega, please."

"Nggak. Mau sampai kapan kamu pergi?"

Aku tertawa sinis, "Aku diusir. Bukan pergi." Ucapku dengan nada kesal, "Please, Rega."

"Nggak, Inka."

Mobil Rega sudah berhenti di parkiran depan rumahnya. Rumah megah yang hampir 11 tahun tidak ia lihat begitu asing di matanya. Semua benar-benar tidak sama ternyata.

"Mau sampai kapan kamu diem disini? Cepet turun, ayo Deva."

Deva melihat ke arahku bertanya apa yang terjadi. Aku yakin wajahku pucat pasi. Tidak bisa menjawab. Perutku sudah bergejolak entah mengapa. Aku merasakan dingin di tengah teriknya matahari.

Rega membuka pintu penumpangku dan membantuku membuka sabuk pengaman bahkan jarak dekat seperti ini tidak bisa mengalihkanku dari pikiran negatifku, "Nggak usah mikir macem-macem. Turun dan kembali dimana harusnya kamu berada, Inka."

Aku merasakan Deva memegang tanganku, "Kita pulang aja kalau Mama nggak mau masuk."

Rega melihatku, aku melihat Deva dan anak itu benar-benar melihat ke arahku lekat.

"Mama nggak nyaman, kita pulang aja ya." Ucap Deva lagi.

Baru saja aku ingin mengangguk, pintu besar di hadapan kami terbuka. Nyonya Ratna sudah berteriak namaku dan menghampiriku.

"Inka! Ya ampun, kamu kemana aja, nak. Kita disini nyariin kamu kemana-mana."

Aku juga melihat wajah Ibu yang semakin menua, semakin banyak keriput di pipi dan pinggir matanya. Mata itu menatapku lekat tanpa mengucapkan kata Ibu memelukku erat. Mengusap punggungku, membuat aku mengeluarkan air mata dalam diam.

"Kamu sehat kan, nak?"

Aku mengangguk.

"Kamu siapa?" tanya Nyonya Ratna pada Deva.

"Radeva." Ucapnya sambil menarik tanganku agar aku menjauhi mereka semua, "Kalian kenapa bikin Mama nangis?" ucap Deva marah, "Ayo kita pulang aja, Ma." Deva menarik tanganku.

Aku menahan Deva dan melihat ke arahnya pelan, "Deva, Mama mau kenalin Ibu-nya Mama dan Bapak-nya Mama. Eyang Deva." Ucapku pelan, "Mama nangis karena kangen, bukan Mama sedih."

"Bener?" tanyanya serius.

Aku mengangguk pasti, "Deva mau temenin Mama?"

Deva memimpin jalan dan tidak melepaskan tanganku. Deva menggenggam erat tanganku seakan memberikan sinyal bahwa anak ini akan melindungiku apapun yang terjadi. Nyonya Ratna dan Ibu sudah merangkulku masuk ke dalam.

Ketika pintu besar itu terbuka, tidak ada yang berubah. Hanya cat dinding yang agak sedikit pudar dan selebihnya masih sama. Tidak ada yang berubah.

Aku melihat Bapak dan Pak Setya duduk di ruang tamu melihat ke arahku dengan tatapan yang aku tidak bisa artikan. Mata Bapak memerah, wajahnya sudah luyu tidak seperti dulu. Aku benar-benar merasa Bapak dan Ibu benar-benar termakan usia.

Aku berdiri kaku, air mata sudah entah tidak terbendung lagi. Aku bingung harus berbuat apa. Karena pasalnya terakhir aku berada disini, aku diusir. Artinya aku tidak diinginkan di rumah ini kan? Nyatanya aku sekarang datang, entah aku bingung harus berbuat apa.

"Ini cucumu, Pak. Cucu kita." Ucap Ibu membawa Deva mendekat ke arah Bapak.

Bapak hanya diam melihat Deva lama sampai akhirnya Bapak memeluk Deva sangat erat.

"Cucu eyang sudah besar. Cucu eyang sudah dewasa."

Aku? aku melihat pemandangan ini hanya bisa semakin terisak. Hanya isakan yang bisa aku keluarkan bahkan aku tidak menghiraukan tangan Rega yang sudah merangkulku erat seakan menguatkanku.

"Panggil aku Eyang." Ucap Bapak sambil mengusap wajah Deva.

Deva tidak menjawab, anak itu melihat ke arahku seakan meminta kebenaran dari informasi yang ia dapatkan barusan.

Aku hanya mengangguk, lalu Deva memanggil Bapak dan Ibuku dengan sebutan Eyang. Disanalah aku melihat air mata Bapak turun. Bapak bahkan terisak dan kembali memeluk Deva kembali.

Bapak melihatku, tidak ada ucapan tidak ada gerakan. Hanya mata kami terpaut saling bertukar kisah sedih selama 11 tahun ini.

Akhirnya aku menghampirinya bersimpuh di kakinya. Aku hanya bisa meminta maaf. Hanya satu kata itu yang keluar dari mulutku.

"Maafin, Bapak juga." Kata-kata itu membuatku harus kembali terisak. "Bapak buat hidupmu lebih menderita, Bapak belum bisa menjadi Bapak yang baik untuk kamu."

Aku mengelus bahu yang bergetar hebat ini, tidak ada kata-kata yang bisa terucap selain elusan yang aku berikan. Elusan sebagai pertanda aku baik-baik saja selama ini. Aku bisa hidup dengan baik.

Ketika semua sudah tenang dengan dirinya masing-masing, aku mengenalkan satu persatu yang ada di rumah ini.

Nyonya Ratna dan Pak Satya ingin dipanggil Oma dan Opa membuatku melihat ke arah Bapak. Pasalnya jika dulu, Bapak tidak akan pernah membiarkan keluarga kami memanggil keluarga Pak Satya begitu akrab seperti aku yang dilarang memanggil Nyonya Ratna dengan sebutan tante. Tetapi, kali ini Bapak diam saja.

"Kamu belum memperkenalkan aku, Inka." Suara Rega terdengar.

Aku melihat ke arah Rega penuh tanya, sumpah aku benar-benar tidak tau maksud dari pertanyaannya.

Aku tidak akan mengatakan pada mereka semua jika Rega adalah ayah dari Deva tentu saja. Apalagi banyak yang harus dipertimbangkan. Maksudku, jika memang Rega ingin pengakuan dari Deva aku bisa saja. Tapi, masalahnya aku tidak pernah terpikir jika skenarionya akan berubah seperti ini.

Aku bisa diajak bekerja sama dengan Rega jika memang Rega tidak ingin seluruh keluarganya tau, toh, awalnya aku juga tidak berencana kembali kesini. Belum, belum saatnya.

"Hah?"

"Kamu belum memperkenalkan aku pada Deva. Secara resmi."

Aku melihat ke semua orang yang berada disini. Mereka bahkan menungguku bersuara tentunya.

"Ini Om Rega, anaknya Oma dan Opa." Ucapku akhirnya.

"Kamu paham maksudku bukan yang ini, Inka."

Kenapa sih setiap Rega menyebutkan namaku penuh dengan tekanan. Membuatku tidak bisa fokus dan seakan dipojokan.

"Radeva, Om Rega ini itu..." ucapanku menggantung membuat semua orang melihat ke arahku lebih intens, aku sendiri seakan disidang pengadilan dengan kasus terberat rasanya, "Papamu." 

Hanya Tentang Waktu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang