18

16.9K 1.4K 12
                                    

Aku cukup bahagia menerima projek kemarin itu karena dari projek itu, aku sekarang ini menjadi anak kesayangan bosku. Dua hari kemarin aku boleh tetap di rumah beristirahat, mengambil cuti, bonus turun bahkan sekarang aku boleh ijin pulang cepat karena ingin buka jahitan. Aku harus menggunakan kesempatan ini dengan baik kan? Atau karena lagi baik, aku minta cuti lagi ya? Tetapi tetap digaji? Bisa tidak ya?

Memang manusia sudah dikasih enak, tetap minta lebih dan tidak puas. Yakan?

Ternyata sakit dan ngilu buka jahitan tidak sebanding dengan ucapan Bu Jaedah yang masih terngiang di kepalaku. Ucapannya benar-benar menyakitiku tapi aku tidak bisa menyalahkannya. Setiap orang berhak kan memiliki pendapat sendiri?

"Inka?"

Aku seperti ditarik kembali ke dunia ketika aku masih fokus mendalami ucapan Bu Jaedah mencari darimana sumber suara yang memanggil namaku sendiri.

"Bayu?"

Bayu tersenyum, "Kamu habis ngapain?"

"Oh, ini. Aku habis buka jahitan." Ucapku.

Bayu ini salah satu kandidat yang suka dijodohkan oleh para tetangga. Bayu ini juragan kost-kostan. Usianya memang tidak terpaut jauh denganku, tetapi Bayu ini sudah pernah menikah dan memiliki seorang putri berumur 6 tahun. Istri Bayu meninggal ketika putrinya berumur 3 tahun.

Para tetangga mengatakan, janda lebih cocok disandingkan dengan duda. Apalagi dudanya sudah memiliki anak. Bahkan Bu Mirna pernah bilang lebih baik aku yang notabennya seperti janda tidak mendapatkan yang masih single karena takut jika laki-laki itu akan kabur dan tidak tahan.

Untung saja Bayu tidak pernah mengambil kesempatan seperti laki-laki lain yang dijodoh-jodohkan denganku. Bayu ini termasuk laki-laki yang baik memang. Beberapa kali memang Bayu pernah mengajakku untuk sekedar pergi makan tetapi aku menolaknya. Aku tidak ingin memberikan kesempatan yang tidak pasti aku bisa berikan.

"Oh yang kemarin kamu kecelakaan?" tanya Bayu.

Aku mengangguk, "Udah beredar ya beritanya?"

Bayu hanya tersenyum, lesung pipit yang muncul langsung menyita perhatianku sedikit, "Biasalah."

"Kamu sendiri ngapain?"

Bayu mengangkat tangan kanannya, sekantung plastic obat langsung terlihat. "Vitamin Gadis dari dokter anaknya."

"Memangnya kenapa nggak beli di apotek luar?"

Bayu tersenyum, "Biar nggak ribet aja kalau nggak ada. Kalau disini kan udah pasti ada. Dokternya juga disini. Mau pulang?"

Aku mengangguk mengiyakan.

"Mau bareng?"

"Ngerepotin?"

Bayu tertawa, "Nggak. Mau makan dulu juga boleh."

Aku melihat jam di tangan, sudah jam 6 lewat. "Kalau itu aku tanya dulu ke Deva ya? Takut dia belum makan, jadi aku harus makan sama dia."

Bayu mengangguk. Lalu aku mengirim pesan pada Deva. Tidak lama, Deva langsung membalas dan mengatakan sudah makan.

"Yuk, boleh deh. Deva udah makan nih."

Bayu langsung mengajakku ke parkiran dimana mobilnya terparkir. Aku mengikuti saja kemana Bayu akan mengajakku. Untuk soal makan aku tidak terlalu pemilih.

"Aku dari dulu mau ajak kamu kesini. Makan makanan Sunda yang baru buka."

Aku tertawa, "Maaf deh. Soalnya nggak enak aja kalau kita makan berdua. Kamu tau sendiri deh tembok di komplek kita bisa gossip."

Bayu mengangguk, lalu membiarkan aku memesan makanan yang aku inginkan. Bayu juga basa-basi bertanya apa makanan kesukaanku dan lainnya.

"Sulit ya jadi single mom?" tanya Bayu.

"Sesulit kamu jadi single dad." Jawabku dan mendapat tawa renyah dari Bayu.

"Memang sulit sih, pandangan masyarakat terhadap status kita itu susah. Jadi, kamu sabar-sabar aja."

Aku melihat kearah laki-laki di hadapanku. Sebenarnya Bayu termasuk laki-laki yang tidak sulit untuk diterima. Sikapnya lumayan gentle membuatku sedikit tertarik padanya. Apalagi masalah yang kita hadapi sama, setidaknya tidak sulit untuk saling menguatkan.

"Ya namanya emosi, mereka mulai bawa-bawa Deva. Aku nggak suka."

Bayu mengangguk, "Kalau mereka bawa-bawa Gadis juga aku pasti marah. Wajar kok."

Aku menyuapkan makanan yang aku pesan dan mengakui jika ini enak, "Ini enak loh."

Bayu tersenyum, "Kamu sih baru iyain aku ajak makan."

Baru aku sadari, selama ini jika Bayu akan berbicara ia akan tersenyum lebih dahulu. "Ya, aku kan nggak mau kasih harapan palsu aja. Pas Bu Mirna bilang mau jodohin kamu sama aku dan kamu nerima kan aku kaget."

Bayu mengangguk kali ini, "Hidup sendiri susah. Aku memang butuh teman, aku pikir dengan status kita tidak salah mencoba kan?"

"Iya, nggak salah. Tapi akunya belum bisa kemarin-kemarin."

"Sekarang udah bisa?"

Aku diam. Tidak menjawab.

"Nggak usah dijawab. Santai aja, Inka. Aku nggak langsung ajak kamu nikah juga atau pacaran. Seenggaknya kamu iyain ajakan aku makan aja."

"Kamu Cuma butuh temen makan ya kayanya?" gurauku mencairkan suasana.

"Mungkin. Nggak enak makan sendiri ternyata."

Aku hanya tersenyum menanggapi Bayu. Melewati makan malam dengan Bayu membuatku cukup mengenal sosok Bayu. Laki-laki ini memang bisa dibilang penyayang sekali, buktinya ia sangat mencoba menjadi segala sosok untuk putrinya. Bayu juga tidak memaksa untuk mencari jodoh lain lagi hanya sekedar untuk mengisi sosok yang kosong tersebut.

Bayu mengantarku pulang, ketika sampai di depan rumah aku melihat mobil yang cukup familier. Rega disini?

"Mau mampir?" tanyaku basa-basi pada Bayu.

"Nggak usah. Kayanya kamu punya tamu juga ya?"

Aku melihat kearah pintu rumah, Rega dan Deva sudah berdiri di depan pintu menungguku di sana. "Aku turun dulu ya? Makasih udah anter aku pulang ya?"

"Sampai nanti, Inka."

Aku langsung turun dan memeluk Deva.

"Mama sama Om Bayu?"

Aku mengangguk.

"Aku kira kamu masih sakit, ternyata udah pergi-pergi." Ucap Rega sambil masuk ke dalam rumah.

Aku membiarkan pintu terbuka, biar tidak ada gossip-gosip lain yang akan bisa diberikan lagi padaku.

"Tadi ketemu di rumah sakit, terus pergi makan."

Entah mengapa aku menjelaskan kepada Rega. Seakan aku tidak ingin Rega salah paham, padahal aku yakin sebenarnya tidak harus melakukan ini kan?

"Ma, Papa sewa apartemen disini loh." Ucap Deva.

Aku mengerutkan keningku, papa? Deva memanggil Rega Papa?

"Papa mau ajak kita ke sana sekarang. Papa mau ajak aku nginep sebenarnya tapi nanti Mama sendirian."

"Ikut aja. Kamarnya ada dua dan tetangga disana harusnya nggak ngurusin hal-hal kaya gitu."

"Ayo, cepet Mama mandi. Habis itu kita ke sana. Yakan, Pa?"

Aku masih tidak tau harus bersikap apa, tetapi aku tetap masuk ke dalam kamar mandi dan mencerna semua ucapan Deva tadi. Rega menyewa apartemen disini? Kok bisa? Ngapain?

Untuk apa Rega menyewa apartemen disini? Dia nggak mungkin tinggal disinikan? 

Hanya Tentang Waktu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang