17

17.5K 1.4K 9
                                        

Bukan harapan, bukan kesempatan. Ini seperti keadaan yang langsung menguji keinginanku untuk move on. Rega tidak memberi harapan, kesempatan justru keadaan yang mendekatkanku dengan Rega.

Aku kira setelah liburan itu, aku dengan lancar bisa melupakan Rega. Aku juga berpikir tidak mungkin kami bisa bersinggungan Kembali karena Rega dan Deva sudah bisa berkomunikasi sendiri tanpaku.

Nyatanya kecelakaan ini justru membuatku semakin dekat dengannya. Semalaman Rega menjagaku, iya menjaga. Bukan hanya nunggu tetapi menjaga. Rega bahkan menyuapiku karena tanganku sakit, membantuku ke toilet. Ini adalah ujian terberat yang aku lalui.

Apalagi ditambah sikap Rega yang aneh. Membuatku semakin heran dengan sikapnya.

Pasalnya semalam aku menyuruhnya pulang karena jelas disini tidak ada tempat tidur untuknya kan? Dibanding dia harus tidur di kursi lebih baik dia pulang. Tidak lucu satu sembuh, satu sakit. Tau apa yang dia jawab?

"Pilihannya Cuma dua. Aku tidur di kursi atau kamu sharing kasur kamu buat kita."

Aku langsung tidak mempedulikan Rega. Ku pejamkan mata saja sampai tertidur. Paginya benar saja, Rega mengeluh lehernya pegal.

Mungkin baginya ini biasa saja, tapi untukku kan tidak ya?

Aku sudah di jalan pulang tentunya bersama Rega. Rega membantuku mengurus administrasi dan segalanya untung saja asuransi membayar semua tagihan kecuali vitamin-vitamin yang aku minum kemarin. Setidaknya tidak membuat kantongku bolong.

Sesampainya di rumah, Deva langsung memelukku. Matanya sudah berair. Aku memang melarangnya ke rumah sakit dan mengatakan aku baik-baik saja. Ditambah dengan Rega yang mengatakan akan menjagaku jadi Deva menurut. Tetapi lihat sekarang, pelukkannya sangat erat.

"Mama aneh. Kenapa bisa ditabrak coba." Ucap Deva.

Aku tersenyum dan mengelus rambutnya, "Mama nih nggak apa loh. Kok kamu nangis sampai kaya gitu?"

"Deva takut Mama kenapa-napa." Ucap Deva, "Untung Om Rega yang jagain Mama."

"Iya-iya. Mama janji deh bakal lebih hati-hati." Ucapku sambil mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahku bersamaan.

Tidak beda dengan Deva, Ibu dan Tante Ratna juga sama aja khawatirnya. Berbondong-bondong pertanyaan.

"Ka, lebih baik kamu ke Jakarta nggak sih?" Tanya Tante Ratna.

"Hah?" jawabku kaget, "Nggaklah, Tante. Ini emang lagi nggak mujur aja makanya bisa begini."

"Kita semua khawatir loh. Lagipula kalau kamu di Jakarta, Deva ada yang jaga."

Aku melihat Deva dan mengelus kepalanya, "Nggaklah. Deva udah besar bisa jaga diri sendiri kan?"

Deva melihat kearahku dan mengangguk, "Asal Mama nggak bikin kita khawatir lagi."

Anakku sudah bisa mengkhawatirkanku? Sudah sebesar ini ternyata? Aku sudah setua itukah?

**

Setelah dua hari tinggal di rumah, mereka semua Kembali ke Jakarta. Tante Ratna tadinya ingin seminggu tetapi ia baru ingat tentang arisan yang akan dilaksanakan di rumahnya sendiri.

Pagi ini, aku sedang menyiapkan sarapan untukku dan Deva. Selama aku terluka, Deva banyak membantu. Dari pekerjaan rumah sampai memasak. Deva mau memotongkan sayur agar aku hanya tinggal memasaknya saja. Manisnya anakku kan?

Pintu diketuk membuatku dan Deva saling lihat. Nyatanya kami tidak pernah menerima tamu sepagi ini.

"Aku buka pintu." Ucap Deva. Aku hanya mengangguk.

"Ada Tante Jaedah, Tante Mirna sama Pak RT." Ucap Deva lalu ikut duduk di ruang tamu. Aku juga langsung menyusul ke ruang tamu tidak lupa membawa air minum untuk mereka.

"Ini silahkan diminum, ada apa ya ini?" tanyaku sopan.

"Begini, Inka." Ucap pak RT, "Ada beberapa yang laporan tentang kamu yang menerima tamu laki-laki. Beberapa dari mereka keberatan karena itu."

"Tamu laki-laki?" Tanyaku bingung.

"Itu Rega-Rega itu." Ucap Bu Jaedah membantuku memberi jawaban tentang kemana pembicaraan ini.

"Oh, Iya Pak. Kemarin Rega memang menginap tetapi tidur bareng Deva karena sudah kemaleman dan kemarin menginap lagi karena saya kan habis kecelakaan."

"Memangnya tidak bisa tinggal di hotel saja kemarin? Kenapa harus disini?" Bu Mirna menyuarakan pendapatnya kali ini.

"Papa Deva kenapa harus tinggal di hotel? Kalau mau tinggal sama Deva memangnya nggak boleh?" tanya Deva.

"Deva." Ucapku memegang tangannya menandakan ia tidak boleh ikut-ikutan pembahasan ini.

"Jadi, itu suami kamu?" Tanya Bu Jaedah.

"Bukan." Ucapku pelan, "Kami sudah berpisah."

"Tuh! Denger, Pak. Aneh bangetkan? Udah pisah tapi masih tinggal bareng. Kita nggak pernah tau kan mereka ngapain?" Bu Mirna menunjukku menyalahkan.

"Emangnya urusan kalian apa sih? Ini kan Mama dan Papaku. Kenapa kalian nggak suka?" ucap Deva.

"Va.." Aku menggenggam tangan Deva. Aku tidak ingin ia terseret-seret dalam masalah ini.

"Kamu ini masih kecil. Norma dan adat harus dipegang. Mana ada tidak ada ikatan suami istri tetapi bisa tinggal bersama? Justru kamu itu hasil dari pelanggaran norma dan adat." Ucap Bu Jaedah pada Deva.

"Maaf ya, Bu. Kalau memang sikap saya menganggu kehidupan Bu Jaedah. Tapi, Ibu tidak berhak untuk ngomong itu pada anak saya." Ucapku dengan emosi, aku bahkan melihat pak RT kaget dengan intonasi suaraku, "Kalau Ibu memang bermasalah dengan saya dan nggak suka, saya terima. Tapi, ucapan Ibu sudah keterlaluan kayanya. Lagipula untuk yang pertama saya sudah menerima komplainan ibu. Tapi yang kedua kan Rega tidak bertiga saja dengan saya. Ada Ibu dan Ibunya juga. Ibu Jaedah nggak tau kan?"

Bu Jaedah dan Bu Marni sepertinya kaget Ketika mendengar jawaban emosiku yang lumayan tinggi. Mereka diam tanpa bisa menjawab.

"Saya nggak memungkiri kalau memang kemarin saya salah. Tapi ucapan Ibu benar-benar buat saya tersinggung."

"Sudah, sudah. Kita disini ingin ngomong baik-baikkan. Bukan untuk marah-marah. Jadi kita sudahi ya. Maafkan ucapan Bu Jaedah ya, Inka." Ucap pak RT, "Kalau begitu kami pamit ya."

Setelah itu mereka bertiga bangkit berdiri dan pamit. Teh yang sudah aku hidangkanpun tidak mereka minum. Aku langsung memeluk Deva.

"Mama nggak apa, Va." Aku mengelus kepala Deva, "Kalau kamu jawabin kaya tadi, malah dianggap kurang ajar loh sama mereka."

"Emangnya aku peduli? Mereka jahatin Mama, padahal Mama nggak ngapa-ngapain. Kenapa mereka harus kaya gitu sama Mama?" suara Deva masih menggebu-gebu penuh dengan emosi.

"Mama nggak kenapa-napa. Sudah, kamu siap-siap sekolah sana. Nanti sore kamu sendiri dulu ya? Mama harus ke rumah sakit buka jahitan."

Deva tidak menjawab, ia langsung masuk ke dalam mengambil tas dan pergi langsung.

Sekolah Deva memang tidak terlalu jauh, aku sudah memberikannya sepeda untuk pergi ke sekolah. Deva bahkan tidak pamit padaku, membuatku harus menggelengkan kepala.

Aku tidak apa menerima segala caci maki dari semua orang, tetapi aku benar-benar tidak menerima jika ada yang menghina atau mengucapkan hal tidak baik pada Deva. Aku benar-benar sebal dan kesal.

Aku memegang kepalaku yang mendadak sakit. Sebegitunya mereka mencampuri hidupku? Sampai dimana Rega tidur saja diurusi? Mereka yang kurang kerjaan atau aku yang kurang mengurusi urusan orang lain? 

Hanya Tentang Waktu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang