Juni, 2022.
"Mama pergi hanya sebentar, ya." Ucapku pada putra semata wayang yang usianya sudah 10 tahun.
"Iya." Jawabnya singkat, "Mama udah ngomong ini beberapa kali."
Aku berdecak, "Mama ingetin kamu."
"Nena juga udah bosen dengernya," Jawab Kasih membantu cucu kesayangannya itu.
"Tante gula dijaga ya. Jangan karena aku nggak di rumah, gula nggak dibatasin. Deva ingetin Nena ya."
"Iya." Jawab Deva.
"Dari pada kamu ngomong terus begitu, mending ajak kita semua ke Jakarta." Cakra kembali menambahkan.
Aku berdecak. "Maunya gitu. Tapi nggak bisa."
"Yauda, kamu pergi terus cepet pulang." Jawab Kasih.
"Iya. Ini aku siap-siap dulu." Ucapku sambil mengingat kembali berkas-berkas yang akan kubawa hari ini.
Akhirnya setelah hampir 11 tahun berlalu, aku akan menginjakkan kaki ke Jakarta kembali. Aku tidak pernah berpikir akan kembali ke kota penuh sakit hati itu. Tapi, ternyata aku tidak pernah benar-benar bisa meninggalkan kota tersebut.
Sebelas tahun lalu, ketika aku memutuskan untuk pergi dari keluarga dan rumah itu. Aku bertemu dengan Pak Cakra dan Ibu Kasih. Mereka berdualah yang menolongku ketika aku pingsan di jalan.
Mereka membawaku ke rumah sakit dan merawatku dengan ikhlas selama di rumah sakit. Tentu saja rasa terima kasih tidak akan cukup untuk membalas jasa mereka. Aku harus membayar kembali uang yang telah mereka keluarkan untukku.
Aku menawarkan diri bekerja dengan mereka. Aku bercerita keadaanku yang tidak memiliki tujuan dan memiliki hutang pada mereka.
Nyatanya aku masih bersyukur, aku bertemu dengan orang baik.
Pak Cakra dan Bu Kasih memberikan aku tempat tinggal sangat layak, merawatku ketika hamil bahkan membantu biaya persalinanku.
Aku harus takjub dengan takdir hidup kami, kami dipertemukan ketika Pak Cakra dan Bu Kasih baru saja kehilangan anak mereka dalam insiden kecelakaan. Muncullah diriku dengan keadaan sedang hamil tanpa tujuan.
Aku bahkan masih bertanya-tanya mengapa sepasang suami istri itu rela menampung bahkan merawat aku kala itu. Dan tanpa terasa hampir 11 tahun aku tinggal bersama Pak Cakra dan Bu Kasih. Cara mereka memperlakukanku dan Deva membuatku sadar jika bukan saja hutang materi yang harus kubayar, hutang budipun harus kubayar sampai kehidupan lainnya.
Pasalnya, ketika aku melahirkan, Pak Cakra bahkan membiayaiku untuk kuliah. Mereka mau merawat Deva. Mereka sama sekali tidak mempermasalahkan jumlah uang yang mereka keluarkan. Merawat kami dengan ikhlas.
Aku memiliki pekerjaan yang cukup bagus, Radeva bisa bersekolah di tempat yang bagus. Semua hasil dari bantuan Pak Cakra dan Bu Kasih. Apalagi mereka benar-benar menyayangi Deva seperti menyayangi cucu kandungnya.
Pak Cakra dan Bu Kasih memiliki anak lain tetapi mereka harus tinggal jauh dari Indonesia. Kehadiranku dan Deva juga sangat disambut hangat oleh Mas Bimo. Setidaknya, aku dan Deva bisa membantu menjaga Pak Cakra dan Bu Kasih yang ingin menetap di Bandung.
**
Pekerjaan yang harus kuurus di Jakarta adalah pembukaan cabang dari kafe tempat dimana aku bekerja. Kata atasanku pengusaha yang menginginkan cabang kafe tersebut secara sedikit memaksa.
Pasalnya, atasanku tidak berniat membuka cabang dimanapun meskipun di Bandung sekalipun. Cukup satu tetapi ramai bagainya.
Nyatanya pengusaha ini ingin memberikan hadiah untuk tunangannya karena tunangan itu suka sekali konsep kafe sampai hidangan yang kami miliki.
Aku bahkan sangat kagum dengan laki-laki tersebut. Ia rela mengeluarkan uang yang cukup besar hanya untuk tunangannya. Cinta memang bisa mengatur segalanya.
Waktunya hanya seminggu untuk melihat lokasi, menjembatani arsitek dengan design interior yang membangun kafe tersebut di Bandung, membantu mencarikan chef agar bisa memasak dengan menu yang sama dan perintilan lainnya.
Bahkan aku hanya memiliki waktu seminggu untuk mencari furniture yang senada dengan konsep kafe di Bandung. Jika aku tidak bisa mendapatkannya, sudah pasti mereka harus membawanya dari Bandung.
Hari pertama, jangan ditanya betapa sibuknya aku. aku harus meeting dengan berbagai bahan untuk mulai mencari dimana letaknya, konsepnya bahkan furniture yang sesuai.
Hari kedua, tidak kalah sibuk. Aku bahkan harus keluar masuk took furniture. Aku harus keluar masuk kafe untuk membahas segala macamnya.
Begitu juga dengan hari selanjutnya. Aku tidak pernah beristirahat cukup. Nyatanya aku sadar, jika satu minggu itu tidak cukup untuk mengurus semuanya.
"Kayanya kita butuh waktu lebih lama, ya?" ucap asisten pengusaha itu.
Hampir seminggu aku tidak pernah bertemu dengannya, hanya asisten pengusaha itu yang aku temui. Pak Herdi.
Aku mengangguk, "Tapi, saya harus tetap pulang ke Bandung untuk memberikan laporan progress yang sudah berjalan."
"Kira-kira kamu bisa jika harus kembali ke Jakarta lagi?"
Aku mengerutkan kening. Pasalnya Pak Cakra dan Bu Kasih akan pergi ke Swiss bertemu dengan Mas Bimo. Mereka akan disana mungkin setengah tahun. Mereka akan pergi lusa. Makanya aku tidak cemas ketika aku harus ke Jakarta dan meninggalkan Deva. Tetapi jika harus kembali ke Jakarta aku bingung juga.
"Mungkin sebulan kamu harus menetap. Untuk tempat tinggal dan akomondasi akan kami tanggung. Ijin perusahaan juga akan kami urus."
Aku masih tidak menjawab, karena banyak hal yang perlu kuurus. Jika aku harus menetap di Jakarta selama sebulan, aku harus membawa Deva. Padahal anak itu harus sekolah kan?
"Gimana, Bu Inka?" tanya Herdi lagi.
"Kamu urus saja perijinan saya dengan perusahaan. Untuk jawaban bisa atau tidaknya kami serahkan ke perusahaan ya. Mungkin perusahaan bisa juga mengirim orang berbeda." Jelasku.
Herdi mengangguk mengerti, "Saya mengerti."
Percakapan kami terhenti begitu saja disana. Proyek tetap berjalan meskipun aku harus kembali ke Bandung. Tentu saja, Pak Jaya memberikan ijin untukku mengurus proyek ini dengan mudah, aku tau harga fantastis yang didapat oleh Pak Jaya atas pembukaan cabang ini.
Tidak ada jeda signifikan. Setelah sampai Bandung, Pak Jaya langsung memberikanku ijin dan iming-iming bonus yang cukup besar untukku ditambah ijin cuti selama dua minggu turun begitu saja.
Aku harus mengurus cuti sekolah Radeva karena aku harus membawanya ke Jakarta. Aku bahkan hanya diberikan waktu dua hari untuk mengurus segala keperluanku.
Aku pergi bersama Pak Cakra dan Bu kasih yang harus ke Jakarta lebih dahulu untuk terbang ke Swiss.
Aku jadi penasaran. Siapa wanita beruntung yang mendapatkan kafe tersebut? Dengan uang, semua yang tidak mungkin jadi mungkin.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hanya Tentang Waktu [END]
RomanceCinta di waktu yang salah. Waktu yang tepat ketika cinta yang salah.