020 || Reset, Halilintar ❥

1.7K 204 13
                                    

✯ Mati adalah melanjutkan hidup ke tahap lain ✯

★ ★ ☯ ★

Pasukan Sirius mengalahkan monster itu dengan mudah, beruntungnya aku pun mendapat Agnidus. Sejujurnya aku ingin bahagia, tapi racun yang masih singgah di tubuhku menghalangi kebahagiaan itu. Sejak semalam, pengawalku mencarikan tabib secara diam-diam agar berita sku terkena racun tak menyebar ke istana elemental lain.

"Bisakah kau menggerakkan tubuhmu, pangeran?"

Aku hanya bisa menggerakkan tangan, kaki pun hanya bisa diangkat. Seluruh tubuh? Tidak bisa! Aku ingin mengutuk orang yang memberi racun ini, ah! Aku menarik napas panjang. "T-tidak bisa."

Sai membantu posisiku agar menyandar, lalu ia membawakan air minum untuk obat. "Minumlah, pangeran. Kuharap kau lekas sembuh agar kita bisa mencari dan membalas penyerang itu."

"Terima kasih atas semangatnya, Sai. Aku jadi semakin ingin cepat sembuh." Seriusan, ucapan tadi begitu memotivasi sampai satu gelas itu habis.

"Tenang saja, pangeran. Kau akan sembuh dalam waktu dua hari, asalkan minum obat itu dengan teratur," jelas sang tabib sebelum pamit pergi. Aku tidak separah semalam yang tidak bisa bergerak sama sekali, tapi tetap saja hanya bisa menggerakkan tangan dan kaki—itupun tidak sempurna—terasa menjengkelkan.

"Pangeran Halilintar? Para pangeran datang ke sini untuk bertemu Anda." Shielda membuka pelan pintu kamarku. "Haruskah aku mengatakan Anda sedang sakit?" tanyanya pelan, ia tahu aku tidak mau para pangeran mengetahui kondisiku. Tapi jika mereka memaksa masuk, mau tidak mau mereka sadar bahwa aku tengah sakit—terkena racun.

"Sepertinya mereka memaksa masuk, bagaimana ini? Pangeran tidak bisa menggerakkan—"

"Diam!" bentakku refleks, mereka nampak terkejut dan aku langsung merasa bersalah. "Maafkan aku, aku tidak bermaksud mengejutkan kalian. Biarlah mereka masuk, anggap tidak ada yang terjadi. Aku bisa mengurusnya dari sini."

Tiga orang itu pamit. Aku menahan mereka untuk tidak membicarakan kondisiku di mana pun, siapa tahu Taufan melepaskan anginnya lagi. Lalu, jika kedatangan mereka ditolak, paling mereka makin memaksakan diri untuk masuk. Tak lama pintu terbanting terbuka, pelakunya selalu saja Blaze yang tak bisa buka pintu baik-baik.

"Oyy kakak~! Terima kasih atas hadiahnya!"

Cepat atau lambat kemutlakan itu akan saling menyadari satu sama lain. Aku tidak berharap banyak bahwa Blaze akan diam-diam, tidak salah aku memberinya di saat-saat terakhir. "Kau dan Thorn sudah menyerap kemutlakan kalian, ya? Selamat, kalian selangkah lebih kuat. Anggaplah ini hadiahku yang sampai terlalu cepat."

Thorn tersenyum riang dan aku membalasnya. "Terima kasih banyak, kak Hali~! Thorn sayang kakak!" Lelaki itu memelukku, sayangnya aku tidak bisa merasakan pelukannya karena setengah tubuhku mati rasa. Tanganku mencoba membalas, pergerakanku wajar saja agak lambat dan Gempa yang peka bisa saja menyadari ada yang salah.

"Apa kau baik-baik saja, kakak?" tanya Gempa, ia merasa tanganku bergemetar saat memeluk balik Thorn. Ada bedanya antara malu, ragu, dan sakit, dan di mata Gempa gemetar kali ini bertanda aku sedang sakit. Ah, sekarang aku membenci kepekaan Gempa, menjadi peka tidak selalu bagus, ya.

"Tentu saja." Sebelum Gempa bertanya lagi, aku mengalihkan topik, "Besok kalian berangkat, kan? Apa semuanya sudah siap?" Posisi Thorn yang masih memelukku ini kujadikan alasan untuk tidak bergerak, sementara adik-adikku sudah menyebar mengambil posisi enak di mana saja.

"Sudah!" Taufan mengangguk semangat, dilanjut oleh Blaze. "Kak Hali, kutanya sekali lagi ya~ apa kakak yakin tidak akan ikut?" Taufan mengeluarkan puppy eyes dan ayolah~ itu tidak mempan! Puppy eyes Taufan dan Thorn jelas berbeda, bagaimana bisa aku terperangkap oleh mata jahil seperti Taufan? Tidak, terima kasih. Sudah muak diriku.

RESET ➜ HALILINTAR [COMPLETED ✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang