Sama seperti hari sebelumnya, rumah ini benar-benar dingin.
Tidak ada kehangatan sedikitpun yang menyelimuti rumah ini, semua sibuk dengan urusan masing-masing. Sean beranjak dari kasur nya, kaki nya melangkah menuju kamar mandi.Tapi tiba-tiba kepalanya terasa berat, ia tidak sanggup melangkah dan memiliki kembali duduk di pinggiran kasur miliknya. Tiba-tiba saja darah mengalir dengan perlahan dari hidung nya, Sean menenggak kan kepala nya berusaha membuat cairan merah itu berhenti mengalir.
Tapi semua sia - sia darah itu tetap mengalir hingga mengotori kaos dan lantai kamar nya.
Kepala Sean terasa semakin berat, serasa seperti dihantam oleh ratusan balok kayu dalam satu waktu.
Nafasnya mulai memburu, ia meraih kotak obat di nakas lalu menelan nya tanpa bantuan air putih. Perlahan nyeri di kepala nya menghilang, menyisakan darah yang terus mengucur dari hidung nya.
Sean tertawa miris, sungguh malang hidupnya lahir sebagai seorang yang penyakitan.
Setiap malam ia selalu bertanya kapan tuhan akan mengambil nya kembali, ia hanya lelah.
Sean menyeka cairan merah yang terus mengalir dari hidung nya, menyisakan darah yang sudah mengering di wajahnya.
Ia bangkit mengambil beberapa tisu basah dan mulai membersihkan darah yang sedari tadi menggenang di bawah sana.
Tiba-tiba Sean menepuk dahi nya, ia melihat ke arah kalender dan benar saja hari ini merupakan jadwal pemeriksaan rutin nya lantas ia bergegas mandi dan menyiapkan beberapa berkas yang sekiranya akan ia butuhkan nanti.
"Pasien atas nama Seano."
Sean bangkit dan melangkahkan kakinya mengikuti perawat di depan nya, nama itu tanpa ada gelar Sagala sudah menjadi identitas miliknya.
Tidak ada yang boleh mengetahui jika ia memiliki darah dari seorang Sagala.
"Halo Sean, hari ini ada keluhan?"
Sean meraih selembar kertas di atas meja, menuliskan beberapa kalimat di atas nya.
Dokter mengambil kertas itu, dan raut wajahnya mengisyaratkan kekhawatiran.
Walaupun ia berusaha menyembunyikan nya tapi tetap saja, Sean mengerti ekspresi wajah itu.
"Hari ini kita sambil sample darah ya Sean, setelahnya akan saya teruskan ke bagian lab."
Sean mengangguk, membiarkan dokter itu mengambil darah dari dalam tubuhnya.
Beberapa saat kemudian, pemeriksaan rutin Sean telah selesai ia senang beban nya sedikit berkurang.
"Hasil check up akan kami informasikan satu minggu lagi ya Sean."
Sean menggerakkan tangannya, setelah ia menerima secarik kertas yang berisikan resep dari dokter.
"Terimakasih."
Lalu meninggalkan ruangan hampa itu, kaki nya berjalan meninggalkan pekarangan rumah sakit.
Ia tidak tahu ingin pergi kemana, kembali ke rumah Shiera justru akan memperkeruh suasana.
Kemarin ia pergi tiba - tiba tanpa sepatah kata pun, Sean merasa tidak enak. Ia ingin menghubungi Shiera tapi ponsel lama nya telah hilang entah kemana. Akhirnya Sean memutuskan untuk kembali ke rumahnya, ia ingin istirahat. Dan juga memutuskan untuk tidak menebus obat miliknya.
Dirumah, Sean hanya melukis seperti biasanya. Tidak ada hal istimewa semuanya terasa sama, hari - hari Sean hanya duduk berhadapan dengan kanvas dan cat.
Ia memilih bolos kelas hanya untuk menenangkan pikirannya.
Walau di lubuk hati terdalam ia sangat merindukan Shiera, namun ia tidak ingin membuat gadis itu khawatir karena melihat kondisi nya sekarang.
Sean mengambil sebuah kaca di nakas, meletakkan nya di hadapannya.
Wajah pucat, bibir kering, pipi yang berubah menjadi tirus.
Ia terlihat seperti mayat hidup.
Seminggu kemudia hasil diagnosa telah di kirimkan padanya.
Dan hal yang paling ia hindari akhirnya terjadi.
Kemoterapi.
Entah akan seperti apa kondisi nya nanti setelah menjalani kemoterapi itu, ia tidak menginginkan nya tapi wajah Shiera secara tiba-tiba terbersit di benak nya.
Sean masih ingin hidup, Sean masih ingin berusaha, dan Sean masih Ingin melihat semesta nya bahagia.
•••
Sean dan semesta nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sean dan Semestanya. [END]
FanfictionR17+ ft. Sunoo of enhypen Cantik, ini halaman terakhir. Maaf jika aku tidak lagi di samping mu, mungkin sekarang kamu sedang menangis maaf tangan ku tidak lagi bisa mengusap air mata mu. Aku benci jika kamu menangis, dan aku benci jika aku menjadi a...