▪︎ 20: RASA ▪︎

774 54 1
                                    

Ray berkutat dengan peralatan masak. Gesek spatula besi dengan teflon terdengar bising disertai kobaran api disertai lompatan nasi berwarna kecoklatan. Hm, aroma masakan Ray mampu menggugah selera semua orang.

Curi resep dari google, tapi hasil masakan Ray seperti chief restoran. Kala semua sudah jadi, Ray menaruh nasi goreng di kotak bekal. Satu kotak bekal yang lain sudah terisi dengan pasta. Ray tinggal menambahkan lauk dan masakan pun jadi.

Cowok itu bersiul. Kebiasaan, kalau lewat depan kulkas, Ray usap foto Lidya yang tertempel di sana. "Aku mandi dulu. Sampai ketemu nanti."

Sedangkan di sisi lain, Lidya tengah bersiap-siap. Untuk sarapan, Lidya hanya memakan roti dan minum susu, berdua dengan Bundanya. Ayah? Ah, Anto ada keperluan kerja di liar kota yang diundur sampai berhari-hari.

"Li," panggil Tuti.

"Afha," sahut Lidya kurang jelas lantaran mulut penuh.

Tuti terkikik, "Afa afa, ditelan dulu," Tuti memberi jeda, "ngomong-ngomong temen yang jemput kamu waktu itu, namanya siapa?"

"Ray," singkat Lidya.

"Ooh...."

Mungkin emang cuma kebetulan.

"Lili udah kelar, udah kenyang, siap menghadapi kenyataan!" seru gadis itu, selepas menaruh gelas kosong bekas susu dengan keras, timbul dentingan nyaring.

"Yaudah sana. Hati-hati. Dijemput cowok kemarin engga?" Tuti terkesan menggoda. Alis wanita itu naik turun.

"Ck. Engga. Tuh ojol udah nunggu di depan. Bye, Bunda!" Lidya terlihat salah tingkah, berupaya menutupinya dengan rengutan. Lidya meraih tangan Tuti, menciumnya sebelum pergi.

•••

Hidung serta mulut Lidya menghirup oksigen rakus. Lidya merasa nafasnya mau habis karena berlari kencang mengelilingi lapangan ntah berapa kali. Gadis itu duduk selonjor, sendiri, tidak menggerombol dengan teman sekelas.

Selama Nanda marah, Lidya tak memiliki teman. Untuk berbaur dengan yang lain pun rasanya tak minat. Berbeda dengan Nanda yang mulutnya cerewet, bisa menggaet teman banyak.

Di sana, Faza duduk. Dia juga kelelahan. Pacar diam-diam Lidya itu duduk segaris dengan Lidya. Dia mendongak ke atas, mata terpejam rapat. Sama dengan Lidya, banyak peluh.

Prrriit!

"Okey, jam olahraga saya akhiri sampai sini. Materi sprint akan kita lanjut minggu depan. Silahkan kalian istirahat sejenak, minum, makan jajan, sampai guru yang mengajar di kelas kalian datang. Terima kasih, Bapak permisi."

"Iya, Pak!"

Tangan Lidya tergerak untuk mengibas muka. Setidaknya angin kecil mampu membantu tubuh untuk dingin. Tiba-tiba, bayangan dari tubuh tegap menutupi tubuh Lidya dari sengatan matahari. Kala mendongak, didapati lagi senyum Ray untuk kesekian kali.

"Gerah?" Pertanyaan Ray memang bodoh.

"Ck, lo lihatlah sendiri," sewot Lidya, memutar manik mata, malas.

Ray terkikik sembari berujar, "Bercanda."

Ray ikut duduk bersila di sebelah Lidya. Tanpa Lidya sadari, ia tak lagi mengusir Ray, sudah jarang merasa takut dengan Ray. Tanpa sadar, kehadiran Ray mulai diterima.

Tangan Ray tergerak mengusap peluh Lidya. Banyak sekali, sebesar biji jagung. Lidya abai akan tangan Ray. Ia memejamkan mata dan fokus mengipasi diri sendiri.

Karena usapan tangan saja tak cukup, Ray mencari cara lain. Ray lepas rompi seragam, ia relakan rompi bersih itu untuk mengelap pelipis dan leher Lidya yang bersimbah peluh. Bulir bening dari pori-pori Lidya tersimpan di serabut benang rompi Ray.

𝐃𝐀𝐍𝐆𝐄𝐑𝐈𝐎𝐔𝐒 [1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang