▪ 09: NANTA ▪

2K 145 26
                                    

"Dya!"

Ini sudah kesekian kalinya Nanda menegur Lidya yang melamun. Teguran kali ini, berhasil membuat Lidya mengerjap mata sadar. Entah, pikiran gadis itu berlabuh jauh di angan-angan yang ia takuti.

"Dengerin Kakak itu ngomong. Katanya mau jadi photographer paling oke di sekolah?" imbuh Nanda, menyikut lengan atas Lidya.

"Hm, iya," singkat Lidya menatap kakak pembimbing di depan. Hanya saja, tatapan gadis itu kembali kosong. Ia kembali melamun.

"Ish," desis Nanda memutar manik mata senada, malas menegur Lidya lagi.

Jadi, mereka berdua memiliki minat mengikuti organisasi photografi. Lain halnya dengan Sahara yang memilih untuk basket dan Kiwa yang memilih untuk menjadi anak kelapa, atau anak pramuka.

Lidya dan Nanda memiliki daya tarik pada organisasi ini. Menurut mereka organisasi photo tidaklah berat. Bermodal kamera dan keahlian yang bisa diasah sudah cukup. Tidak perlu mental baja.

Namun, mereka harus bersedia membeli kamera sendiri. Karena kamera milik sekolah hanya boleh digunakan untuk lomba dan jika ada kegiatan sekolah. Untuk berlatih, mereka harus memakan biaya sendiri.

"Sekarang tau, kan tentang kamera? Jangan sampai lupa, ya Dik bagian-bagian kamera itu apa," ujar Kakak kelas cowok, pembina serta ketua dari organisasi ini.

"Mungkin untuk ini Kakak hanya menyampaikan itu saja. Untuk masalah 'Gimana, sih cara ambil gambar biar bagus?' Nah, itu kita pelajari saja minggu depan," lanjutnya.

"Oh iya. Latihan seperti ini enggak langsung bisa, ya Dik. Kakak smeua ini juga bertahap. Jadi, kami akan bantu kalian mengasah kemampuan secara bertahap juga. Tetap semangat, ya!" sahut Kakak pembina perempuan berparas manis dengan satu lesung pipit di pipi kiri.

"Lah, kok diem aja? Kemana ini semangatnya?! Oy, semangat gak?!" seru cowok berambut agak pirang, berwajah blasteran eropa.

"SEMANGAT!"

Mereka, para anggota baru pun memekik secara bersamaan. Termasuk Nanda, gadis itu bersemangat sekali. Sampai-sampai tangannya mengepal, meninju udara bebas.

Beda lagi dengan Lidya. Dia hanya berucap pelan tanpa semangat. Terkesan lemas, seperti robot yang habis batrainya.

"Oke, sekarang kalian boleh pulang. Yang masih mau di sini, tanya-tanya pun boleh."

"Yo, yang mau tepe-tepe dipersilahkan. Ini semua Kakaknya pada jomblo."

Dua barisan yang duduk di depan Lidya berhambur, saling berbaur satu sama lain, ada juga yang menghampiri Kakak kelas. Lidya tidak mau ikut-ikutan. Dia menarik tas yang terjepit punggung dan badan kursi, lalu memasukkan note dan pulpennya.

"Lo mau langsung pulang?"

Nanda bertanya, namun tatapannya bukan tertuju pada Lidya, melainkan pada mereka yang bergerombol. Nampak seru.

"Iya. Gue capek. Serasa tenaga dikuras habis hari ini."

"Gak mau berbaur sama mereka dulu?" Nanda penuh harap, ia mau sekali berbaur dengan yang lain.

"Kalo elo mau, yaudah sana. Gue mau pulang duluan," lesuh Lidya.

Nanda buru-buru beberes, mengikat buntut kuda pada rambutnya yang panjang tanpa gelombang. Kaki Lidya sudah melangkah, tak tahan bila berada di kawasan sekolah terus, Nanda cepat-cepat mengekor.

"Tumben lo lesuh galau merana? Eh iya, baru putus, ya?" Nanda bertanya pada gadis di sampingnya yang berkamuflase jadi patung manekin berjalan.

Napas Nanda berhembus cukup kencang, ia berkata, "Lo balik dijemput, kan? Atau lo jalan kaki? Please, jangan jalan kaki. Gue takut lo kenapa-napa."

Tetap saja, Lidya mengunci mulut.

Nanda membalik badan, berjalan menghadap arah lawan dengan arah tujuannya. Jarinya yang panjang menempel di pipi Lidya, memberi penekanan. "Lo kenapa siiii?"

"Nanda!" sentak Lidya kurang nyaman.

"Ya elo, sih, diem mulu," komen Nanda berjalan menghadap ke arah yang benar.

"Enggak tau. Kayak ada yang ngganjel aja dalam hati. Tapi gue juga enggak paham penyebabnya apa," balas Lidya, seraya merenggangkan jari jemarinya yang sedari tadi terkepal nan berkeringat.

"Ray?"

Kala nama cowok itu tersebut, tubuh Lidya merespon amat buruk. Kaki yang mula melangkah, diam di tempat. Tubuhnya semakin kaku. Gurat wajah yang tak bisa dijelaskan, aneh.

"Dya?"

"Jangan sebut nama bajingan itu lagi," sinis Lidya.

"Ya-ya, maaf," sesal Nanda terbata.

"Eh, Dya!"

Tubuh Nanda berhembus layaknya angin kencang, menjemput Lidya yang sudah hanyut beberapa langkah di depan sana.

Berjalan di depan dengan santai, tiba-tiba ada botol air mineral kosong yan terlempar mengenai kepala Lidya. Langkah Lidya langsung terhenti.

Lidya menutup mata sejenak, menahan arus emosi yang mengalir. Membuka mata kembali, Lidya langsung memicing, mencari pelempar botol kurang ajar itu.

"Kenapa berhenti?" tanya Nanda.

"Wih apa nih?" Nanda menjulurkan tangan, membawa botol yang dihias unik itu ke genggaman.

"Botolnya kaya hasta karya anak esdeh," gumam Nanda melihat tampilan botol dihiasi bunga dari plastik. "Eh wait, Dya, baca, deh."

Nanda menggoyang bahu kanan Lidya, sedangkan Lidya masih melirik ke sana ke mari.

"Apa?"

"Ada nama lo."

"Lo gak jelas," decak Lidya.

"IH LIHAT DULU NGAPA?!" sewot Nanda menyodorkan botol ke depan wajah Lidya.

Tertulis, 'Nanta sayang Lidya'

"Hah?" Lidya meraih botol dari genggaman Nanda. Benak Lidya pun berpikir yang tidak tidak. "Nanta? Lagi?"

"Lo ada penggemar rahasia, ya! Ciiieeeee, baru aja ada masalah sama mas anu, udah ada yang naksir. Nanta siapa tu?"

"Nanta," gumam Lidya menatap kosong ke depan. "Dia masih ada?" gumamnya lagi, menatap tulisan yang tertera. Tulisan ceker ayam, mirip tulisan anak baru bisa menulis.

Dia di mana?

pendek ya? hehe

𝐃𝐀𝐍𝐆𝐄𝐑𝐈𝐎𝐔𝐒 [1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang