▪︎ 10: TRAUMA ▪︎

1.1K 67 2
                                    

Ray berdeham di tengah sunyinya taman usang tak tersentuh ini. Taman tua, ada dua ayunan dan satu jungkat-jungkit ditengah dengan keadaan berkarat. Angin menerpa, mainan besi berkarat itu tergerak, menimbukan bunyi berisik.

Brak!

Kaki Ray menggebrak paving berlubang yang diselaputi dedaunan kuning yang mengering. Akibat ulahnya, burung-burung kecil yang mulanya mencakar dahan pohon, berterbangan tak karuan di udara.

Ray mendongak. Bulan bersinar dengan indahnya di tanggal tengah. Bintang gemerlapan, cahayanya menyisihkan kabut malam.

Melirik jam yang melingkar di tangan, Ray mendengus. Pandangan Ray beredar ke penjuru taman. Batinnya mengatakan jika tempat ini aneh. Mana mungkin tempat asing ini dijadikan tempat spesial Faza dan Lidya semasa berpacaran?

Dari kejauhan, Faza mengayun sepeda. Mata lekaki itu menohok seorang lelaki berjaket hitam yang bersandar pada tiang lampu yang redup nyala mati. Sosok itu, Faza mengenalnya.

Langkah Faza langsung terhenti bersamaan mata Ray menatap cowok itu. Di sana, Ray tersenyum miring.

Ray membuka tudung jaket. Kepala menggeleng ke kanan ke kiri, mengibas rambutnya yang mulai panjang. Perlahan cowok itu bergerak mendekati Faza. Kala sudah dekat, tangan Ray terjulur, memainkan bel sepeda Faza yang berkarakter kartun. Itu pemberian Lidya.

"Ini dikasih Lidya, ya?"

Tebakan Ray selalu tepat sasaran.

"Udah usang. Copot aja. Lagian kalian juga udah gaada hubungan, kan?" Ray terus saja memainkan bel sepeda Faza. Bel usang yang suaranya mulai nyaring.

Mata Faza menajam. Ia tebas tangan Ray dari bel pemberian Lidya. "Gausah pegang-pegang dan jangan sok tau tentang hidup gue."

"Gue?" Ray menunjuk dirinya sendiri "sok tau tentang lo? Emang gue tau semua tentang lo. Karena lo mantan cewe gue, jadi ... gue juga gali informasi tentang lo," ungkap Ray misterius. Akhir kata, Ray tersenyum sinis.

"Sok asik."

"Sok asik? Siapa juga orang yang mau sok asik sama lo?" Ray terkekeh.

"Lo ngapain di sini?" tanya Faza bernada malas.

"Gue mau mengajukan kesepakatan. Kesepakatan gue gampang kok," Ray merangkul leher Faza, namun kesannya malah memiting "lo tinggal jauhin Lidya dan buat Lidya benci sama lo, biar dia ngejauhin lo. Imbalannya, gue bakal jamin hidup lo tenang."

Faza mendorong dada Ray. "Tanpa lo suruh, pun gue udah ngejauhin dia. Silahkan ambil aja tuh cewe. Gue engga peduli."

"Engga peduli? Lo yakin?" Ray menyeringai. "Lo ngejauhin dia, tapi dia masih gamau ngejauh dari lo. Jadi, tugas lo adalah bikin dia benci sama lo, biar dia ngejauhin lo. Kalo engga, gue bisa bikin lo sengsara."

"Kalo lo suka sama dia, tunjukin sendiri. Kenapa harus gue yang repot? Lo bilang, dia cewe lo, kenapa lo masih takut kalo dia ngedeketin gue? Apa emang lo cowo yang ga diakui?" Balasan Faza seakan menantang sisi gelap Ray. Mata elang Ray, menukik tajam, menghunus Faza. Faza sendirinya tak takut sama sekali.

"Apa? Gue mau ketemu Lidya di sini. Kenapa jadi lo? Mana Lidya?" Faza menoleh ke kanan dan ke kiri "yaudah. Gue bilangin ke lo aja. Gue mau putus sama dia soalnya gue ngerasa jadi mainan doang. Selamat menjalani hubungan."

Faza menuntun sepedanya. Namun, dudukan belakang sepeda butut itu ditahan oleh Ray.

"Gue mau pulang."

"Gue bakal ngedeketin lo sama hal hal yang lo takutin. Lo benci darah, kan? Lo benci segala hal yang berbau amis karena trauma darah."

Faza terdiam. Berbanding terbalik dengan Ray yang tertawa sumbang. Ray melingkarkan tangan di leher Faza. Cowok itu menggenggam sebuah pisau lipat dengan bau amis menyengat.

𝐃𝐀𝐍𝐆𝐄𝐑𝐈𝐎𝐔𝐒 [1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang