▪︎ 17: TARGET UTAMA ▪︎

621 47 10
                                    

Berhari-hari selepas kejadian terror dari Ray, akhirnya Kiwa dan Sahara kembali masuk ke sekolah seperti biasa. Ntah kebetulan atau tidak, selepas izin beberapa hari, mereka masuk lagi di hari yang sama.

Ntah kenapa keduanya saling diam kala sudah sebangku lagi. Raut yang tak terbaca. Takut? Iya. Sedih? Iya. Was-was? Iya. Sejenak, mereka berdua saling tatap.

Sahara lebih dulu unjuk suara. "Ada orang yang ganggu gue waktu itu, sampe bikin gue engga masuk berhari-hari. Gue ... takut, Wa."

Kiwa meneguk ludah susah payah. Benarkah? Sahara diganggu, sama sepertinya waktu itu? Kiwa lantas melontar tanya, "Lo disuruh jauhin Lidya?"

Tatapan Sahara terkejut, pupil melebar. "Lo juga?!" Kiwa membalasnya dengan anggukan.

Kiwa menatap lurus ke depan, berujar lirih, "Gue gatau dia siapa. Dia nerror gue lewat telepon. Suaranya kaya bapak-bapak. Dia nyuruh gue ke belakang sekolah waktu lo gamasuk. Gue ke sana, masuk ke dalam gudang. Semua hal yang gue takutin, ada di sana. Gue takut, langsung pingsan."

"Dan lo tau?" Kiwa menghadap Sahara, menatapnya serius "karena hal itu, satu sekolah gempar, panik. Entah siapa yang nemuin gue di sana. Kata BoNyok gue, mereka kirim polisi buat ngecek gudang. Tapi ga nemu bukti orang itu, satu pun."

Sahara mengusap tangan, bulu halus mulai berdiri lagi, merinding. "Gue ... takut. Gue diancam make benda tajam. Sialnya gue di rumah sendiri. Itu yang bikin gue takut sampe drop. Beberapa hari gue gamasuk. Sebenernya, hari ini gue mau izin lagi, takut."

"Apa dia orang yang benci Lidya, ya? Tapi mana mungkin cewek kaya Lidya ada yang benci?" gumam Kiwa.

"Gue udah kapok deket Lidya lagi. Gue takut banget," cicit Sahara.

Kiwa mengernyit, heran. "Lo kok gitu? Seharusnya kita harus stay sama dia. Kita temen dia. Kita cari tau siapa dalangnya."

Sahara menggeleng. "Kalo lo mau deket sama dia, silahkan. Gue engga. Gue takut. Gue takut orang itu bisa bunuh gue. Emang lo gatakut digituin lagi? Sekarang, lihat Lidya. Apa dia ikut sakit? Engga, Wa."

Argumen Sahara ada benarnya juga. Kepala Kiwa mengangguk berulang kali. "Gue setuju sama lo. Tapi, dia masih temen kita."

Sahara menggenggam tangan Kiwa. Meyakinkan, "Wa, lebih baik kita jaga diri kita sendiri dulu. Kita jauhin Lidya buat beberapa saat. Jangan sampai hal kaya waktu itu keulang lagi."

•••

"Nda? Kiwa sama Sahara udah bales belom? Gue chat mereka ceklis satu mulu. Mereka kapan masuk, ya?" resah Lidya. Ujung jari mengetuk laci meja, mata menatap atas berangan-angan.

"Belum. Di gue juga masih ceklis satu. Kita doain mereka biar cepet masuk. Gue kangen mereka." Nanda membaringkan kepala di atas paha Lidya.

Mata Lidya mengedar ke luar jendela. Di samping kelas Lidya ada lapangan bulu tangkis yang baru selesai digarap. Mata mengedar, tatkala menemukan satu titik, mata Lidya langsung terfokus.

Mata Lidya seakan terdoktrin menatapnya, menatap tubuh Ray bersadar pada pilar. Dari jauh, Lidya mampu melihat senyum Ray.

Deg!

"Senyum itu lagi," lirih Lidya seperti berbisik.

Di sana, Ray mengambil handphone. Menaruh handphone di samping kepala seraya menggoyangkannya. Tak lama, cowok itu melenggang pergi.

Entah dorongan dari mana, Lidya mencari handphone di dalam tas. Lidya mengambil tas, merogohnya.

"Ancrit! Ini ada muka gue!" kesal Nanda karena wajahnya ditimpa tas. Kepala Nanda beranjak dari paha Lidya.

𝐃𝐀𝐍𝐆𝐄𝐑𝐈𝐎𝐔𝐒 [1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang