▪ 05: PAKET ▪

3.2K 209 14
                                    

Dari sekolah menuju ke pemakaman, Lidya membutuhkan waktu kira-kira 1 jam dengan jarak 12 km. Di tengah perjalanan, Lidya juga memakan waktu untuk membeli bunga.

Jauh? Memang.

Dari sekolah sudah 12 km, jika pulang ke rumah malah akan lebih jauh, yakni 14 km. Tenang saja, tidak mungkin Lidya mau jalan kaki dengan jarak sejauh itu. Dibekali aplikasi ojek online di handphone, Lidya memanfaatkannya.

Sebucket bunga menemani Lidya untuk masuk ke area pemakaman kedua orangtuanya. Baru saja satu langkah masuk melalui gerbang, tubuh Lidya sudah terasa berat menahan sesuatu beban.

Kaki Lidya serasa sulit untuk melangkah. Tangan yang awalnya mendekap erat sebucket bunga pun terkulai di samping tubuh. Dan mata Lidya, sudah berkaca-kaca.

Lidya memejamkan mata sejenak. Kala mata kembali terbuka, setetes air mata turun.

"Mimi, Pipi ... Lidya datang," lirih Lidya mulai terisak.

Kaki Lidya melangkah pelan, memasuki area pemakaman lebih dalam. Satu kali langkah, satu kali pula punggung tangan Lidya menyeka air mata.

Memang kejadian memilukan yang menyebabkan Lidya harus berpisah dengan orangtuanya sudah sangat lama. Tapi memori itu masih ada, membekas sampai sekarang.

Bukannya Lidya tidak tegar karena selalu menangis kala berkunjung ke pemakaman. Dia hanya rindu. Rindu kedua orangtuanya. Andai pintu waktu itu benar-benar ada, Lidya ingin kembali ke masa lalu. Di saat dia masih menjadi gadis mungil tanpa beban. Saat orangtuanya masih ada di sampingnya.

Dua batu nisan sejajar, sudah ada di depan Lidya. Di bawah pohon rindang, kedua orangtua Lidya tenang di sana.

Lidya berlutut. Jemarinya mengusap batu nisan bertuliskan 'Heru Asmaratja', di sampingnya bertuliskan 'Hanun'.

Lidya kembali terisak. Air matanya kerap menetes, membasahi gundukan yang mengubur Ayahnya.

"Kangen Pipi sama Mimi hiks, Pipi sama Mimi baik-baik aja, ya di atas. Jangan berantem di sana, nanti Tuhan marah. Hiks ... doakan Lili di sini, ya, doakan supaya Lili bisa jadi perempuan tangguh yang berguna. Hiks ... Lili kangen banget sama Mimi dan Pipi...."

Lidya menyeka air matanya sekaligus ingus yang tanpa disuruh keluar.

"Maaf, ya, Lili cuma bawa satu bucket bunga. Mimi sama Pipi enggak boleh berebut bunganya, ya. Hiks ... kangen kalian...."

Lidya menaruh bucket bunga yang ia bawa si atas gundukan tanah milik Sang Ayah.

"Lili pengen sama Mimi Pipi. Lili mau kehidupan yang dulu. Lili enggak mau jadi besar kalau Mimi sama Pipi ninggalin Lili hiks ... Lili kangen ... Pipi sama Mimi kenapa sekarang jarang jenguk Lili lewat mimpi?"

"Lili mau jadi kecil lagi, Mi, Pi...."

Bertahun-tahun yang lalu

Lidya kecil masih berumur 6 tahun lebih 2 bulan. Gadis mungil yang satu ini berhasil membuat orang yang menatapnya ikut gemas. Rambut yang diikat dua di samping seperti tanduk, jikalau meringis 2 gigi depannya ompong. Apalagi kala mengenakan seragam TK, lebih menggemaskan.

Kala itu, Lidya tengah pulang sekolah. Ia dijemput oleh kedua orangtuanya menggunakan mobil sedan keluaran lama.

Heru dan Hanun menunggu di depan gerbang. Mengetahui orangtuanya, Lidya berlari kencang. Ia langsung memeluk kedua orangtuanya sembari mengucapkan beribu kata rindu.

"Lili kangen Mimi Pipi! Di sekolah, enggak ada Mimi sama Pipi, Lili sedih," rengut Lidya mencebikkan bibir mungilnya.

"Kok putri kecil Pipi cemberut? Kalau cemberut enggak Pipi ajak jalan-jalan loh," ujar Heru mensejajarkan tingginya dengan Lidya. Heru mencium gemas pipi Lidya.

𝐃𝐀𝐍𝐆𝐄𝐑𝐈𝐎𝐔𝐒 [1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang