▪︎ 19: TANGIS LANGIT ▪︎

762 56 13
                                    

"Hati-hati di jalan. Bilang ke Pak Ojolnya jangan ngebut-ngebut. Di sekolah belajar yang bener," nasehat Tuti seraya mengelus kepala Lidya. Wanita itu membuka pintu untuk putrinya.

"Iya Bundaku...." sahut Lidya mencium punggung tangan Tuti.

"Itu temen kamu?" tanya Tuti menunjuk depan rumah.

Mengernyit, mulut Lidya menganga, ia berujar, "Temen sia-" belum sempat menyelesaikan ucapannya, mata lidya terbelangah, "Ray!" lanjutnya kaget sembari menatap Tuti bingung.

"Naik ojol apa dijemput temen, sih, Dya? Kamu bohong sama Bunda? Selama ini yang antar jemput kamu itu cowok?"

Lidya menggeleng. Bibir bawah tergigit kecil, bingung beralasan apa. Pasalnya, tak satu pun cowok pernah ia bawa ke rumah karena Tuti melarang. Berpacaran? Tuti bilang jikalau membebaskan, namun terkadang wanita itu cenderung melarang.

Sosok di atas motor besar melepas helm yang menyembunyikan paras. Penuh percaya diri, dia, Ray, tersenyum manis tanpa beban. Ray turun dari motor, mengegah menuju pujaan hati.

"Pagi, Tan," sapa Ray, mengambil tangan Tuti dan menciumnya.

"Kamu...." Kata-kata Tuti mengambang tatkala mata tuanya masuk ke dalam manik mata Ray.

"Saya? Saya temen Lidya. Bentar lagi jadi pacarnya. Mau izin antar Lidya sampai sekolah. Masalah ojol, tadi ojolnya udah aku bayar, kok, tenang," papar Ray kembali tersenyum. Senyuman yang menghipnotis Tuti sampai ia tergemap.

Ujung rok seragam plisket terpaksa kena pelampiasan jari Lidya. Mulut hati tak pernah henti mengumpati sosok jangkung di depan mata. Ray mengacaukan suasana pagi dengan senyum yang menjengkelkan.

"Ayo, Dya. Te, aku antar Lidya dulu, ya," pamit Ray sekaligus izin. Tuti setia termenung, membalas ucapan Ray dengan anggukan patah-patah.

Jari panjang Lidya terenggut di dalam bekap jari Ray. Ray memberi tarikan pelan, badan Lidya terhuyung, mengekor dengan paksa sesuai langkah Ray. Sampai di depan motor, Ray memasang helm bogo ungu di kepala gadisnya.

"Maksud lo apa, sih dateng ke sini pagi-pagi?" bisik Lidya, mendelik.

"Kurang jelas tadi? Mau jemput Tuan Putri." Ray iseng menarik turun kaca helm Lidya.

"Gue bisa berangkat sendiri. Lo dateng ke sini, tuh bencana buat gue. Berani-beraninya lo berhenti sampe depan rumah," rengut Lidya.

"Emang kenapa kalo aku ke sini? Takut kena marah?" tanya Ray, selalu dengan senyum menjengkelkan, "aaaah, aku tau. Pasti aku cowok pertama yang berani ke rumah kamu, iya, kan?" sambungnya, menebak fakta.

"Dahlah. Serah lo," putus Lidya, enggan adu argumen sekaligus enggan kontak mata dengan Ray. Tatapan lembut mata Ray itu memabukkan, dan Lidya terima akan fakta itu.

"Yaudah, naik," titah Ray lembut,

Tak ada pilihan lain, serta tak mau menerima hukuman hanya karena cekcok berujung telat, Lidya relakan paginya hancur bersama Ray. Sudah mapan di jok belakang, motor meluncur dikeramaian jalan.

Beberapa menit melewati jalan aspal bermarka, sebuah motor melesat tak tahu aturan, hampir menyerempet motor Ray dari kanan.

Tin tin!

Brum!

"Ish!" kaget Lidya, tanpa sadar tangan melingkar di pinggang Ray, mata terpejam rapat di balik bahu Ray.

Mendapat sentuhan ini, Ray tak bisa sembunyikan senyum. Hati berbunga-bunga, debaran jantung melebihi ritme normal, Ray suka keadaan seperti ini. Keadaan di mana ia bisa merasa dekat dengan pujaan hati.

𝐃𝐀𝐍𝐆𝐄𝐑𝐈𝐎𝐔𝐒 [1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang