▪ 07: TANDA KEPEMILIKAN ▪

4.8K 229 30
                                    

Ray masih menyeret paksa Lidya, mencengkeram kuat pergelangan tangan gadis itu yang mungkin saja sudah menimbulkan bekas.

Berbeda dengan Lidya, ia berusaha keras untuk kabur. Gadis itu menarik tangannya, tumit kaki ia usahakan untuk menahan pergerakan Ray, sayangnya semua itu tidak berguna. Tenaga Ray jauh lebih kuat

Tarikan Ray sudah membawa Lidya ke salah satu lorong sepi minim cahaya yang ada di sekolah. Lorong yang terletak di bangunan belakang area sekolah, di mana bangunan ini berisi perabotan sekolah atau bisa disebut gudang.

Telinga Ray bisa dikatakan sangat peka. Ada beberapa langkah yang mengikutinya diam-diam di belakang.

Pergerakan kaki Ray tehenti. Tubuh Lidya yang ada di belakang menabrak punggung Ray.

"Tadi udah ada peringatan. Apa peringat gue belum jelas?" ujar Ray tegas.

Ray menambah kekuatan tangannya mencengkeram Lidya.

"Sa-sakit!" rintih Lidya kencang.

"Jangan sampai gue nyakitin Lidya karena kalian bertiga," peringat Ray. Kepalanya sedikit menoleh ke belakang menampakkan senyum miring misterius.

Walau ketiga teman Lidya tidak terlihat, namun Ray bisa merasakan kehadiran mereka yang sembunyi di balik tembok.

Ray kembali melangkah, namun baru dua langkah Ray kembali berhenti. Peringatan Ray tadi tidak dipatuhi. Nyatanya, ada beban yang menarik di belakang.

"Lepasin Lidya!" bentak Sahara menahan pinggang Lidya.

Ray tersenyum kecil. "Yang lain mana? Takutkah?" tanya Ray karena hanya Sahara yang berani muncul dari persembunyian.

Tawa Ray menggelegar. Kepala cowok itu sampai menengadah ke atas. Cengkeraman cowok itu masih sama, kuat. Dengan satu hentakan, Ray menarik Lidya ke belakang tubuhnya.

Aneh, itu yang dirasakan Sahara kala mendengar tawa Ray. Tak bisa dielak, Sahara merinding mendengar tawa itu.

Tawa Ray mengecil, hanya tersisa kekehan di ujung bibir. Seperkian detik, raut Ray berubah drastis. Matanya menukik tajam kepada Sahara, bibirnya membentuk garis lurus tanpa lengkungan.

"Jangan ganggu temen gue," gertak Sahara mencoba berani. "Jangan ganggu dia!"

Ray tersenyum sinis seraya memiringkan kepala ke kiri. "Enggak ada pilihan lagi. Mungkin gue harus terus terang."

Tangan kanan Ray tergerak bebas, masuk ke dalam saku di rompi seragam yang ia kenakan. Sebuah benda tertarik keluar. Ray memperlihatkan benda itu.

Pupil mata Sahara membesar. Perlahan tubuhnya bergerak mundur ketakutan.

"Kenapa? Takut?" ledek Ray.

Ray memutar benda yang ia bawa secara lihai di antara jari jemarinya. Senyumnya mengembang lebar kala Sahara berhasil takut. Memang, siapa yang tidak takut berhadapan dengan Ray, kala benda yang dibawa cowok itu adalah pisau lipat.

"Lo-lo siapa, sih?!" jerit Sahara.

Penasaran dengan situasi, Kiwa dan Nanda muncul dari persembunyian. Respon tubuh mereka sama seperti Sahara, takut. Mereka bertiga tidak bisa berkata apa-apa. Tubuh bergetar hebat.

Pisau lipat Ray terarah menunjuk ketiga teman Lidya.

Kiwa menutup mulutnya, menahan jeritan. Sahara, napas gadis itu sudah tidak beraturan. Nanda, terdiam dengan kaki yang rasanya mulai lemas. Ketiganya sudah tidak berani melawan karena takut bila pisau Ray melayang ke salah satu dari mereka.

"Lo, lo, dan lo," Ray menunjuk ketiganya dengan pisau "pergi. Jangan jadi pengganggu."

"Gue yakin dia bukan cowok pada umumnya. Ki-kita harus lapor," cicit Nanda pelan.

𝐃𝐀𝐍𝐆𝐄𝐑𝐈𝐎𝐔𝐒 [1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang