▪ 04: KELAS ▪

4K 260 12
                                    

"Okey, panggilannya Ray, hobinya apa? Me-Ray-u, kah?" tanya kakak OSIS yang saat ini duduk di kursi guru.

"Hobi, berenang. Kadang suka berantem sama kembaran karena ikut karate," seloroh Ray membalas.

"Oh, jago gelut. Saya juga ikut karate di sini," sahut kakak OSIS yang tengah bersedekap dan bersandar pada pintu kelas "kamu bisa ikut karate. Nanti kita latihan bareng," usulnya dibalas senyum tipis oleh Ray.

"Yang lain? Enggak ada yang mau disampaikan?" tanya kakak OSIS.

"Enggak," singkat Ray.

Ray berjalan, kembali ke tempat duduknya yang tadi. Itulah Ray, tidak terlalu suka basa-basi dengan orang baru. Lebih suka bertindak bila terjadi sesuatu secara diam-diam.

"Baiklah, karena saya suka tanggal dua satu, tepat hari di mana putusnya saya sama mantan, jadi, absen dua satu bernama Viviana, silahkan maju ke depan."

Perkenalan membosankan ini terus berlanjut. Rasanya, Ray ingin segera keluar dari kelas, ini tak terlalu penting. Toh, walau sudah tahu nama mereka, Ray tidak pernah mau berteman.

Lantaran sudah capek duduk sembari medengar celotehan yang lain, Ray mengangkat tangan kanan tingi-tingi sembari berucap, "Kak, saya izin mau ke toilet."

Belum mendapat kata 'iya' atau anggukan, Ray sudah berdiri terlebih dulu. Langkah lebar Ray membawa tubuh tegapnya.

Kala di depan pintu yang terjaga oleh OSIS yang lain, Ray menunjukkan senyuman, barulah kakak OSIS itu mau menyingkirkan badan dan membiarkan Ray lewat.

Langkah Ray belok ke kiri. Sebenarnya, dia tidak ingin ke toilet, tapi ingin melirik kelas Lidya dari jendela.

Kelas Ray dan Lidya dipisah oleh kelas MIPA 2 dan sebuah tangga menuju lantai dua. Cukup satu menit saja, sekarang kaki Ray sudah berdiam diri di depan kelas Lidya. Tepatnya di samping jendela kelas Lidya.

Jendela ini terletak cukup atas. Tingginya se-mata Ray. Ray sampai rela sesekali berjinjit agar bisa melihat dengan jelas keberadaan gadisnya.

Tak perlu waktu lama, hanya beberapa detik saja, Ray menemukan bangku gadisnya.

Ray menyipitkan mata, menajamkan penglihatan kala menatap Lidya. Langsung, tangan Ray terkepal di samping tubuh. Bisa-bisanya, Lidya melirik Faza. Sialnya, Faza juga melirik Lidya.

Beralih menuju Lidya.

Gadis itu melontar kata-kata kepada Nanda. Memang, sesekali dia curi-curi pandang kepada Faza yang duduk di deretan tengah belakang.

"Hm, saran gue, kasih aja itu yang lagi trend sekarang. Kata-kata di kertas wana warni, terus dimasukin ke botol kaca gitu. Itu udah banyak yang jual, kita tinggal nulis aja," usul Nanda.

"Daripada lo cuma bisa curi pandang sama dia kayak gini juga."

"Belinya di mana? Terus harus diisi sama kata-kata gimana?"

Lidya kembali fokus dengan raut wajah Nanda.

"Di toko online sih, banyak. Kalo mau langsung ya bikin sendiri ajalah. Tinggal nyari botol, kertas sama pernak-pernik," balas Nanda mengangguk-angguk.

"Beli ajalah, males kalo nyari-nyari gitu," sahut Lidya mencondongkan tubuh, melirik Faza lagi.

"Nanti pas di rumah make wi-fi, gue bantu nyari. Sekarang mah gak ada paket."

"Tapi dia mau gak, ya balikan sama gue? Padahal, kan dia salah paham. Gue aja enggak tau Ray itu siapa."

Raut Lidya berubah drastis. Di antara kesal dan sedih.

𝐃𝐀𝐍𝐆𝐄𝐑𝐈𝐎𝐔𝐒 [1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang