▪︎ 15: TARGET PERTAMA ▪︎

793 55 11
                                    

Decak gigi mengunyah permen karet terdengar jelas. Lidah mengolah permen karet di dalam menjadi balon kecil di ujung bibir. Balon permen karet meletus, Ray ulangi lagi tiupannya, berulang kali.

Sembari bersedekap dada, kaki Ray melangkah santai, hendak menemui seseorang. Tapi, tunggu dulu. Cowok itu dengan gesit bersembunyi di balik tembok dekat tangga.

Ray memasang eraphone wireless. Berupaya agar suara kian jelas, namun tak ada hasil. Ray berdecak. Apakah Lidya tidak membawa handphonenya? Pada akhirnya, earphone terlepas. Ray menajamkan pendengaran, mendengar obrolan para gadis di sana.

"Gue bener-bener udah balikan sama Faza! Kali ini gue traktir kalian lagi di kantin sama Faza. Faza udah di sana." Suara Lidya terdengar jelas. Tangan Ray terkepal kuat.

"Aaaaaa! Selamat atas keberhasilan lo. Gue ikut seneng. Doa gue kemarin ga sia-sia, dong!"

"Syukurlah ... semoga langgeng terus, ya. Siapa tau sampe pelamiman."

"Yaudah. Ni cowonya Lidya udah nunggu di kantin. Mending kita semua cepet-cepet ke sana."

"Halah, palingan lo laper. Iya, kan, Nda?"

Kala empat gadis itu mulai melangkah, Ray keluar dari persembunyian. Arah langkah kakinya sama dengan keempat gadis itu. Makin lama, makin cepat langkah Ray menyusul.

Duk!

"Aw! Kalo jalan lihat-lihatlah!" rengut Sahara memegang bahu kanan. "Lo lagi lo lagi. Ga puas lo ganggu Lidya mulu? Sekarang senggol-senggol segala. Nyari ribut?"

Ray menatap rendah gadis yang tengah mengomel di depannya ini. Siapa bilang Ray takut dengan cewek ini. Paling, Ray tatap tajam saja, Sahara sudah kapok berurusan dengan Ray.

"Apa liat-liat?" sewot Sahara.

Bibir Ray melengkung. Bahu cowok itu merendah. Ray mensejajarkan wajahnya dengan wajah Sahara. "Sahara Safaluna," desis Ray seraya tersenyum miring. Tak lama Ray tegap kembali.

Langkah kaki Ray melangkah lebih dahulu, meninggalkan keempat gadis itu.

"Maksud lo apa, sih, ha?! Dasar gila!" maki Sahara menggema di koridor sekolah.

"Udah, jangan diladenin." Kiwa mengusap pelan punggung Sahara.

"Gue takut. Senyum dia tadi...."

"Udah, Dya. Gausah dipikirin. Pikirin diri sendiri aja. Emang tuh cowok ganteng-ganteng tapi gangguan jiwa," seloroh Nanda.

•••

Kobaran amarah di dada Ray kian membara. Tubuh tegap yang tengah membelakanginya, itulah target tangan Ray yang sekarang sudah mengepal ini. Tanpa aba-aba, tanpa prakata, Ray menarik kerah belakang seragam Faza.

"Apa?" Faza terkejut, tapi berusaha untuk tetap santai kala tahu ada Ray di sampingnya.

"Lo langgar gue," bisik Ray, sembari memasukkan suatu barang di saku celana Faza secara diam-diam.

Brak!

Tangan Ray yang kuat itu mengangkat tubuh Faza, lalu melemparnya. Faza terpental ke salah satu meja kantin. Tubuh cowok itu luruh ke lantai. Di sini, Faza tak bisa membalas. Ia akui, sekujur tubuh merasa sakit dan langsung terasa lemas. Memang pada faktanya, Faza tidak bisa bertarung, tak bisa membalas cowok dengan main fisik.

"Bangun. Lemah banget," ledek Ray, terkekeh.

Kantin ricuh, namun bingung cara mengatasi. Kala mata Ray menatap tajam pada seisi penjuru kantin, semua orang di sana mendadak takut. "Yang ikut campur, siap-siap jadi kaya dia," ancam Ray selepasnya.

𝐃𝐀𝐍𝐆𝐄𝐑𝐈𝐎𝐔𝐒 [1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang