Pagi masih basah. Jamah shalat Subuh, baru saja usai, sekitar lima belas menit lalu. Sabila berdiri di belakang pintu, melipat mukenah lantas menggantungnya. Membenahi rambut ikal panjangnya dan memasang jedai, membentuk sanggul kecil di kepala.
Suara lantunan ayat Al Quran terdengar dari pengeras suara Mushola. Suara favorit Sabila. Rayyan membaca surah Al Baqarah, mengawali acara Khotmil Quran dalam rangka empat bulan kandungannya hari ini.
Sejenak, Sabila mematung. Menikmati alunan suara merdu yang kini perlahan menelusup pendengaran. Suara Rayyan memang merdu. Gaya tilawahnya juga sangat khas. Salah satu yang sangat disenangi Sabila.
Perlahan, kenangan lalu ketika kehamilan Qonita dan awal-awal masa pernikahan mereka, perlahan hadir. Menimbulkan selaksa bahagia di dada.
Saat acara empat bulanan Qonita, Rayyan melakukan hal yang sama. Pun masa pengantin baru mereka, Rayyan acap kali melakukan tadarus Al Quran bakda Subuh di Masjid Faizul Ulum.
Rindu. Sabila merindukan masa itu. Andai ... kasus itu tak pernah terjadi.
Dan, Kerinduan serta kebahagiaan yang sempat hadir, seketika berubah perih mana kala kenangan pahit itu kembali menghantui.
Sabila mengembuskan napas sedikit kasar lewat mulut. Memejam seraya mengusap dada. "Tenanglah, Wahai Hati. Bersabarlah!"
***
Sabila duduk pada bale-bale, memotong wortel sebagai bahan pelengkap mie. Keadaan dapur cukup ramai. Dua wanita paruh baya berdiri di depan tungku. Satu menanak nasi dengan dandang besar, sementara yang satu lagi sibuk mencicipi kuah gule dalam kuali besar. Beberapa perempuan muda, ikut membantu. Ada yang membakar sate di sisi dapur yang berdekatan dengan pintu, ada pula yang sibuk menggoreng pisang, dan ada pula yang membantu kegiatan lain. Suasana gotong-royong yang masih begitu kental.
Dan, di tengah kegiatan, tiba-tiba Aisyah memanggil sang ipar dari ambang pintu dapur yang tersambung dengan bagian belakang rumah. Hal itu membuat Sabila menoleh gegas. "Dalem, Mbak?"
"Itu, ada Khadim yang biasanya ke sini. Dia di depan, bawa macam-macam. Dia nyariin kamu." Aisyah berisyarat ke ruang depan dengan jempolnya.
"Pak Fauzan?" Mata Sabila membulat dan berbinar seketika.
"Iya. Yang biasanya itu. Sana, gih, temui! Rayyan sudah di ruang tamu, kok."
Sabila mengangguk seraya tersenyum. Segera beranjak. Membenahi jilbab instan cokelatnya, dan membersihkan bagian depan daster batik dari kulitbwortel yang sempat jatuh ke pangkuannya.
Dengan langkah yang dipercepat, Sabila menuju ruang depan. Ada sejumput harapan yamg kembali tumbuh. Harapan untuk kembali menjalin silaturahmi dengan keluarganya.
"Assalamualaikum." Sabila tersenyum memandang lelaki yang tengah mengobrol dengan Rayyan di ruang tamu. Lelaki empat puluhan tahun yang biasa menjadi tangan kanan keluarga Sabila.
Dengan antusias, Sabila melangkah mendekati lelaki itu. Lantas menangkupkan kedua tangan di depan dada sebagai penghormatan.
"Bagaimana kabarnya, Neng?" Fauzan kembali duduk setelah tadi sempat berdiri. Pun dengan Sabila yang kini duduk di samping Rayyan, pada kursi kayu berlapis rotan yang tertata apik di ruang tamu.
"Alhamdulillah. Pak Fauzan bagaimana?" Senyum masih terus mengembang di bibir Sabila.
"Baik, Neng. Alhamdulillah. Saya ke sini mau menyampaika salam dari Bu Nyai." Lelaki bernama Fauzan itu mengeluarkan amplop dari kantong kemeja cokelatnya, lantas menyodorkannya di meja, ke arah Sabila. "Lalu, ini ada nasi, lauk, dan kue. Di pesantren juga mengadakan Khotmil Quran dan doa bersama buat acara empat bulanannya Neng Bila."
"Iya, Pak. Terima kasih." Sabila mengambil amplop tadi. Meskipun, ada rasa tak nyaman dengan kebiasaan sang ibu perihal uang, tapi harapan akan silaturahmi yang kembali terjalin, mengalahkan rasa tak nyaman yang sempat hadir.
"Lalu, barang-barang itu apa, Pak?" Sabila menunjuk dengan jempolnya ke arah karton yang berada di samping kursi Fauzan.
"Oh, ini baju-baju bayi, Neng. Oh, ya, Neng. Bu Nyai juga nitip salam, kalau Neng Bila sehat dan tidak sibuk, diharap kedatangannya di pesantren."
Seketika bahagia berkembang di hati Sabila. Dia sontak menoleh kepada sang suami yang ternyata juga menoleh padanya. Dan melihat sang suami yang tersenyum sembari mengangguk, Sabila mengerti bahwa Rayyan juga senang dengan hal ini.
Dan detik kemudian, Sabila kembali menoleh kepada Fauzan sembari tersenyum. "Insyaallah, Pak. Kami akan segera main-main ke sana."
***
Bakda Ashar, suasana ruangan di sebelah dapur, cukup riuh. Ruangan yang biasanya dipakai sebagai tempat menginap santri perempuan tiap akhir pekan. Beberapa wanita muda seumuran Sabila, sibuk menata kue dan nasi yang nanti akan diberikan kepada para undangan kenduren. Acara doa bersama akan dilakukan bakda Maghrib.
Sabila ikut membantu menata kue-kue pada kotak-kotak karton. Lantas, menyusunnya agar nanti mudah dibungkus untuk disatukan dengan wadah berisi nasi dan lauk. Dan sebagaimana perempuan ketika berkumpul, pastinya tak luput dari mengobrol. Membuat kegiatan yang biasanya melelahkan, jadi tak terasa.
Suara lantunan Al Quran masih terdengar. Kali ini, bukan Rayyan yang membaca. Dan sepertinya, sudah sampai pada surat Al Mulk. Itu artinya, tak lama lagi, Khotmil Quran akan segera usai.
Tiba-tiba saja terdengar suara salah satu wanita yang berdiri berhadapan dengan Hidayati. Mereka membahas kekurangan plastik yang akan digunakan untuk membungkus nasi dan kue nanti.
"Biar saya saja yang beli, Ummah." Sabila beranjak dari duduknya. Melangkan mendekati sang mertua.
"Jangan sendirian, Nak! Ajak Neeha bersamu!" Hidayati memberikan sejumlah uang, ketika menantunya telah sampai di depannya.
"Cuma tiga pak butuhnya, Ummah?" Sabila menerima uang itu.
"Iya. Itu pun sudah lebih."
"Inggih." Sabila berbalik, lantas melangkah. Dia menepuk pundak Neeha, putri Aisyah, yang masih dua belas tahun, untuk membersamainya. Kebetulan tadi Neeha membantu melipat kotak-kotak kue.
Keduanya berjalan sembari bercakap-cakap, melewati lorong samping yang langsung menuju halaman depan. Tapi, tiba-tiba saja, langkah Sabila terhenti seketika, manakala sesosok lelaki tengah menuntun motor bebek, memasuki halaman. Lelaki berperawakan pendek dan berbadan tambun, yang seketika membuat Sabila mengedikkan bahu karena jijik.
Ya, Sabila sangat jijik melihat lelaki itu. Lelaki yang beberapa tahun lalu sempat hampir melecehkannya.
Kenapa bajingan itu masih memiliki keberanian datang ke sini? Bukankah Rayyan berkata bahwa dia telah mendatangi dan menyelesaikan urusan dengannya? Tak hanya Rayyan, tapi juga Zainullah. Tapi, mengapa dia masih bisa ke sini?
Ada ngilu dan marah yang seketika hadir.
Kejadian beberapa tahun lalu, kala Sabila masih berdagang, menjajakan keripik dari toko ke toko. Ya, demi menjadi keluarga mandiri, Sabila rela melakukan apa pun. Meski, jelas saja Hidayati dan Zainullah menentangnya. Tapi, Sabila bersikukuh melakukannya.
Siang itu, Sabila mengantar keripik ke toko di desa sebelah, terpaksa harus masuk ke toko, mencari istri pemilik toko. Lelaki tambun itu mengatakan bahwa istrinya sedang di ruang belakang. Dan uang yang dibutuhkan ada pada istrinya.
Bodohnya Sabila memercayai hal itu, hingga kejadian pelecehan itu hampir terjadi. Andai saja Sabila tak segera meninju perut si tambun tak tau diri itu, mungkin semua akan lebih mengerikan lagi.
Dan ingatan Sabila tentang kejadian itu, juga mengingatkannya kepada kejadian setahun lalu di Pasuruan. Kejadian serupa, tapi lebih menyakitkan. Kejadian yang akhirnya membuat Rayyan tersadar, betapa berharganya Sabila.
Ah, andai Rayyan mampu menjadi lelaki yang melindungi istrinya, mungkin Sabila tak akan mengalami kejadian-kejdian mengerikan itu.
"Cik Bila! Kok bengong? Ayo!" Tepukan di lengan, membuat Sabila tersentak seketika. Kembali tersadar dan menoleh gegas kepada keponakannya.
"Oh, iya. Ayo!"
KAMU SEDANG MEMBACA
(Republish) Journey of Love
RomanceSabila Mumtazah dihadapkan pada pilihan yang sangat berat. Terus bertahan, atau menyerah saja. Setelah segala derita dan kehilangan yang dialami, dia masih harus terus berjuang demi sang buah hati. Berusaha meyakinkan diri akan kebahagiaan yang mun...