Kehidupan baru yang terasa sedikit lebih menyenangkan bagi Sabila. Pada pagi hari menjelang siang, ibu-ibu muda penghuni kos-kosan berkumpul untuk mengobrol sembari menikmati makanan ringan dalam suasana akrab dan ceria.
Dan, sekonyong-konyong ketukan pintu dan ucapan salam, mengejutkan mereka. Sontak empat wanita, di mana salah satunya adalah Sabila, menoleh gegas ke arah pintu tempat tinggal Wiwin. Dan, seketika mendapati Rayyan sudah berdiri di depan ambang pintu.
"Ma, ada Mbak Aisyah." Rayyan berisyarat dengan jempolnya ke arah tempat tinggal mereka.
Sabila beranjak gegas. Membersihkan bagian depan daster batiknya dari remahan biskuit. Lantas, menghampiri putrinya yang sedang bermain bersama dua anak lain di ruang tengah.
Sabila bergandengan dengan Qonita. Berjalan keluar ruangan seraya kembali berpamitan. Sementara itu, Rayyan sudah lebih dulu berlalu, kembali ke tempat tinggal mereka.
"Hai, Qonita ...." Aisyah yang duduk di undakan teras, seketika melambai kepada bocah tiga tahun cantik itu. Yang tentu saja, membuat Qonita berlari gegas mendekati Bu De-nya.
Sabila berjalan cepat, menghampiri Aisyah. Meraih punggung tangan ipar yang dikasihinya. Sedangkan Rayyan, langsung masuk rumah barusan.
"Masuk, yuk, Mbak!" Senyum semringah terlukis jelas di bibir Sabila.
Aisyah mengangguk. Beranjak dan melangkah, mengekori adik iparnya.
Sabila memersilakan iparnya untuk duduk pada evamat warna-warni yang terhampar di lantai. Sementara dia sendiri meneruskan langkah ke arah dapur. Sabila mendapati Rayyan sudah menjerang air di kompor.
"Biar aku saja, Ba! Baba temani Mbak dulu!"
Rayyan mengangguk dan berlalu ke ruang depan. Meninggalkan Sabila yang menunggui air di kompor.
Ini kali kesekian kedatangan Aisyah setelah hampir sebulan Sabila dan Rayyan tinggal di tempat kos ini. Dan kedatangan Aisyah, menjadi hal yang sangat menyenangkan bagi Sabila. Meskipun, terkadang ada rasa sedih mendalam dalam hatinya jika mengingat keluarganya sendiri.
Bahkan, ketika tinggal di Pasuruan, Zainullah dan Hidayatilah yang pertama datang mencari keberadaan mereka. Itu terjadi sekitar enam bulan setelah kepergian mereka dari rumah. Dan lagi-lagi, kejadian lain tentang Malik dan Nisrina di Pasuruan, kembali muncul. Menimbulkan ngilu dan kesedihan mendalam. Tapi, semua segera ditepis. Sabila tak ingin merusak suasana hati dengan hal-hal menyedihkan.
Air yang mendidih, membuat Sabila segera mematikan kompor dan menyeduh teh. Lantas, membawanya ke ruang depan.
"Diminum, Mbak!" Sabila meletakkan nampan berisi teko dan tiga cangkir berisi teh pada alas lantai. Lantas, duduk bersila di sebelah Rayyan. Sementara Aisyah, duduk berhadapan dengan mereka dan memangku Qonita.
"Mbak ke sini mau nyampein salam dari Abah." Mendengar kata abah, seketika membuat hati Sabila mencelus. Ada resah dan khawatir seketika muncul. Tapi, Sabila tak berani menyela. "Abah mau ke sini, apa boleh? Kalau boleh, besok atau lusa akan ke sini. Beliau sudah enggak marah, kok. Bahkan, ketika tahu Rayyan keluar dari rumah, Abah enggak marah. Hanya saja, beliau membiarkan dulu hingga kalian tenang."
Ada rasa lega seketika menyelimuti hati. Sabila bernafas lega. "Tentu saja, Mbak. Kami akan sangat senang menerima Abah di sini."
"Ya sudah, kalau begitu, Mbak akan kabarkan ini. Dan hal ini juga berkaitan dengan empat bulanan kandunganmu. Soalnya, hal itu cukup penting, kan? Masa empat bulan itu adalah masa di mana ruh ditiupkan dan takdir ditentukan. Tentunya, seperti kebiasaan kita, akan ada acara Khotmil Quran di rumah. Makanya, Abah ingin ngomong sendiri."
Mata Sabila seketika berbinar. Dia melempar pandangan pada Rayyan yang juga memandangnya dengan wajah cerah. Tampak sangat jelas, keduanya begitu bahagia.
***
Kemarin, Zainullah benar-benar datang mengunjungi anak dan menantunya. Dia sama sekali tak menunjukkan amarah atau kekesalan. Bahkan, terkesan sangat ramah. Hampir setengah hari, lelaki paruh baya itu bertamu di tempat kos anak dan menantunya. Dia baru pulang beberapa saat sebelum adzan Dzuhur. Sedangkan Qonita, turut serta untuk menginap beberapa hari di Sabilunnajah.
Zainullah memang sosok ayah yang keras dan kaku. Tapi, keberadaan Hidayati yang mampu meredam emosinyalah yang membuat lelaki paruh baya itu berulang kali memberi Rayyan dan Sabila kesempatan.
Dan malam ini, saat Sabila sedang mengaji di sela menunggu waktu Isya', terdengar ketukan pintu dan ucapan salam dari Rayyan. Seketika, dia menjawab, dan menyelesaikan sisa bacaan. Lantas, beranjak untuk meletakkan mushaf.
Sabila melangkah gegas sembari menyelak mukenah ke ruang depan untuk menyambut suaminya yang baru pulang dari pasar hewan.
"Sudah datang, Ba?" Sabila meraih punggung tangan sang suami. "Mau mandi? Aku buatin kopi, ya?" Sabila berbalik, hendak melangkah ke arah dapur.
"Enggak usah, Ma! Kita makan malam dan ngopi di luar aja."
Mendengar kalimat sang suami, seketika Sabila berbalik dan mengernyit. "Maksudnya gimana?"
"Ada acara nonton bareng. Kita nonton bola di depan kantor Radar Bromo. Gimana? Hari ini Final Piala Dunia. Pasti ramai. Lagipula, mumpung Qonita ada di rumah Ummah, kan?"
"Baba mau ngajak aku nonton?" Mata bulat kecokelatan itu seketika berbinar. Menatap sang suami tak percaya.
"Iya. Makanya, ayo! Habis ini segera berangkat. Kamu siap-siap, gih! Aku mau mandi dulu sebentar." Rayyan berlalu, melewati sang istri sembari menepuk pelan punggungnya.
Sementara Sabila masih mematung kegirangan beberapa saat, menatap punggung sang suami yang berlalu ke kamar mandi.
Detik kemudian, Sabila melangkah gegas untuk bersiap-siap. Berganti pakaian dengan gamis jeans yang cukup tebal. Pun tak lupa memakai jaket fleece tebal untuk menghalau udara dingin dan angin Gending awal Juli yang kencang dan kering.
***
Suasana halaman salah satu kantor koran lokal yang tak jauh dari tempat kos, sudah lumayan ramai. Sabila yang baru kali ini turut serta menonton pertandingan bola, merasa sangat senang.
Sabila yang baru turun dari motor, mengedar pandangan ke sekeliling. Mengamati keadaan yang tampak sangat meriah.
Awalnya, dia membayangkan jika acara semacam ini hanya akan dihadiri banyak pria. Nyatanya, tak sedikit wanita yang hadir. Bahkan, yang seumuran bahkan lebih tua dari Sabila pun ada. Mereka datang dengan suami-suami mereka. Tak hanya itu, bahkan Sabila mendapati beberapa anak kecil yang ikut menonton.
"Ayo, kita makan dulu, yuk! Tuh, ada warung. Habis ini kita langsung cari tempat. Mumpung acara belum mulai." Rayyan mengalungkan tangan di pundak sang istri sembari mengencangkan ritsleting jaket sintetisnya. Tentu saja, hal itu seketika membuat Sabila tersentak dan menoleh. Mengulas senyum simpul lalu mengangguk.
Keduanya berjalan beriringan dengan tangan Rayyan masih mendarat di pundak sang istri. Hal yang sudah sangat lama tak dilakukannya setelah berbagai hal yang menimpa rumah tangga mereka.
Setelah makan di warung yang berada di seberang jalan, tak jauh dari tempat acara berlangsung, mereka kembali lagi untuk mencari tempat. Rayyan memilih untuk duduk di sebelah pagar, berdekatan dengan panggung dan layar putih yang terbentang. Rayyan benar-benar bersikap manis. Dia ingin membuat istrinya senang. Mencoba kembali membenahi rumah tamgga mereka.
Acara yang disponsori oleh salah satu merek rokok dan mie instan itu, digelar cukup meriah. Sebenarnya, pertandingan akan dimulai sekitar pukul 23.30 malam. Tapi, karena ini adalah acara final, maka sebelumnya, digelar dulu serangkaian acara, termasuk pentas musik dan aneka kuis.
Hal yang sangat disukai Sabila dari pernikahannya dengan Rayyan adalah, bisa mengalami hal-hal yang hampir tak mungkin dialami saudara-saudaranya. Tak mungkin Hilma akan diajak suaminya untuk nonton bola sampai larut malam macam ini. Atau, merayakan pergantian tahun di alun-alun. Bahkan, ikut takbir keliling di malam hari raya Idulfitri.
Dan semua itu dilakukan dengan hati senang dan perasaan tenang. Karena ada Rayyan yang menjaga. Tapi, hal itu hanya dialami setahun awal pernikahan mereka. Atau lebih tepatnya, sebelum kedatangan Ningsih di antara mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Republish) Journey of Love
RomanceSabila Mumtazah dihadapkan pada pilihan yang sangat berat. Terus bertahan, atau menyerah saja. Setelah segala derita dan kehilangan yang dialami, dia masih harus terus berjuang demi sang buah hati. Berusaha meyakinkan diri akan kebahagiaan yang mun...