Dua Puluh

199 44 7
                                    

Beradaptasi. Hal yang cukup sulit bagi Sabila. Dia yang tampak ceria dan supel, sejatinya adalah sosok yang sering kesulitan beradaptasi secara total. Dalam hati, selalu merasa tak nyaman dengan orang-orang baru. Dan ketidaknyamanan itu, ditutupi oleh sikap ceria dan ceriwisnya.

Seperti itulah kejadian setahun lalu di Pasuruan. Sabila menempati bangunan petak dua ruangan. Berukuran 6x3 meter persegi. Satu bagian difungsikan sebagai toko kelontong, dan bagian lain sebagai kamar. Debgan teras yang cukup luas di bagian depan. Sedangkan dapur dan kamar mandi, berada di sebelah bangunan utama. Berupa bangunan kecil semi permanen berdinding anyaman bambu. Tak ada kamar mandi, hanya bak mandi saja. Karenanya, ketika mandi, pintu dapur harus ditutup agar tak tampak dari luar.

Sebagai orang baru, tentunya harus pandai-pandai bergaul dengan penduduk setempat. Sabila yang sejak kecil lahir di lingkungan pesantren, merasa sedikit kesulitan bergaul dengan orang kampung. Ini juga dia alami ketika awal pindah ke rumah Rayyan. Tapi, berkat bantuan Aisyah dan Hidayati, hal itu menjadi lebih ringan. Dan kini, Sabila harus berusaha sendiri.

Pada pagi hari, saat usai dengan pekerjaan rumahnya, Sabila keluar dari kontrakan. Semalam Rayyan berpesan, agar Sabila agar mulai bersosialisasi dengan tetangga. Meskipun Rayyan sangat tahu kalau itu adalah hal yang sulit. Tapi, bukankah memang suatu keharusan?

Sabila menggandeng Qonita yang baru saja mandi. Seperti biasa, dengan bedak putih yang melapisi wajahnya, balita cantik itu sangat menggemaskan. Set kaos celana pendek maroon bergambar Tugu Monas, kini membalut tubuh gembulnya. Dengan berusaha meyakinkan diri, Sabila berjalan menuju bale-bale di bawah pohon kersen. Di seberang jalan, beberapa meter sebelah kiri kontrakannya. Di mana biasanya ibu-ibu berkumpul. Dan dua hari di tempat baru, membuat Sabila dan Rayyan sedikit banyak tahu kebiasaan ibu-ibu di kampung ini.

Melihat Sabila mendekat, tiga perempuan yang berkumpul, menoleh dan tersenyum cukup ramah. Salah satunya perempuan berbadan berisi. Dia berisyarat agar Sabila mendekat. "Sini, loh, Mbak. Kumpul sini biar endak suntuk."

Salah satu yang berperawakan kurus, bergeser, memberikan sedikit tempat bagi Sabila. Sementara Qonita, seketika diajak bermain oleh seorang anak perempuam berumur sekitar tujuh atau delapan tahun untuk bergabung dan bermain bersama beberapa anak lain di dekat gundukan pasir tak jauh dari pohon kersen. Mereka sedang bermain masak-masakan.

Percakapan basa-basi biasa saja. Beberapa waktu, Sabila masih bisa mengimbangi dan menjawab dengan baik. Hingga yang berperawakan kurus bertanya, "Sampean asli mana, toh, Mbak?"

"Probolinggo, Mbak," Sabila berusaha menjawab sopan. Meskipun mulai timbul rasa tak nyaman. Karena, khawatir nanti akan ada pertanyaan-pertanyaan lain yang mungkin akan menyinggung hal-hal privasi.

"Probolinggo mana?" yang berambut keriting menimpali.

"Warujinggo, Mbak. Tapi, ikut suami ke Dringu."

"Di sini kerja di mana? Buka toko itu saja? Gantiin tokonya Pak Handoko, ya? Ada hubungan apa sama Pak Handoko?"

"Suami saya ada pekerjaan bareng Pak Handoko. Kami cuma kenal saja." Sabila berbohong demi menyelesaikan semua pertanyaan.

"Terus--"

"Masyaallah, saya, kok, lupa sedang bikin air di dapur. Bentar, ya? Mau matiin kompor." Tanpa menyusul Qonita, Sabila seketika beranjak dan berjalan cepat masuk dapur. Menutup pintu rapat dan diam di dalamnya beberapa saat. Hatinya gemuruh. Tapi, mau bagaimana lagi?

***

Sabila mendekati Rayyan yang sedang menemani Qonita. Lantas, berisyarat dengan tangan kepada Qonita agar menggandeng tangannya. "Ayo, Qonita ikut Mama!"

(Republish) Journey of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang