Dua Puluh Dua

201 53 3
                                    

Aroma kopi dan susu yang begitu khas, menguar dari cangkir putih bergambar bunga. Sabila duduk bersila memerhatikan uap air yang mengepul dari cangkir. Lantas, meraih dan menghidu aroma kopi dalam-dalam. Kemudian, menaruhnya kembali.

Beberapa waktu terakhir, Sabila tiba-tiba saja menjadi penggemar kopi susu. Tiap malam, dia selalu membuat secangkir kopi susu untuknya dan kopi tubruk untuk Rayyan. Sesekali mereka mengobrol santai di ruang depan, jika Rayyan tak keluar untuk nimbrung bersama para tetangga di gardu depan kos-kosan.

Dan malam ini, kebetulan Rayyan menyempatkan untuk menemani istrinya menikmati kopi. Dia duduk bersandar pada dinding di sebelah pintu. Berhadapan dengan Sabila yang masih fokus menghidu aroma kopi.

Sementara Qonita, akhir-akhir ini memang lebih sering menginap di rumah sang nenek. Hidayati yang memintanya, beralasan agar Sabila tak terlalu kecapekan mengurus Qonita sendiri, mengingat umur kandungannya masih trimester pertama.

"Jadi, sekarang kopi jauh lebih menarik daripada aku, gitu?" Rayyan menggoda istrinya. Dia tersenyum geli melihat tingkah Sabila.

"Untuk saat ini, Iya. Kalau suruh milih antara kamu dan kopi, aku akan milih kopi." Sabila melirik ke arah suaminya seraya mengangkat kedua alis. Terkekeh dan menjulurkan lidah.

Seketika, gelak tawa pecah di antara keduanya. Dan Rayyan seketika menggeser posisi, sedikit maju untuk mencubit hidung istrinya. "Ya udah, sana nikah sama kopi!"

"Ih, rese. Sakit tau." Sabila memijit pelan hidungnya. "Oh, ya, Ba. Ehm ... aku ada yang mau diomongin. Tapi ... kamu jangan marah, ya?"

Rayyan yang duduk bersila di hadapan istrinya, seketika menegakkan punggung. Memandang sang istri sembari mengernyit. Ada secuil cemas yang tiba-tiba hadir. "Ngomong saja!"

"Ini masalah kerjaan. Aku cuma saran, sih. Enggak menuntut. Semua keputusan ada padamu. Aku enggak mau ada kejadian fatal lagi menimpa kita." Sabila menunduk. Memainkan jarinya pada bibir cangkir.

"Iya ..." Rayyan berusaha melembutkan suara. Tapi, masih terasa jelas kalau sesungguhnya dia merasa tak nyaman.

"Kan, tiap pulang dari pasar, waktunya selalu mepet Isya. Ehm ... Salat Asharnya bagaimana? Kamu salat di mana? Bukannya pasar kalau sore itu sangat rame?" Sabila sedikit mendongak, takut-takut menatap suaminya.

Air muka Rayyan seketika berubah. Dia menghela napas dalam. Menunduk dan memainkan jari-jarinya. "Ya ... seperti itulah. Ada mushola di pasar memang. Tapi ... jujur saja, aku sangat kesulitan untuk melakukan salat. Karenanya, aku memilih pulang untuk salat Maghrib di sini saja."

Sabila sudah menduga jawaban apa yang akan dia dengar. "Ehm ... kalau gitu, apa enggak ada rencana buat nyari pekerjaan lain saja? Pekerjaan yang ... lebih santai, gitu?"

"Iya, aku ada rencana, sih. Tapi, kita butuh menabung untuk itu. Aku berencana membuka warung jamu. Jadi, bisa lebih santai dan salat tepat waktu. Masalahnya, jika kita menyewa tempat, akan memakan biaya lebih besar. Padahal, di rumah Abah, ada gudang yang bisa kita pakai." Suara Rayyan cukup lirih. Dia masih ragu dengan yang dikatakannya.

"Aku enggak keberatan andai kita kembali lagi ke rumah Abah. Aku akan mencoba menahan diri dengan keinginanku memiliki rumah. Kalau kita sabar, insyaallah bisa tercapai suatu saat nanti. Meskipun sebenarnya, aku betah di sini. Sangat menyenangkan. Tapi, kalau harus mempertimbangkan banyak hal, kembali ke Dringu adalah pilihan yang tepat."

"Maafkan aku, Ma! Sebenarnya, beberapa kali aku telah membicarakan ini dengan Abah. Tapi, memang belum berani mengutarakannya padamu. Abah mau meminjamiku sejumlah uang untuk modal dengan syarat kita pulang. Aku hanya khawatir kamu akan marah jika kembali bergantung sama Abah." Rayyan menatap sang istri yang kini mendongak menatapnya.

"Maafkan aku, Ba! Aku memang terlalu keras untuk urusan kemandirian. Tapi, kalau harus dipikirkan lagi, mungkin menerima bantuan Abah untuk kali ini tak masalah. Karena ini sudah menyangkut masalah salat."

"Jadi, bagaimana? Kita pindah ke rumah Abah lagi? Kamu setuju?" Rayyan menatap wanita di hadapannya dengan tatapan penuh permohonan.

Sabila mengangguk pelan. "Iya. Aku akan berusaha berubah. Tak elok rasanya jika harus mencari uang dan mengabaikan salat."

***

Sabila meletakkan ransel di ranjang. Lantas memeriksa beberapa hal yang akan dibawa kembali ke rumah sang mertua. Sengaja, kali ini dia hanya membawa pakaian dan beberapa barang yang sangat penting. Karena perabot dapur dan beberapa hal lain, akan dipindah perlahan setelah ini. Mengingat masa sewa masih tersisa sekitar sepuluh hari lagi.

Setelah memastikan semua beres, Sabila memutar tubuh, sembari membenahi ujung lengan gamis toyobo birunya yang tadi sempat terlipat. Lantas, melangkah keluar tempat kos untuk pamit kepda para tetangga. Sementara itu, Rayyan sedang berada di rumah pemilik kos untuk berpamitan dan mengabarkan kepindahannya ini.

Suasana pamit menjadi sangat haru. Kebersamaan Sabila dan para tetangga selama hampir dua bulan ini, menimbulkan rasa saling menyayangi dan mengasihi. Sabila benar-benar merasa menemukan teman sekaligus keluarga di tempat ini.

Dan seusai acara pamit, Sabila kembali ke tempat tinggalnya. Menunggu Rayyan kembali dari rumah pemilik kos.

Sabila duduk di bibir ranjang. Mengedar pandangan ke sekeliling ruang tengah tempat kos mereka. Tak sampai dua bulan mereka menempati rumah kos ini. Dengan keadaan dan lingkungan menyenangkan, membuat Sabila sedih jika harus pergi. Tapi, mengingat banyaknya pertimbangan, membuatnya mau tak mau harus memutuskan yang menurutnya lebih baik.

"Ma ..." Suara Rayyan cukup lantang. Dan beberapa detik kemudian, dia sudah muncul dari ambang pintu. "Ayo! Aku sudah pamit sama pemilik kos. Kamu sudah pamit sama para tetangga?"

Sabila beranjak. Meraih ransel yang sejak tadi berada di sampingnya. Lantas melangkah sembari menyampirkannya ke pundak. "Udah. Barusan aku sudah pamit, kok."

Rayyan meneruskan langkah. Berdiri di hadapan istrinya. Mendaratkan kedua tangan di pundak. "Kamu betah, ya, di sini?"

Sabila mendongak menatap sang suami. Lantas mengangguk pelan. "Iya. Kamu tahu sendiri aku selalu kesulitan berdaptasi dan bergaul. Hanya di sini aku merasa punya teman. Tak ada masalah sedikit pun dengan para tetangga. Tak ada yang menanyakan asal-usul dan alasan kita kenapa menyewa tempat kos."

Seketika, Rayyan meraih kepala Sabila. Menarik dan mendaratkannya di dada. Membelai bagian samping kepala sang istri dengan lembut. "Sesekali, kita sambang ke sini kalau kamu kangen."

Sabila melingkarkan kedua tangan pada pinggang suaminya. Dia mengangguk pelan. Memeluk Rayyan dengan erat. Dalam hati, ada selaksa doa yang dilangitkan. Berharap lelaki lembut dan penyayang yang kini memeluknya, tak pernah lagi berubah. Karena ... sejenak lalu Sabila kembali teringat, bagaimana dia mengenal Rayyan. Dan sikap sang suami kali ini, mengingatkannya kepada Rayyan yang dulu. Rayyan yang selalu melindungi Sabila. Rayyan yang senantiasa menghibur dan menyayangi Sabila.

(Republish) Journey of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang